Dunia yang Tidak Pernah Benar-Benar Setara: Menyadari Ketimpangan dalam Sistem Global
Dunia yang Tidak Pernah Benar-Benar Setara: Menyadari Ketimpangan dalam Sistem Global

Penulis : Salma Suhailah Rajwa, Mahasiswa Hubungan Internasional

Di era serba digital ini, dunia terus bergerak menuju kemajuan dan keterhubungan antar satu sama lain. Teknologi kian berkembang, ekonomi tumbuh pesat, dan globalisasi yang kian mengaburkan batas-batas antar negara. Globalisasi seolah membuka gerbang masa depan bagi dunia yang baru dengan menjanjikan kesetaraan dan kesejahteraan bersama. Sayangnya, puluhan tahun berlalu, gerbang masa depan itu tampak semakin sulit untuk diraih. Istilah-istilah manis yang khas dalam perbincangan terkait globalisasi, seperti pembangunan, atau pertumbuhan ekonomi, terasa seperti janji-janji hampa. Semakin jauh kita melangkah, membuat semuanya terlihat semakin jelas bahwa tidak semua orang melangkah di jalan yang sama.

Sebagian negara melesat maju tak terhentikan, sementara sebagian yang lainnya tertinggal dalam bayang-bayang mimpi yang seolah pupus akibat sistem yang tak selalu adil dan berpihak kepada mereka. Negara-negara berkembang terus berjuang demi mengejar mimpi kesejahteraan, sementara negara-negara maju kian kokoh memegang kendali atas arah sistem ekonomi dan politik global. Ketimpangan dalam narasi dan nilai juga membuat dunia modern saat ini masih didominasi oleh cara pandang ala Barat, dengan ciri khasnya yang selalu berbicara tentang apa itu kemajuan, pembangunan, bahkan standar tentang bagaimana dunia seharusnya terlihat. Negara-negara di Selatan selalu diposisikan sebagai pihak yang harus mengejar ketertinggalan. Hal ini seolah-olah standar keberhasilan universal memiliki arti hanya sebatas pada apa yang didefinisikan oleh negara-negara maju.

Globalisasi senantiasa menjanjikan kesetaraan, namun dalam praktiknya justru berbanding terbalik. Globalisasi lebih sering memperkuat dominasi segelintir negara dan korporasi atau mayoritas lainnya. Dari luar, dunia tampak inklusif. Tetapi, struktur di dalamnya masih elitis dan kerap bersahabat dengan ketimpangan. Hal ini memunculkan pertanyaan-pertanyaan: apakah globalisasi benar-benar menjadi era yang membawa kesejahteraan bagi seluruh umat manusia? Ataukah globalisasi justru semakin memperdalam jurang antara negara maju dan negara berkembang?

Ketimpangan dapat dilihat dari bagaimana cara ekonomi global berjalan. Negara-negara maju menguasai sebagian besar rantai produksi dan teknologi, sementara negara berkembang terpaksa bertahan dalam posisi yang cenderung lebih dirugikan, yaitu sebagai penyedia bahan mentah atau target pasar konsumsi. Kebijakan yang umum kita dengar, seperti free trade, seringkali hanya bebas bagi mereka yang mempunyai power lebih. Ketika negara-negara Selatan berusaha untuk melindungi industrinya, tuduhan proteksionis pun dilontarkan. Namun sebaliknya, ketika negara-negara Utara memberikan subsidi dalam jumlah besar untuk sektor pertaniannya, mereka berdalih bahwa hal tersebut adalah bentuk strategi nasional. Sistem global saat ini tidak lagi menjunjung moralitas sebagai prinsip utama, akan tetapi soal siapa yang lebih memiliki daya tawar.

Tidak hanya perihal ekonomi, akan tetapi, ketimpangan juga tercermin dalam struktur politik internasional. Dewan Keamanan PBB, misalnya, yang memberikan kewenangan penuh terkait arah keputusan dunia kepada lima negara pemegang hak veto. Sementara terdapat lebih dari seratus negara lainnya, yang menginginkan pendapatnya untuk didengar dan dipertimbangkan. Ironis sekali, karena organisasi yang dibentuk atas dasar dan nama perdamaian justru menyimpan hierarki kekuasaan yang tidak demokratis. Hal ini menunjukkan bahwa saat ini kedaulatan negara masih sebatas formalitas konsep di atas secarik kertas. Sebab, dalam praktiknya, keputusan global masih bergantung pada kepentingan dan kekuasaan mereka yang paling berpengaruh.

Dalam beberapa dekade terakhir, lembaga-lembaga yang mengurusi keuangan internasional, seperti International Monetary Fund (IMF) dan World Bank menjadi sorotan, sebab mereka sering kali hadir diiringi oleh bualan janji manis belaka. Mereka menebar janji untuk membantu negara-negara berkembang supaya dapat keluar dari himpitan krisi dan mendorong pembangunan ekonomi. Namun, yang terjadi sebenarnya adalah sebaliknya, realitas pahit tentang bagaimana sistem global bekerja, dan tentang siapa yang benar-benar diuntungkan oleh sistem dan lembaga-lembaga tersebut.

Seperti misalnya yang telah terjadi di mayoritas negara di benua Afrika, yakni krisis utang. Banyak dari negara-negara di benua Afrika terjebak dalam lingkaran utang luar negeri, dengan meminjam untuk membayar utang lama, dan terus-menerus menyesuaikan kebijakan domestiknya untuk memenuhi persyaratan peminjaman yang baru. Dalam kasus ini, IMF dan World Bank memang memberikan bantuan, namun seringkali disertai dengan syarat yang ketat, yang dikenal dengan istilah Structural Adjustment Programs (SAPs).

Kebijakan SAP membuat negara penerima pinjaman untuk memangkas subsidi, membuka pasar domestik, dan memprivatisasi sektor-sektor penting. Kebijakan ini disyaratkan dengan asumsi bahwa negara yang bersangkutan dapat bergerak lebih kompetitif dan mendorong adanya pertumbuhan ekonomi. Kebijakan ini tentunya menuai pro dan kontra dari berbagai pihak. Para pendukung kebijakan SAP percaya bahwa dengan pemberlakuan kebijakan ini dapat membantu negara-negara berkembang untuk mencapai kemandirian, dengan mendorong inovasi, investasi, dan pertumbuhan. Sementara di sisi lain, kubu yang menyatakan kontra dengan kebijakan SAP menilai bahwa kebijakan tersebut terlalu memaksakan penghematan pada negara-negara yang sudah miskin. Alih-alih memulihkan kemandirian ekonomi, kebijakan ini justru membuat negara-negara tersebut semakin rentan terhadap fluktuasi pasar global dan menyebabkan ketergantungan pada modal asing.

Situasi seperti ini menunjukkan kepada kita tentang bagaimana ketimpangan global diartikan, bukan sekadar deretan angka GDP atau neraca perdagangan, melainkan lebih luas lagi tentang relasi kekuasaan yang tidak pernah seimbang antara negara Utara dan negara Selatan. Negara maju melalui lembaga keuangan internasional masih menjadi penentu arah dalam kebijakan ekonomi di negara berkembang. Ketika kebijakan pembangunan nasional harus menyesuaikan dengan tuntutan dari lembaga donor, maka di mana letak kedaulatan ekonomi yang sesungguhnya?

Sistem global saat ini seperti permainan yang aturan mainnya telah ditentukan oleh pihak yang sudah menang sejak awal. Globalisasi memang membuka peluang, namun juga dapat memperluas jarak antara pusat dan pinggiran dalam sistem ekonomi dunia. Negara-negara berkembang terus menerus dituntut untuk menjadi target pasar bagi produk dan investasi asing. Pergerakan negara-negara berkembang seolah terkekang dan tidak bisa menjadi pemain utama yang menentukan masa depannya sendiri. Hal ini mengakibatkan banyak negara di benua Asia dan Afrika terjebak dalam situasi tumbuh, tetapi tidak berkembang banyak. Artinya ekonominya bergerak, tetapi kesejahteraan masyarakatnya masih berstatus stagnan.

Di sisi lain, mulai muncul narasi baru yang lahir untuk mencoba menantang dominasi tersebut. Negara-negara seperti China dan India mulai tampil sebagai kekuatan ekonomi alternatif, yang kemudian keduanya tergabung dalam satu aliansi yang sama, yaitu BRICS. Mereka menawarkan kerja sama yang digadang-gadang lebih setara. Namun, apakah skema yang dijalankan benar-benar berbeda? Ataukah hanya berganti wajah pemain dari sistem yang lama, dengan tetap berpihak pada siapa yang lebih kuat? Saat ini, dunia masih mencari-cari jawabannya.

Pada akhirnya, pertanyaan seperti “apakah sistem global ini telah berjalan dengan adil?” bukan sekadar tentang moralitas, tetapi juga tentang kesadaran. Selama kita semua masih menilai dunia berdasarkan pada siapa yang paling diuntungkan, bukan tentang siapa yang paling tertinggal, maka ketimpangan akan terus menjadi pola yang terjadi berulang-ulang kali dalam hubungan internasional. Dunia yang adil tidak terlahir dari sistem yang diciptakan untuk menjaga status quo. Dunia yang adil akan lahir ketika solidaritas antar negara dan antar individu tercipta dan melampaui lebih dari kepentingan ekonomi dan politik saja.