Friends with Benefits: Antara Kebebasan, Kepuasan, dan Pergeseran Nilai Sosial
Oleh Adam Fadillah Ilham Nuryadin
Mahasiswa Sosiologi Semester 4 FISIP UIN Jakarta dan Sekretaris FOKUS (Forum Kajian dan Diskusi Sosiologi) Prodi Sosiologi FISIP UIN Jakarta
Hubungan antarmanusia, terutama di kalangan generasi muda, semakin kompleks dan beragam. Salah satu fenomena yang menarik untuk dikaji adalah hubungan Friends With Benefits (FWB). Hubungan ini dicirikan oleh adanya keintiman fisik tanpa keterikatan emosional yang mendalam dan telah menjadi topik yang sering diperbincangkan dalam berbagai diskusi. Untuk memahami dinamika hubungan FWB secara lebih mendalam, analisis melalui kerangka teoretis yang relevan diperlukan. Salah satu teori yang dapat diterapkan dalam kajian ini adalah teori pertukaran sosial.
Teori pertukaran sosial yang dikemukakan oleh George C. Homans menekankan bahwa interaksi sosial merupakan suatu proses pertukaran sumber daya, di mana individu cenderung mempertahankan hubungan yang memberikan keuntungan atau imbalan bagi mereka. Dalam konteks hubungan FWB, individu yang terlibat akan mempertimbangkan manfaat yang mereka peroleh, seperti kepuasan seksual, rasa dibutuhkan, atau bahkan peningkatan status sosial. Namun, di samping manfaat yang diperoleh, hubungan ini juga melibatkan sejumlah biaya, termasuk pengeluaran waktu, energi, serta risiko emosional yang mungkin timbul. Dengan demikian, individu dalam hubungan ini berusaha untuk memaksimalkan keuntungan dan meminimalkan biaya dalam setiap interaksi sosial yang mereka jalani.
Dalam praktiknya, hubungan FWB tidak hanya terjadi antara teman yang telah saling mengenal sebelumnya, tetapi juga dapat terbentuk di antara individu yang baru berkenalan. Lachmann (dalam Nuril, 2015) menegaskan bahwa hubungan semacam ini dapat berkembang dalam berbagai konteks interaksi sosial. Mahasiswa merupakan salah satu kelompok sosial yang kerap kali dikaitkan dengan fenomena ini. Menurut Hafizzh (2019), mahasiswa adalah individu yang tengah menempuh pendidikan di perguruan tinggi dan memiliki kemampuan berpikir kritis serta kecerdasan dalam bertindak. Mereka sering kali disebut sebagai agen perubahan (agent of change), yang secara hakikatnya senantiasa terlibat dalam berbagai interaksi sosial, termasuk hubungan dengan lawan jenis.
Pada umumnya, mahasiswa berusia sekitar 18 tahun, yang telah memasuki kategori usia dewasa awal. Menurut Willis (dalam Etrawati dkk., 2018), rentang usia 18 hingga 24 tahun merupakan masa transisi menuju kedewasaan yang ditandai dengan berbagai tugas perkembangan. Salah satu tugas perkembangan yang diidentifikasi oleh Turner dan Helms (dalam Arosna, 2014) adalah menjalin hubungan romantis atau berpacaran. Fenomena FWB yang berkembang di kalangan mahasiswa mencerminkan dinamika relasi sosial yang unik, yang menjadikannya menarik untuk diteliti lebih lanjut.
Berdasarkan fenomena tersebut, terdapat beberapa pertanyaan yang dapat dijadikan dasar dalam analisis hubungan FWB menggunakan teori pertukaran sosial. Pertama, bagaimana teori pertukaran sosial yang dikemukakan oleh George C. Homans dapat digunakan untuk menganalisis fenomena FWB di kalangan mahasiswa? Kedua, faktor-faktor apa saja yang mendorong mahasiswa untuk terlibat dalam hubungan FWB? Ketiga, bagaimana pergeseran makna yang terjadi dalam hubungan FWB di kalangan mahasiswa? Kajian ini berupaya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan menggunakan pendekatan sosiologis yang berlandaskan teori pertukaran sosial Homans.
Teori pertukaran sosial Homans menjelaskan bahwa interaksi manusia melibatkan pertukaran imbalan dan biaya, baik dalam bentuk materi maupun non-materi. George C. Homans mengaitkan teori ini dengan prinsip behaviorisme dan psikologi individu, menekankan bahwa manusia cenderung mempertahankan interaksi jika keuntungan yang diperoleh lebih besar daripada pengorbanan yang dikeluarkan. Konsep ini juga berlaku dalam fenomena Friends with Benefits (FWB), di mana individu menjalin hubungan intim tanpa komitmen emosional yang mendalam. Homans berpendapat bahwa perilaku sosial dapat dijelaskan melalui pertukaran aktivitas yang memberikan keuntungan atau mengurangi kerugian. Dalam konteks modern, FWB muncul sebagai respons terhadap kebutuhan afeksi dan seksual tanpa tuntutan hubungan romantis tradisional. Fenomena ini banyak ditemui di kalangan generasi muda yang lebih mengutamakan fleksibilitas dalam relasi interpersonal. Dengan demikian, teori pertukaran sosial memberikan kerangka analisis untuk memahami dinamika hubungan FWB secara lebih sistematis.
Pergeseran Makna Hubungan dalam Perspektif Teori Pertukaran Sosial
Dalam menganalisis perilaku manusia dalam interaksi sosial, George C. Homans menggunakan konsep-konsep ekonomi seperti biaya (cost), imbalan (reward), dan keuntungan (profit). Konsep-konsep ini kemudian diaplikasikan dalam konteks pertukaran sosial, di mana setiap interaksi antarindividu melibatkan pengorbanan dan keuntungan yang diperoleh. Homans berpendapat bahwa setiap perilaku manusia saling memengaruhi dalam suatu hubungan sosial yang melibatkan paling tidak dua orang. Dalam konteks hubungan Friends with Benefits (FWB), terdapat berbagai bentuk pengorbanan, seperti menjaga penampilan dan berkomunikasi secara efektif demi mempertahankan hubungan tanpa komitmen yang telah disepakati. Selain itu, aspek kerahasiaan menjadi elemen penting dalam hubungan FWB, sebagaimana yang dikemukakan oleh Hughes, Morrison, & Asada (2005), yang menyatakan bahwa kesepakatan antara pasangan FWB harus mencakup aturan terkait keterbukaan dan privasi.
Dalam konteks mahasiswa, kebebasan yang lebih luas dibandingkan dengan masa sekolah menjadi faktor yang mendorong munculnya fenomena pergaulan bebas seperti FWB. Mahasiswa yang tinggal jauh dari keluarga dan memilih tinggal di kos-kosan memiliki akses yang lebih besar untuk menjalin hubungan tanpa komitmen. Fenomena ini semakin tersebar luas di lingkungan masyarakat, terutama di kalangan mahasiswa. Studi yang dilakukan oleh Dwilaksmi (2023) mengidentifikasi dua faktor utama yang menyebabkan individu memilih hubungan FWB, yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal meliputi keengganan untuk berkomitmen, keinginan untuk tetap bebas, serta kebutuhan akan hiburan dan perhatian. Sementara itu, faktor eksternal mencakup pengalaman kegagalan dalam hubungan romantis, ketidakpercayaan terhadap pasangan, dan ketidaksukaan terhadap intervensi pihak ketiga dalam hubungan.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Leandro (2023) juga menunjukkan bahwa faktor eksternal dalam hubungan FWB mencakup pola asuh orang tua serta lingkungan pergaulan. Sementara itu, faktor internal mencakup aspek mentalitas modern, kebutuhan akan keintiman dan dukungan emosional, pengalaman traumatis, kepuasan seksual, serta keterikatan emosional terhadap pasangan FWB. Perubahan pola hubungan ini mencerminkan adanya pergeseran dalam norma sosial dan nilai budaya, terutama dalam cara individu memahami dan menjalani hubungan romantis.
Salah satu aspek utama dalam pergeseran makna hubungan romantis adalah kecenderungan individu untuk menunda komitmen. Pada tahap dewasa awal, individu biasanya memiliki keinginan untuk menjalin hubungan yang lebih serius, seperti berpacaran atau menikah. Namun, kegagalan dalam menjalin hubungan romantis dapat mendorong individu untuk memilih hubungan tanpa komitmen seperti FWB. Faktor lain yang memengaruhi fenomena ini adalah perubahan pandangan mengenai seksualitas. Sejak revolusi seksual pada abad ke-20, pandangan masyarakat terhadap seksualitas semakin terbuka, terutama dengan munculnya berbagai media yang menampilkan hubungan intim sebagai bagian dari ekspresi individu. Dalam konteks Indonesia, modernisasi dan globalisasi turut mempercepat penerimaan konsep-konsep hubungan yang lebih fleksibel, termasuk FWB.
Kemajuan teknologi juga memainkan peran penting dalam pergeseran makna hubungan. Globalisasi telah membawa perubahan sosial yang signifikan, termasuk dalam cara individu membangun dan memahami hubungan interpersonal. Budaya Barat yang lebih terbuka terhadap hubungan tanpa komitmen telah memberikan pengaruh besar terhadap generasi muda di Indonesia. Fenomena ini semakin diperkuat oleh media populer, seperti film Friends with Benefits, yang menggambarkan hubungan tanpa komitmen sebagai sesuatu yang wajar. Dengan meningkatnya akses ke media sosial dan platform digital lainnya, konsep FWB semakin dikenal dan diterima di kalangan masyarakat urban.
Dalam masyarakat tradisional, hubungan romantis umumnya diatur oleh norma-norma sosial yang kuat, seperti kewajiban menuju pernikahan. Namun, perubahan nilai sosial dan budaya telah membuka ruang bagi munculnya berbagai bentuk hubungan alternatif, termasuk FWB. Masyarakat modern semakin menerima fleksibilitas dalam hubungan romantis, memungkinkan individu untuk menikmati keintiman fisik tanpa harus terikat oleh komitmen emosional yang mendalam. Pergeseran ini menunjukkan bahwa norma sosial mengenai hubungan romantis terus berkembang, dipengaruhi oleh berbagai faktor sosial, budaya, dan teknologi yang membentuk pola interaksi manusia di era kontemporer.
Kesimpulan
Fenomena Friends with Benefits (FWB) semakin berkembang di kalangan remaja dan mahasiswa, terutama di lingkungan kampus, di mana individu memiliki kebebasan lebih besar dalam menjalin hubungan tanpa terikat norma tradisional. Globalisasi, kemajuan teknologi, dan perubahan nilai sosial berkontribusi terhadap penerimaan FWB sebagai bagian dari budaya pergaulan modern. Remaja menjalin hubungan ini dengan berbagai motif, seperti mencari hiburan, memenuhi kebutuhan seksual, atau mengatasi trauma. Meskipun praktik ini dinormalisasi di kalangan tertentu, secara budaya tetap dianggap menyimpang di Indonesia. Dalam perspektif teori pertukaran sosial, hubungan FWB dipahami sebagai interaksi yang didasarkan pada keuntungan timbal balik, di mana individu mempertimbangkan imbalan seperti kepuasan emosional, finansial, atau seksual, serta biaya yang dikeluarkan, termasuk waktu dan keterlibatan emosional. Namun, ketidakseimbangan dalam pertukaran ini dapat memicu konflik dan mengakhiri hubungan FWB, mendorong individu untuk mencari pasangan lain yang lebih memenuhi ekspektasi mereka.(Tries)
Daftar Pustaka
Arosna. Dwi Asih.2014. Pengaruh Pendidikan Kesehatan Reproduksi Terhadap Pengetahuan Dan Sikap Mahasiswa DI FIK UMS. Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Dewi, P. Y. T., & Sumantri, M. A. (2020). Menguji Kepuasan Hubungan Melalui Intimasi dan Perasaan Cemburu pada Pelaku Hubungan Friends with Benefits. Jurnal Psikologi Teori Dan Terapan, 10(2), 114–126. https://doi.org/10.26740/jptt.v10n2.
Dwilaksmi, M. F. M. W. (2019). Dampak Melakukan Friend With Benefits Relationship Pada Dewasa Awal. Fakultas Psikologi. Universitas Katolik Soegijapranata Semarang.
Etrawati Fenny,Meyzulya,Yeni, Nurly Melinda. Aspek Inovasi Mempengaruhi Kesehatan Reproduksi Pada Mahasiswa Dikota Palembang. 2018. Volume XXX No 17. 62.
Hughes, M., Morrison, K., & Asada, K. J. K. (2005). What's love got to do with it? Exploring the impact of maintenance rules, love attitudes, and network support on friends with benefits relationships. Western Journal of Communication, 69(1), 49-66.
Leandro, G. S. (2023). Studi Kasus: Faktor Mahasiswa Denpasar Melakukan Hubungan Friends With Benefits. Jurnal Socia Logica. Volume 2 (1).
Masha, J., & Ashaf, A. F. (2022). Konstruksi Sosial Dalam Jalani Hubungan Friends with Benefits (FWB) (Studi Pada Remaja Di Kota Bandarlampung). Intercode, 2(1), 9. http://journal.uml.ac.id/IRE/article/view/808
Nuril Azizah. 2020. Interaksi Pertemanan Friends With Benefits (FWB) Pada Penggunaan Aplikasi Tinder Di Kota Surabaya. Skripsi. Surabaya: Universitas Airlangga
Ritzer, George. Douglas J. Goodman. 2012. Teori Sosiologi dari Teori Sosiologi Klasik sampai perkembangan mutakhir Teori Sosial Postmodern. Bantul: Kreasi Wacana.