Gen Z, Bonus Demografi, dan Visi Presiden
Ali Rif’an
Dosen FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
Direktur Eksekutif Arus Survei Indonesia
Fenomena generasi Z kesulitan mendapatkan pekerjaan kini telah menjadi persoalan serius di seluruh dunia. Investigasi Harian Kompas berjudul “Gen Z terpaksa Polyworking karena Kurang Uang”(19/5/2025) menyebutkan, sebagian dari generasi Z saat ini melakoni beberapa pekerjaan sekaligus (polyworking). Misalnya dalam jajak pendapat Capital One menemukan 36 persen gen Z di Kanada punya pekerjaan sampingan.
Begitu pula jajak pendapat Paychex pada 2023 mengungkapkan hampir separuh gen Z di Amerika Serikat punya beberapa pekerjaan. Sebanyak 47 persen bahkan mempunyai tiga atau lebih pekerjaan sebagai solusi untuk bertahan hidup. Angka-angka tersebut diproyeksikan akan terus meningkat lantaran dipicu oleh ketidakstabilan ekonomi global dan disrupsi teknologi digital yang mengakibatkan kecilnya upah pekerja dan hilangnya kesempatan kerja.
Hal sama terjadi di Indonesia. Data Badan Pusat Statistik (BPS) 2024 menyebutkan, sekitar 9,9 juta generasi Z Indonesia menganggur. Angka ini tentu bukan sekadar data statistik, melainkan sinyal darurat bagi sebuah bangsa. Selain penggerak utama Indonesia Emas 2045, generasi Z oleh Marc Prensky (2001) disebut sebagai “digital natives” yang lahir dan tumbuh dalam lingkungan digital. Mereka berpikir, belajar, dan berkomunikasi dengan cara yang berbeda dengan generasi sebelumnya.
Gen Z tak hanya addicted terhadap teknologi digital, melainkan adaptif dengan perkembangan zaman. Sehingga, ketika gen Z saja kesulitan mencari pekerjaan, bagaimana dengan generasi lainnya. Kondisi ini makin kompleks lantaran secara faktual gen Z merupakan generasi terbesar dalam postur demografi Indonesia.
Postur demografi
Data Sensus Penduduk 2020 menyebutkan, dalam postur demografi, generasi Z mendominasi populasi Indonesia dengan proporsi 27,94%, disusul generasi Milenial (25,87%), generasi X (21,88%), Baby Boomer (11,56%), dan Pre-Boomer (1,87%). Sebagai generasi utama, posisi gen Z sangat strategis mengingat Indonesia saat ini (2020-2035) sedang mengalami bonus demografi, yakni sekitar 69-70% dari total penduduk berada dalam usia produktif (15-64 tahun).
Bonus demografi merupakan peluang emas lantaran hanya datang sekali dalam sejarah. Bila dikelola dengan tepat maka bisa membuat negara melompat jauh ke depan. Sebaliknya, bila gagal mengelolanya justru bisa berubah jadi beban negara.
Contoh negara yang gagal mengelola bonus demografi misalnya Nigeria, memiliki populasi muda sangat besar (lebih dari 60% penduduk berusia di bawah 25 tahun). Namun karena tingkat pengangguran tinggi dan pendidikan rendah, maka alih-alih menjadi kekuatan ekonomi, populasi muda justru menjadi beban sosial, ekstremisme domestik, serta ketidakstabilan politik.
Hal sama terjadi di Mesir, Brazil, dan Afrika Selatan. Bonus demografi berubah menjadi “beban demografi” hingga memunculkan berbagai kerusuhan sosial. Bahkan di Afrika Selatan, populasi muda yang besar karena tidak dibarengi dengan penciptaan lapangan kerja, selain memicu frustrasi sosial dan peningkatan angka kriminalitas, juga mengakibatkan sekitar 53% generasi muda menganggur lantaran tidak terserap pasar tenaga kerja.
Kegagalan mengelola bonus demografi yang berujung pada meningkatnya kriminalitas dan ancaman stabilitas nasional ini perlu jadi atensi pemerintahan Prabowo Subianto. Di tengah situasi pertumbuhan ekonomi pada kuartal I 2025 masih 4,87% (masih lebih baik dibandingkan Singapura 3,8%, Malaysia 4,4%, bahkan Amerika Serikat 2,0%) dan tingkat kepuasan kinerja (approval rating) dalam sejumlah survei di atas 80%, seharusnya pemerintahan saat ini lebih power full dan optimistik dalam mengelola bonus demografi.
Belajar dari Vietnam
Indonesia perlu belajar dari Vietnam, Tiongkok, Korea Selatan, dan Irlandia. Saat menghadapi bonus demografi, negara-negara tersebut melakukan investasi besar-besaran dalam bidang pendidikan, industrialisasi, dan teknologi. Sebagai contoh, Vietnam yang pertumbuhan ekonominya saat ini 6,93% punya kunci keberhasilan dengan sinkronisasi antara reformasi ekonomi, pendidikan, infrastruktur, dan penciptaan iklim investasi yang ramah tenaga kerja.
Vietnam mampu membuat bonus demografi jadi mesin pertumbuhan ekonomi, bahkan posisinya kini menjadi salah satu pusat manufaktur global, menyaingi Tiongkok dalam sektor padat karya. Itulah mengapa nilai investasi Apple (Rp265,7 triliun) dan Samsung (Rp289,8 triliun) ke Vietnam sangat besar bandingkan dengan Indonesia (perusahan Apple hanya Rp1,6 triliun dan Samsung Rp8 triliun).
Selain punya program spektakuler Doi Moi (semacam reformasi ekonomi), Vietnam tak hanya melihat gen Z sebagai angka dalam bonus demografi, tatapi sebagai penggerak transformasi nasional. Misalnya berivestasi besar dalam STEM (Science, Technology, Engineering, Mathematics) dan kurikulum berbasis kompetensi yang kemudian hasilnya pelajar Vietnam konsisten mencetak prestasi tinggi dalam tes internasional seperti PISA. Termasuk program Vietnam innovative Startup Ecosystem (VISE) dan berbagai kemitraan dengan Google dan Microsoft untuk pelatihan digital generasi muda.
Visi pemimpin Vietnam yang punya keberpihakan terhadap generasi Z melalui berbagai kebijakan dan inisiatif strategis merupakan strategi nasional yang perlu diikuti. Sebab, masa depan suatu bangsa sangat ditentukan oleh bagaimana negara memberdayakan dan membuka jalan bagi generasi mudanya. Lantas pertanyaannya, bagaimana dengan visi pemimpin Indonesia?
Visi Presiden
Dalam visi Presiden Prabowo yang termaktub pada Astacita, setidaknya ada tiga poin yang menunjukkan keberpihakan terhadap pengelolaaan bonus demografi dan generasi Z. Poin tentang peningkatan lapangan kerja, sumberdaya manusia (SDM), dan hilirisasi. Misalnya, pada Meret 2025 lalu, Presiden Prabowo menyampaikan akan membangun 30 proyek raksasa sehingga bisa menciptakan 8 juta lapangan kerja.
Selain itu, Presiden Prabowo juga punya dua program prestisius di bidang pendidikan, yakni Sekolah Rakyat (ditujukan bagi siswa dari keluarga kurang mampu) dan Sekolah Unggulan Garuda (ditujukan bagi siswa berprestasi agar dapat melanjutkan ke perguruan tinggi berkelas dunia). Dua program tersebut diproyeksikan untuk mengakselerasi sektor pendidikan di Indonesia, baik dari aspek kualitasnya maupun kuantitasnya.
Tentu kita mengapresiasi terobosan dan ikhtiar Presiden Prabowo. Namun catatannya, jangan sampai program-program strategis tersebut hanya berhenti pada tataran wacana atau simbol politik belaka. Keberpihakan terhadap generasi Z dalam kerangka pengeloaan bonus demografi perlu dibuktikan dengan langkah konkrit pada alokasi anggaran yang memadai. Visi Presiden dalam Astacita harus benar-benar “membumi” dan dijalankan secara konsisten serta tepat sasaran, supaya tidak hanya mampu menjawab persoalan pengangguran generasi Z, tetapi juga jadi pondasi kuat menuju Indonesia Emas 2045.
*) Artikel opini ini terbit di Kompas (31/5/2025)
Link tulisan: https://www.kompas.id/artikel/gen-z-bonus-demografi-dan-visi-presiden