Fenomena One Piece di Indonesia: Ancaman atau Peluang bagi Keamanan Budaya?
Penulis : Muhammad Rafi’ Hulaimi (Mahasiswa Hubungan Internasional FISIP UIN Jakarta)
Serial One Piece dalam beberapa tahun terakhir wacana mengenai pengaruh budaya pop Jepang terhadap identitas nasional Indonesia telah menjadi perdebatan yang cukup serius di berbagai kalangan. One Piece, sebagai salah satu manga dan anime terpopuler di dunia, memiliki basis penggemar yang sangat besar di Indonesia. Fenomena ini memunculkan pertanyaan: apakah kepopuleran One Piece dan budaya pop Jepang lainnya dapat mengancam keamanan nasional Indonesia, khususnya dari perspektif budaya dan ideologi?
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, kita perlu memahami bahwa keamanan nasional tidak hanya berbicara tentang ancaman militer atau terorisme, tetapi juga mencakup dimensi budaya, sosial, dan ideologi. Ketika suatu bangsa kehilangan jati dirinya dan generasi mudanya lebih mengenal budaya asing daripada budaya sendiri, ini dapat dianggap sebagai ancaman terhadap ketahanan nasional dalam konteks yang lebih luas.
Indonesia memiliki hubungan yang cukup unik dengan One Piece. Serial manga karya Eiichiro Oda yang pertama kali terbit pada tahun 1997 ini telah menjadi salah satu konten hiburan paling populer di kalangan anak muda Indonesia. Kepopuleran One Piece di Indonesia dimulai sejak awal tahun 2000-an ketika anime ini mulai ditayangkan di stasiun televisi lokal. Sejak saat itu, basis penggemarnya terus berkembang pesat hingga mencapai jutaan orang.
Yang menarik adalah Indonesia sebagai negara maritim dengan ribuan pulau memiliki kesamaan geografis dengan dunia One Piece yang didominasi oleh lautan dan pulau-pulau. Tema petualangan di laut, pencarian harta karun, dan semangat kebebasan yang diusung One Piece tampaknya beresonansi dengan sejarah maritim Indonesia sebagai negara kepulauan yang pernah menjadi pusat jalur perdagangan rempah-rempah dunia. Beberapa penggemar bahkan mengidentifikasi kesamaan antara Kerajaan Majapahit dengan kekaisaran-kekaisaran dalam One Piece yang menguasai lautan.
Namun, kesinambungan ini bukan tanpa konsekuensi. Generasi muda Indonesia kini lebih mengenal karakter seperti Monkey D. Luffy, Roronoa Zoro, dan Nami dibandingkan dengan tokoh-tokoh pahlawan nasional Indonesia seperti Pattimura, Cut Nyak Dien, atau Sultan Hasanuddin. Survei informal di berbagai sekolah menunjukkan bahwa siswa lebih hafal nama-nama karakter anime Jepang dibandingkan nama-nama pahlawan nasional. Ini menunjukkan adanya pergeseran nilai dan referensi budaya di kalangan generasi muda.
Perjalanan One Piece di Indonesia dimulai pada awal tahun 2000-an ketika beberapa stasiun televisi swasta mulai menayangkan anime-anime Jepang. One Piece menjadi salah satu yang paling diminati karena alur ceritanya yang menarik dan karakter-karakternya yang unik. Pada periode ini, Indonesia sedang mengalami era keterbukaan informasi pasca-reformasi 1998, di mana konten-konten asing lebih mudah masuk dan diakses oleh masyarakat.
Pada pertengahan tahun 2000-an, industri perbukuan Indonesia mulai menerbitkan versi terjemahan manga One Piece secara resmi. Ini menandai babak baru di mana One Piece tidak hanya dikonsumsi melalui tayangan televisi, tetapi juga menjadi komoditas bacaan yang diminati. Toko-toko buku besar seperti Gramedia mencatat bahwa One Piece selalu masuk dalam jajaran manga terlaris setiap tahunnya.
Memasuki era digital tahun 2010-an, konsumsi One Piece semakin masif dengan hadirnya platform streaming legal maupun ilegal. Situs-situs streaming anime dan platform pembaca manga online membuat One Piece semakin mudah diakses oleh siapa saja. Komunitas-komunitas penggemar One Piece bermunculan, baik secara online maupun offline. Mereka mengadakan berbagai acara seperti cosplay, nonton bareng episode terbaru, hingga diskusi teori-teori mengenai alur cerita.Pada tahun 2023-2024, kepopuleran One Piece mencapai puncaknya dengan rilisnya adaptasi live-action Netflix yang mendapat sambutan sangat positif secara global, termasuk di Indonesia. Media sosial Indonesia dipenuhi dengan konten-konten terkait One Piece, dan bahkan beberapa tokoh publik mengaku sebagai penggemar serial ini. Fenomena ini menunjukkan bahwa One Piece bukan lagi sekadar hiburan anak-anak, tetapi telah menjadi fenomena budaya yang melintasi berbagai generasi.
Dari perspektif keamanan budaya, kepopuleran One Piece dapat dilihat dari dua sisi. Di satu sisi, ada kekhawatiran bahwa generasi muda Indonesia kehilangan akar budayanya sendiri. Ketika anak-anak Indonesia lebih hafal lagu tema One Piece dibanding lagu-lagu daerah, ketika mereka lebih memahami filosofi nakama (persahabatan ala Jepang) dibanding nilai-nilai gotong royong asli Indonesia, ini bisa menjadi tanda erosi identitas nasional.
Beberapa pengamat budaya berpendapat bahwa soft power Jepang melalui anime dan manga adalah bentuk imperialisme budaya modern. Tidak seperti kolonialisme masa lalu yang menggunakan kekuatan militer, imperialisme budaya bekerja secara halus melalui produk-produk hiburan yang menarik dan menghibur. Tanpa disadari, konsumen produk budaya tersebut mulai mengadopsi nilai-nilai, gaya hidup, dan pandangan dunia dari budaya yang mengekspor produk tersebut.
Dalam konteks One Piece, nilai-nilai seperti pemberontakan terhadap otoritas (yang direpresentasikan oleh Angkatan Laut Dunia), pencarian kebebasan absolut, dan individualisme yang kuat bisa bertentangan dengan nilai-nilai kolektivisme dan harmoni sosial yang menjadi inti budaya Indonesia. Karakter Luffy yang terus-menerus menentang pemerintah dunia dan hukum yang ada bisa membentuk mindset bahwa melawan otoritas adalah sesuatu yang heroik, tanpa mempertimbangkan konteks dan konsekuensinya dalam dunia nyata.
Namun di sisi lain, pengaruh One Piece tidak sepenuhnya negatif. Serial ini juga mengajarkan nilai-nilai positif seperti persahabatan, kesetiaan, kerja keras, dan pantang menyerah. Tema-tema seperti melawan ketidakadilan, melindungi yang lemah, dan memperjuangkan impian adalah nilai-nilai universal yang juga ada dalam budaya Indonesia. Bahkan, beberapa pendidik menggunakan One Piece sebagai media pembelajaran untuk mengajarkan nilai-nilai karakter kepada siswa karena daya tariknya yang kuat.
Dari perspektif ekonomi kreatif, kepopuleran One Piece dan anime lainnya telah menciptakan ekosistem industri kreatif lokal. Banyak seniman Indonesia yang terinspirasi untuk membuat karya komik dan animasi mereka sendiri. Event-event seperti anime festival menciptakan lapangan pekerjaan dan menggerakkan ekonomi. Industri merchandise, jasa cosplay, dan berbagai usaha terkait anime telah menjadi sumber penghasilan bagi ribuan orang Indonesia.
Yang perlu dicermati adalah bahwa ancaman sesungguhnya bukan pada produk budayanya itu sendiri, tetapi pada ketiadaan produk budaya Indonesia yang bisa menyaingi daya tarik One Piece. Ketika Indonesia gagal memproduksi konten hiburan berkualitas tinggi yang bisa menarik minat generasi mudanya sendiri, maka ruang kosong itu akan diisi oleh produk budaya asing. Masalahnya bukan pada populernya One Piece, tetapi pada lemahnya industri kreatif Indonesia dalam menghasilkan karya-karya yang equally appealing bagi anak muda.
Menurut saya, menganggap One Piece sebagai ancaman keamanan nasional adalah pandangan yang terlalu ekstrem dan tidak proporsional. One Piece adalah produk hiburan yang memiliki kualitas tinggi dari segi storytelling, pengembangan karakter, dan world-building. Kepopulerannya di Indonesia adalah konsekuensi natural dari kualitas produk tersebut dan keterbukaan pasar Indonesia terhadap produk budaya asing. Yang perlu dilakukan bukanlah memblokir atau membatasi akses terhadap One Piece dan produk budaya Jepang lainnya, tetapi memperkuat ketahanan budaya Indonesia dari dalam. Ini bisa dilakukan melalui beberapa cara.
Pertama, pendidikan budaya lokal harus diperkuat sejak dini, tetapi dengan cara yang menarik dan relevan bagi generasi muda, bukan dengan metode yang kaku dan membosankan. Kedua, pemerintah dan pelaku industri kreatif harus bekerja sama mengembangkan produk-produk budaya pop Indonesia yang berkualitas tinggi. Kita perlu komik, animasi, dan film Indonesia yang bisa menyaingi daya tarik One Piece. Bukan dengan meniru gaya Jepang, tetapi dengan mengangkat kekayaan budaya Indonesia sendiri dengan cara yang modern dan appealing. Beberapa karya seperti Si Juki, Tahilalats, dan beberapa webtoon Indonesia menunjukkan bahwa ada potensi besar yang bisa dikembangkan.
Ketiga, pendidikan literasi media perlu ditingkatkan. Generasi muda perlu diajarkan untuk menjadi konsumen media yang kritis, yang bisa menikmati produk budaya asing tanpa kehilangan jati diri mereka. Mereka perlu memahami bahwa menikmati One Piece tidak berarti harus meninggalkan budaya Indonesia, dan bahwa seseorang bisa menghargai berbagai budaya tanpa harus memilih salah satu. Keempat, kita perlu mengubah narasi dari "One Piece sebagai ancaman" menjadi "One Piece sebagai inspirasi dan kompetitor". Jepang berhasil membangun soft power-nya melalui industri kreatif yang kuat. Indonesia dengan kekayaan budaya dan cerita yang luar biasa seharusnya bisa melakukan hal yang sama. Kesuksesan One Piece seharusnya memotivasi kreator Indonesia untuk berkarya lebih baik, bukan membuat kita defensif dan menutup diri.
Apakah One Piece mengancam keamanan nasional Indonesia? Jawabannya adalah tidak, setidaknya tidak dalam pengertian ancaman yang nyata dan signifikan. One Piece adalah produk budaya pop yang populer secara global, dan kepopulerannya di Indonesia adalah refleksi dari kualitas produk tersebut serta kegagalan Indonesia menghasilkan alternatif lokal yang equally compelling.
Ancaman yang sesungguhnya terhadap ketahanan budaya Indonesia bukanlah kehadiran One Piece atau produk budaya asing lainnya, tetapi kelemahan internal kita sendiri: sistem pendidikan budaya yang tidak menarik, industri kreatif yang belum berkembang optimal, dan kurangnya investasi dalam produksi konten berkualitas tinggi yang berbasis budaya lokal.
Daripada memandang One Piece sebagai musuh, kita seharusnya melihatnya sebagai benchmark dan inspirasi. Jika Jepang bisa membangun industri kreatif yang produknya dinikmati di seluruh dunia, mengapa Indonesia tidak bisa? Kita memiliki ribuan cerita rakyat, legenda, dan sejarah heroik yang bisa diadaptasi menjadi karya-karya modern yang menarik. Kita memiliki keragaman budaya yang jauh lebih kaya dari Jepang. Yang kita butuhkan adalah political will, investasi yang memadai, dan ekosistem yang mendukung para kreator untuk berkarya.
Generasi muda Indonesia yang menikmati One Piece sekaligus mencintai budaya Indonesia adalah bukti bahwa keduanya tidak mutually exclusive. Tantangannya adalah bagaimana kita sebagai bangsa bisa menghasilkan karya-karya budaya yang bisa berdiri sejajar dengan One Piece dalam hal kualitas dan daya tarik. Ketika itu tercapai, pertanyaan tentang ancaman keamanan nasional dari produk budaya asing akan menjadi tidak relevan, karena kita sudah memiliki benteng budaya yang kuat: produk budaya kita sendiri yang berkualitas tinggi dan dicintai oleh rakyat kita sendiri.
Pada akhirnya, keamanan budaya nasional tidak dibangun dengan isolasi dan penolakan terhadap budaya asing, tetapi dengan penguatan dan pengembangan budaya sendiri yang mampu bersaing di era globalisasi. One Piece bukan ancaman yang harus ditakuti, tetapi kompetitor yang harus kita respon dengan karya-karya terbaik kita.
