George Soros: Ancaman dan Hukuman bagi Indonesia
Penulis : Noferdiansyah, Mahasiswa Hubungan Internasional
“The strong do what they can and the weak suffer what they must.”
- Thucydides
Saat waktunya gajian di bulan Agustus, mayoritas masyarakat Indonesia mungkin sudah kehilangan sebagian besar gaji mereka untuk berbagai kebutuhan seperti mengirimkan sebagian uang untuk orang tua dan adik-adik mereka, membayar cicilan, membayar utang pinjaman online, dan pada akhirnya sisa uang yang sangat sedikit tersebut harus mereka manfaatkan sebaik mungkin sambil kembali menyiksa diri kembali demi tanggal 25 selanjutnya.
Saat penderitaan itu menjerat rakyatnya, manusia-manusia berkandang Senayan yang bergelar “pembantu rakyat” malah mendapatkan kenaikan gaji. Lalu, mereka menari riang gembira di atas Rp100 juta dengan alas kaki yang merk-nya saja tak bisa mereka lafalkan.
Hal itu mendorong masyarakat Indonesia melakukan demo besar-besaran demi menuntut keadilan. Suara rakyat menggema di beberapa kota besar di Indonesia mulai dari 25 Agustus. Tidak hanya mahasiswa, berbagai elemen masyarakat juga turut ikut serta. Mulai dari pengemudi ojek online hingga emak-emak. Ini jelas, merupakan pergerakan yang digerakkan oleh rakyat dan untuk rakyat.
Namun, di tengah aksi demonstrasi besar tersebut, muncul suara-suara yang mengatakan kalau demonstrasi ini tidak murni oleh masyarakat, melainkan juga digerakkan oleh kelompok asing–kelompok non state. AM Hendropriyono, mantan ketua Badan Intelijen Indonesia, mengatakan bahwa aksi unjuk rasa tidak sepenuhnya digerakkan oleh masyarakat. Ia menilai ada pihak asing yang menjadi dalang dari aksi tersebut. Bukanlah negara, Hendropriyono mengatakan kalau pihak asing tersebut bukanlah negara, melainkan jejaring konglomerat global. Beberapa nama ia sebut seperti mantan Direktur CIA, George Tenet, lalu konglomerat terkenal David Rockefeller, hingga George Soros.
Artikel ini akan fokus membahas nama yang terakhir, yaitu George Soros. George Soros merupakan ekonom Amerika Serikat yang memiliki pengaruh yang luar biasa dalam industri keuangan dan juga merupakan aktivis politik yang sering dikritisi. Institusi yang ia dirikan, Soros Fund Management, Quantum Fund, dan Open Society Foundations, membantunya untuk sukses tidak hanya di dunia keuangan tapi juga mempengaruhi perilaku negara. Artikel ini akan membahas siapa George Soros, pengaruhnya, dan apakah tokoh individu dapat menjadi ancaman bagi negara Indonesia?
Siapa itu George Soros?
George Soros, lahir dengan nama György Schwartz, merupakan ekonom, filantropis, dan aktivis politik berkebangsaan Amerika Serikat. Soros lahir di Hungaria pada 12 Agustus 1930. Sebagai seorang yahudi, ia hidup dibawah bayang-bayang anti semit yang berkembang di Eropa. Pada 1947, ia bermigrasi ke Inggris dan belajar di London School of Economics yang memulai perjalanan intelektualnya dalam bidang ekonomi.
Di 1973, ia mendirikan Quantum Fund, yaitu perusahaan dana lindung nilai (hedge fund) yang mengelola dana dari perusahaan dan individu kaya raya. Perusahaan ini “memainkan” dana tersebut pada investasi resiko tinggi terutama dalam perekonomian makro yang melibatkan faktor-faktor seperti suku bunga, nilai mata uang, komoditas, dan lainnya. Quantum Fund mencatatkan namanya dalam sejarah sebagai salah satu perusahaan hedge fund tersukses di dunia saat Soros dan perusahaannya berhasil “menghancurkan” Bank Inggris yang mana akan dijelaskan pada bagian selanjutnya.
Selain Quantum Fund, Soros juga mendirikan Soros Fund Management dan Open Society Foundations. Pada 2011, Soros mengembalikan seluruh dana investor yang dikelola oleh Quantum Fund dan memutuskan untuk mendirikan Soros Fund Management yang hanya akan mengelola aset keluarga Soros. Open Society Foundations sendiri didirikan pada 1993 sebagai lembaga filantropi yang memberikan hibah kepada proyek-proyek hak asasi manusia, keadilan, demokrasi, kesehatan, pendidikan, dan kebebasan pers.
Aliran dana dari Open Society Foundations telah tersebar ke banyak negara, salah satunya Indonesia. Yayasan Kurawal dianggap sebagai penerima dana hibah dari Open Society Foundations. Yayasan Kurawal memiliki skema Dana Cepat Tanggap Darurat (DCTD) yang membantu organisasi masyarakat sipil di Indonesia untuk mengkritisi kebijakan pemerintah Indonesia yang tidak demokratis. Organisasi lain yang dianggap mendapat saluran dana dari Open Society Foundations adalah TIFA Foundation. Open Society Foundations sendiri telah mengeluarkan dana sebesar 8 miliar dollar ke berbagai negara sejak 1990-an dalam mendukung proyek-proyek masyarakat sipil.
Pengaruh George Soros
Salah satu peristiwa yang menjadikan nama Soros terkenal dalam industri keuangan dan menjadi kesuksesan terbesarnya adalah ketika ia dengan perusahaannya, Quantum Fund, bertaruh besar dengan Bank Sentral Inggris pada mata uang poundsterling. Peristiwa itu dikenal sebagai “rabu hitam” dan membuat Soros mendapatkan gelar “orang yang menghancurkan Bank of England.”
Pada 1990 Inggris, di bawah kepemimpinan Perdana Menteri Margaret Thatcher, bergabung dengan European exchange rate mechanism atau ERM. ERM adalah sistem moneter yang menstabilkan nilai tukar antar mata uang negara-negara Eropa. ERM mematok mata uang anggotanya dengan mark Jerman yang dianggap stabil.
Poundsterling saat itu berada pada titik yang terlalu kuat. Ini membuat terjadinya deflasi dimana harga barang terus turun tiap harinya. Masyarakat pun menunda konsumsinya karena melihat harga yang terus turun. Konsumsi yang macet membuat perekonomian Inggris melambat. Hal yang seharusnya dilakukan pemerintah Inggris adalah dengan menurunkan suku bunga, tetapi karena Inggris sudah bergabung ERM maka hal itu menjadi sulit dilakukan sehingga pada akhirnya Inggris tetap menjaga suku bunganya.
Melihat keputusan Inggris untuk tetap bergabung dengan ERM dan menjaga suku bunganya, Soros mencoba bertaruh untuk mengambil keuntungan dari keadaan yang “kacau” ini. Soros ,sebagai pemilik dari Quantum Fund yang mengelola banyak dana dari orang-orang kaya, mengumpulkan poundsterling dari berbagai sumber seperti pinjaman bank yang mana ia akan menjual poundsterling di harga tinggi dan membelinya kembali ketika harganya sudah jatuh untuk membayar pinjamannya dan mendapatkan keuntungan dari selisih jual dan beli.
Ketika ia berhasil mengumpulkan poundsterling dengan nilai US$15 miliar, ia mulai berbicara di banyak forum dan media mengenai poundsterling yang harganya sudah terlalu mahal dan sudah seharusnya dijual. Soros yang memiliki nama di industri keuangan berhasil membentuk opini di masyarakat dan juga profesional keuangan.Rabu, 16 Desember 1992, Soros pun mulai menjual poundsterlingnya dan menjadi “pemimpin” dalam penjualan poundsterling yang lalu diikuti para spekulan, lembaga keuangan, dan perusahaan keuangan untuk menjual poundsterlingnya.
Melihat nilai mata uangnya yang terus anjlok, Bank of England berusaha melawan dengan membeli kembali poundsterling yang membanjiri pasar dengan devisa negara. Meskipun sudah mengeluarkan devisa sebesar US$50 miliar, Inggris tetap tidak bisa mengendalikan mata uangnya. Pada akhirnya, jam 7 malam pada hari yang sama, Inggris memutuskan untuk keluar dari ERM demi memiliki kendali yang penuh untuk mengatur mata uangnya. Ini menandakan kemenangan George Soros dalam pertaruhan ini. Sebagai pemenang, Soros meraup keuntungan hingga US$1 miliar dan membuat namanya dan Quantum Fund diingat dalam sejarah keuangan global.
Lalu, apakah George Soros adalah Ancaman untuk Indonesia?
Kutipan dari Thucydides digunakan sebagai pembuka dari artikel ini bukanlah tanpa alasan. “The strong what they can and the weak suffer what they must,” merefleksikan bagaimana pandangan realisme dalam studi Hubungan Internasional. Dalam keadaan anarki, negara-negara kuat menggunakan kekuatan yang mereka miliki kepada negara-negara lemah untuk mendapatkan keuntungan yang dapat meningkatkan kekuatannya.
Namun dengan beranjaknya studi Hubungan Internasional dari membicarakan perilaku antar negara menjadi perilaku antar aktor yang lebih luas, dimana tidak hanya melibatkan negara tetapi juga organisasi internasional dan bahkan individu, pihak-pihak kuat yang dapat mengancam pihak-pihak yang lemah tidak lagi terbatas pada negara. Individu dengan pengaruh yang kuat seperti George Soros telah terbukti dapat mengancam bahkan menghancurkan perekonomian negara sebesar Inggris.
Lalu sekarang Soros menjadi perbincangan tentang perannya dalam unjuk rasa di Indonesia. Pertanyaanya adalah, apakah George Soros adalah sebuah ancaman atau lebih dari itu?
Kita perlu melihat kembali permainan Soros di Inggris. Saat itu, pemerintah Inggris bergabung dengan sistem ERM dengan kondisi poundsterling yang terlalu kuat. Keputusan ini adalah keputusan yang buruk karena yang dibutuhkan Inggris saat itu adalah kemandirian dalam mengatur kebijakan moneternya. Kesalahan tersebut menghasilkan celah yang dimanfaatkan oleh kapitalis seperti Soros. Soros melihat celah dari kebijakan yang salah dan mengambil untung dari situ. Tidak ada yang bisa memastikan apakah perekonomian Inggris akan lebih baik jika tidak bergabung dengan ERM, tetapi nilai tukar yang terkendali akan mencegah kapitalis besar membeli poundsterling di harga tinggi dan menjualnya kembali saat harganya jatuh.
Layaknya kutipan di awal tadi. Soros hanya melakukan apa yang dia bisa lakukan terhadap peluang yang ada. Dari kacamata realisme, ini merupakan dosa sebuah negara untuk tampil lemah, dalam hal ini rentan secara ekonomi, sehingga memancing pihak yang kuat untuk menyerangnya.
George Soros lebih dari sekadar ancaman. Dia hakim. Seorang hakim yang akan menghukum negara-negara berdosa. Indonesia memiliki iklim politik yang tidak stabil. Kebijakan pemerintah yang seringkali tidak sejalan dengan rakyat membuat konflik mudah sekali terpicu. Konflik akan mengganggu jalannya bisnis, membuat pasar saham terganggu karena investor takut akan ketidakpastian politik, dan mengguncang nilai mata uang rupiah. Krisis-krisis tersebut dapat memunculkan konflik antara rakyat dan negara yang, kemungkinan terburuknya, adalah menjatuhkan rezim yang sedang berkuasa.
Open Society Foundations pada awal masa berdirinya memiliki visi untuk menjauhkan Hungaria dari pengaruh komunisme melalui proyek-proyeknya seperti hak asasi manusia, demokrasi, dan kebebasan pers. Dari visinya, bisa terlihat kalau Open Society Foundation mempromosikan nilai-nilai Barat. Lalu kita harus mengingat kalau Indonesia baru-baru ini, di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto, bergabung dalam forum BRICS yang memiliki visi untuk menandingi mata uang dollar. Ini menunjukkan kedekatan Indonesia dengan Timur alih-alih dengan Barat. Kita tidak bisa tahu motivasi sebenarnya George Soros di Indonesia, tapi ini akan mengancam nilai-nilai Barat yaitu liberalisme dan kapitalisme yang telah menguntungkan para kapitalis Barat selama ini.
Hal yang dapat disimpulkan adalah George Soros memanglah ancaman bagi negara, tetapi ia lebih dari itu. Soros menjadi ancaman bagi negara-negara lemah, baik dari ekonomi maupun politiknya. Soros, sebagai seorang kapitalis, tentunya mengambil kesempatan yang muncul dari kelemahan suatu negara demi keuntungannya. Sampai saat ini, tidak ada yang bisa membuktikan secara pasti peran Soros dalam unjuk rasa Agustus-September lalu di Indonesia. Tetapi, unjuk rasa itu menunjukkan kelemahan Indonesia yang tentunya dimanfaatkan oleh pihak-pihak kuat demi kepentingannya, seperti menjauhkan kedekatan Indonesia dengan BRICS yang dapat mengancam nilai-nilai Barat yang telah menguntungkan para pihak kuat selama ini.
