Fast Fashion di India: Efektif atau Krisis?
Fast Fashion di India: Efektif atau Krisis?

Penulis : Talitha Rahayu Hutami Putri (Mahasiswa Hubungan Internasional)

Climate change dan pengaruhnya

 Pada perubahan iklim global saat ini, tidak hanya merubah pola hujan atau suhu yang kerap berubah tak menentu, India dihadapkan dengan tantangan ketersediaan air bersih yang semakin menurun dan menjadi isu domestik yang krusial. Dengan prediksi IPCC bahwa pemanasan global dapat meningkatkan resiko 5-20% kekeringan di wilayah Asia Selatan, beberapa wilayah di India pada 2025 telah mengalami penurunan muka air tanah serta ketersediaan air. Bukan hanya kuantitas, kualitas air di India juga terpengaruh. Salah satunya adalah bencana banjir yang membawa limbah domestik dan industri menuju sungai, waduk, ataupun sumber air lainnya dan meninggalkan bekas yang mencemari kualitas air ketika banjir mulai surut dan akhirnya memperparah krisis air bersih.

Di sisi lain, pertumbuhan penduduk yang terus meningkat setiap tahunnya, India menempati peringkat pertama dengan jumlah penduduk lebih dari 1,5 miliar pada tahun 2025. Akan tetapi penambahan populasi tersebut tidak diimbangi dengan ketersediaan sumber air bersih yang membuatnya menjadi krisis air bersih di beberapa wilayah India. Pasalnya, India hanya memiliki cadangan air tawar yang sedikit, sekitar 4% cadangan air tawar global. Kualitas air bersih bukan hanya dipengaruhi oleh perubahan iklim, akan tetapi diperburuk karena campur tangan manusia dan bagaimana otoritas pemerintah memfasilitasi pengelolaan limbah dan penyediaan filtrasi air.

Sebuah survei penelitian yang dilakukan oleh lembaga NITI Aayog menunjukan bahwa India berada di urutan 120 dari 122 negara terkait kualitas air. Artinya, India menjadi salah satu negara dengan kualitas air terburuk di dunia dengan sekitar 70% sumber airnya telah terkontaminasi yang menyebabkan kualitasnya menurun, tidak dapat dikonsumsi, dan 600 juta penduduk mengalami water stress karena permintaan akan air tidak sebanding dengan jumlah air bersih yang tersedia.

Akan tetapi, permasalahan air di India sudah melibatkan multi aktor yang tidak hanya pemerintah yang lalai, namun juga melibatkan aktor transnasional melalui perusahaan multinasional (MNC) yang menjadikan India sebagai pusat pabrik industri mereka, salah satunya perusahaan pakaian.

 Rezim perdagangan dan industri fesyen dibalik penyebab krisis air

 Di tengah tekanan perubahan iklim ini, tuntutan rezim perdagangan global memperparah krisis kualitas air. Globalisasi dan perjanjian perdagangan internasional turut mendorong negara untuk terus memajukan ekonominya melalui kegiatan produksi, impor, ekspor, dan lain sebagainya. India merupakan salah satu negara sebagai pusat produksi tekstil utama dunia, dikenal sebagai penghasil kapas dan tekstil, menanggung beban lingkungan dari model bisnis fast fashion yang serba masif dengan harga rendah. Selain limbah tekstil yang dihasilkan, produksi tekstil membutuhkan penggunaan air dengan skala yang besar. Industri fesyen dikenal sebagai konsumen air terbesar kedua secara global mencapai 93 miliar meter kubik setiap tahunnya serta menyumbang 20% air limbah dari kegiatan produksinya.

Seperti yang kita ketahui bahwa India menjadi salah satu tujuan perusahaan multinasional untuk dijadikan pusat industri tekstil dengan total pabrik industrinya lebih dari 200 ribu yang tersebar di seluruh wilayah India. Hal ini secara ironis menjadikan India sebagai tempat pembuangan limbah tekstil dunia khususnya dari negara-negara barat.

Untuk memproduksi satu kaos berbahan katun saja membutuhkan lebih dari 500 galon air serta 2.000 galon untuk celana berbahan jeans. Beberapa wilayah India yang sudah mengalami tekanan air masih memutuskan untuk tetap menanam kapas yang membutuhkan pestisida dalam budidayanya yang tak jarang menimbulkan resiko kesehatan bagi petaninya. Selain itu, banyak pabrik yang membuang limbah produksi langsung ke sungai atau laut tanpa melalui proses filtrasi. Hasilnya, 35% mikroplastik yang dibuang di laut didominasi oleh pembuangan limbah industri.

Salah satu wilayah India selatan yaitu Tiruppur yang dikenal sebagai pusat garmen dan memiliki industri yang kuat di bidang tekstil. Pabrik-pabrik yang berada di wilayah ini tak jarang membuang limbah tekstil yang tak diolah sehingga mengkontaminasi Sungai Noyyal yang sebelumnya merupakan sumber air bagi pertanian menjadi saluran air beracun yang memakan lahan pertanian. Akibatnya, petani dan penduduk setempat harus menggali sumur setiap tahunnya untuk mengambil air, bahkan kembali menjual air tersebut ke pabrik tekstil yang telah mengeringkan tanah di sana.

Dampaknya, kesehatan masyarakat memburuk dengan kasus ratusan ribu penduduk menderita penyakit akibat air kotor setiap tahunnya dan 1,5 juta meninggal karena diare akibat sanitasi yang tidak layak pada 2025. Pemerintah yang tidak siap siaga memaksa warga warga untuk tetap mengkonsumsi air dari sumur yang tercemar sehingga kasus keracunan atau bahkan kanker terus meningkat. Di kota besar, kekurangan air memicu ketegangan: misalnya pada 2020 pasokan air bersih di Delhi terhenti selama berminggu-minggu karena zat amonia dari limbah industri melebihi kemampuan pengolahan. Singkatnya, masyarakat kehilangan akses ke air minum aman, lahan pertanian layak, dan sumber pendapatan, mengancam ketahanan pangan dan stabilitas sosial.

Rezim perdagangan global pada realitanya sering menutup mata akan krisis yang diakibatkan oleh industri dan hanya sedikit mengatur regulasi penggunaan air. Di sisi lain, permintaan pasar global terus menghantui India dan perlahan mempengaruhi kegiatan produksi yang semakin masih dan pada akhirnya mempengaruhi cadangan air bersih. Dalam menanggapi kasus ini, banyak rezim perdagangan atau negara yang melakukan kerja sama, bersama-sama membuat perjanjian dagang atau kebijakan CSR dimana produsen wajib memperhatikan lingkungan atau membiayai kegiatan peduli lingkungan.

 Secara keseluruhan, rezim perdagangan global tidak mengatur air secara langsung, namun permintaan pasar internasional dan aturan keberlanjutan berperan mengarahkan perilaku penggunaan air. Eksportir India kini menghadapi tekanan adopsi praktik berkelanjutan (seperti sertifikasi hijau), yang secara tak langsung mendorong perusahaan dan petani memperbaiki manajemen air mereka. Di sisi lain, perdagangan bebas bisa mendorong ekspansi produksi intensif air.

 Kebijakan domestik India

Dalam menangani krisis air bersih, pemerintah India mengeluarkan berbagai kebijakan alternatif untuk mengatasinya. Salah satunya adalah program Jal Jeevan Mission pada 2024, yaitu program pengadaan tap water yang menyambungkan air bersih pada setiap rumah tangga. Pemerintah juga membentuk Kementerian Jal Shakti pada 2019 yang memiliki tanggung jawab untuk mengkoordinasikan pembersihan sungai-sungai dan konservasi air tanah. Pemerintah juga mulai menetapkan regulasi pengelolaan limbah dan penggunaan air industri yang lebih ketat, seperti aturan Zero Liquid Discharge meski implementasinya masih membutuhkan waktu yang bertahap.

Di sektor swasta, beberapa perusahaan fesyen besar mengklaim berinvestasi dalam isu-isu lingkungan. H&M misalnya, melakukan kerjasama dengan berbagai lembaga lainnya dalam mengurangi konsumsi air dan memberikan sunitakan dana pada projek daur ulang air di beberapa pabrik di wilayah India atau Bangladesh sehingga beberapa pabrik mampu mendaur ulang hampir 100% limbah air produksi.H&M juga berambisi untuk menetapkan target penggunaan kapas dan bahan daur ulang 100% serta mengurangi emisi karbon ke nol bersih. Akibat berkembangnya dunia menjadi modern, banyak perusahaan besar lain juga berkomitmen menuju mode berkelanjutan, akan tapi hasil signifikannya masih menimbulkan banyak kritik yang menekan pengurangan limbah ataupun penekanan regulasi sanitasi.