Efisiensi yang Tidak Efisien?
Oleh: Iding Rosyidin
Wakil Dekan Akademik FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Ketua Umum Apsipol (Asosiasi Program Studi Ilmu Politik Indonesia)
Mendengar kata “efisiensi” atau kata sifatnya, “efisien” selama ini selalu bernada positif. Sebab, efisiensi mengandung arti keberhasilan dalam melakukan suatu pekerjaan, biasanya diukur dari ketepatan waktu dan cara. Apa pun jenis pekerjaannya, kalau disebut efisien, pastilah akan menyenangkan bagi yang mendengarnya, lebih-lebih bagi yang melakukannya.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indoensia (KBBI) sendiri, efisiensi memiliki dua arti. Pertama, ketepatan cara dalam menjalankan suatu hal tanpa membuang waktu, uang, atau tenaga. Kedua, kemampuan menjalankan tugas dengan tepat dan baik tanpa membuang waktu, dana, atau tenaga.
Dengan kata lain, efisiensi adalah harapan bagi setiap orang. Efisiensi adalah keberhasilan. Efisiensi adalah keindahan.
Namun, saat ini, jika kata mendengar kata efisiensi, justeru nadanya telah berubah seratus delapan puluh derajat. Efisiensi telah menjadi sesuatu yang tak lagi ingin didengarkan oleh siapa pun; efisiensi telah beralih menjadi hal yang mungkin dimusuhi bersama. Pendeknya, efisiensi telah menjelma menjadi momok yang menakutkan.
Tidak Efisien?
Mengapa efisiensi berubah menjadi sesuatu yang menyebalkan? Tak lain karena efisiensi kini telah berubah makna menjadi “pemotongan anggaran”, “penundaan atau bahkan pembatalan suatu kegiatan”, dan sejenisnya. Efisiensi bisa juga mengandung arti pemblokiran dana untuk sejumlah kegiatan, dan sebagainya dan sebagainya.
Konon, efisiensi dalam maknanya yang sekarang, disebabkan karena Presiden Prabowo Subianto gegara telah berjanji di kampanye pilpres lalu ingin menyelenggarakan program makan siang gratis -kini berubah menjadi makan siang bergizi gratis—untuk rakyat Indonesia, maka dia ingin mewujudkan janjinya tersebut. Karenaa itu, segala daya dan upaya dikerahkan demi memenuhi janjinya itu. Malangnya, upaya itu terhenti pada satu tindakan: efisiensi.
Dana-dana di berbagai pemerintahan, mulai dari kementerian sampai universitas ditarik ke pusat demi mendukung program tersebut. Banyak kegiatan penting yang seharuskan dilaksanakan, tetiba harus dibatalkan, atau minimal ditunda dalam waktu yang cukup lama atau bahkan tidak jelas kapan dilaksanakan.
Jika benar efisiensi tersebut terkait dengan program makan siang bergizi gratis, mengapa tidak dilakukan secara selektif saja, atau gunakan saja skala prioritas. Misalnya, daerah-daerah di Indonesia yang masih ketinggalan dalam berbagai hal, atau daerah-daerah yang memilik banyak kasus stunting, diprioritaskan untuk menjadi sasaran program tersebut.
Sungguh miris ketika tersiar kabar ada sejumlah orang tua yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dari pekerjaannya di mana perusahaannya menerapkan efisiensi. Lalu apa gunanya anaknya mendapatkan makan siang bergizi gratis di sekolah sementara ayah atau ibunya tidak lagi bekerja? Bagaimana dengan sarapan dan makan malamnya?
Sebenarnya, hemat saya, tidak masalah bagi Prabowo untuk tidak melaksanakan janjinya untuk memberikan makan siang bergizi gratis secara sepenuhnya. Bisa saja dilaksanakan separuhnya, dengan cara melaksanakan program tersebut secara selektif, diprioritaskan pada daerah-daerah yang memang membutuhkan.
Publik Indonesia juga tampaknya tidak akan mempersoalkan hal itu. Logikanya daripada Prabowo menjalankan janjinya secara penuh padahal menimbulkan dampak negatif, lebih baik hanya menjalankan sebagiannya, tetapi tidak berdampak negatif pada kehidupan rakyat. Rakyat pastilah akan bisa memahaminya.
Kalau pun memang efisiensi anggaran dalam pengertian pemotongan anggaran di semua instansi pemerintahan harus dilaksanakan, maka hal itu pun harus benar-benar dilakukan secara selektif. Jangan sampai hal-hal yang bersifat substantif, termasuk yang kena efisiensi, sehingga justeru akan merugikan instansi itu sendiri.
Selain itu, program efisiensi jangan sampai terkesan pilih kasih. Ada kementerian yang tidak terkena atau hanya sedikit kena efisiensi ketika yang lainnya terkena. Tentu, hal ini menjadi pertanyaan besar bagi publik.
Satu hal lagi yang perlu ditekankan adalah bahwa program efisiensi ini seharusnya dimulai dari pusat, baik eksekutif maupun legislatif. Studi-studi banding ke luar negeri yang biasa dilakukan para anggota DPR, misalnya, seringkali tidak mendesak dilakukan. Nah, kegiatan semacam itulah yang terlebih dahulu dikenai efisiensi.
Seringkali hal itu sebenarnya cukup dilakukan dengan mempelajari dokumen yang tersebar di banyak sumber. Lebih-lebih sekarang kita hidup di era internet di mana di dalamnya banyak sekali dokumen-dokumen penting yang bisa kita unduh dan simpan kapan dan di mana saja.
Jadi, jika program efisiensi ini banyak dicontohkan di level atas, maka di level publik rakyat akan mudah menerimanya. Paling tidak, mereka tidak terlalu kecewa dengan program efisiensi yang sangat tidak mereka harapkan itu.
Dengan demikian, program efisiensi, meski kadung sudah dilaksanakan, tidak masalah jika dievaluasi kembali. Kalau pun terus dilaksanakan, pada gilirannya hasilnya juga tidak efisiensi. Maka, tidak salah kalau ada yang mengatakan program efisiensi ini justeru malah tidak efisien. Benarkah?