Dunia yang Tak Pasti: Menimbang Ulang Keamanan Global Pasca COVID-19
Penulis : Nasywa Fitri, Mahasiswa Hubungan Internasional
Pada dasarnya Pandemi COVID-19 memang telah berlalu, tetapi jejaknya masih sangat membekas dalam sistem internasional hingga saat ini. Krisis ini bukan sekadar ujian bagi kesehatan publik, melainkan juga bagi tatanan keamanan dunia. Selama puluhan tahun, konsep keamanan global sangatlah identik dengan kekuatan militer, senjata nuklir, dan konflik antarnegara. Namun, COVID-19 menunjukkan bahwa ancaman terbesar bagi umat manusia bisa muncul tanpa suara tembakan melainkan dalam bentuk virus, data palsu, atau ketimpangan sosial yang makin lebar.
Ketika dunia terkunci di dalam rumah, batas-batas geografis kehilangan makna. Negara-negara yang selama ini dianggap kuat pun goyah di hadapan ancaman yang tak kasat mata. Dari titik ini, muncul kesadaran bahwa keamanan bukan lagi soal seberapa besar anggaran pertahanan, melainkan seberapa kokoh kepercayaan publik dan kolaborasi global untuk menghadapi ancaman bersama. Dunia pasca-pandemi adalah dunia yang tidak pasti bukan hanya karena virus baru bisa muncul kapan saja, tetapi karena trust antarnegara dan antara pemerintah dengan rakyatnya mengalami krisis yang cukup mendalam.
Krisis Kepercayaan: Dari Ketidakpastian ke Kerentanan
Dalam laporan Center for Strategic and International Studies (CSIS) bertajuk World Order After COVID-19, disebutkan bahwa pandemi mempercepat “krisis kepercayaan global”. Negara-negara mulai menutup diri, memprioritaskan kepentingan nasional, dan menurunkan komitmen terhadap kerja sama multilateral. Ketika virus mulai menyebar, alih-alih saling membantu, banyak negara memilih menimbun masker, obat, dan vaksin untuk rakyatnya sendiri.
Fenomena ini disebut oleh banyak akademisi sebagai vaccine nationalism yakni simbol nyata dari runtuhnya solidaritas global. Negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Inggris memborong dosis vaksin jauh lebih banyak dari kebutuhan, sementara negara berkembang di Afrika dan Asia Tenggara kesulitan mendapat akses yang adil. Padahal, pandemi seharusnya menjadi momentum untuk memperkuat prinsip keamanan kolektif yakni bahwa keamanan satu negara bergantung pada keamanan negara lain.
Krisis kepercayaan juga terjadi antara pemerintah dan masyarakatnya. Di banyak negara, termasuk Indonesia, kebingungan informasi tentang kebijakan kesehatan menimbulkan polarisasi sosial. Disinformasi dan teori konspirasi tentang asal-usul virus, efektivitas vaksin, hingga motif politik di balik kebijakan karantina sangat memperburuk situasi. Laporan UNESCO (2022) menyebut bahwa penyebaran misinformasi selama pandemi meningkat lebih dari 200%, dengan mayoritas berasal dari media sosial. Krisis kesehatan berubah menjadi krisis komunikasi, dan krisis komunikasi berkembang menjadi krisis kepercayaan terhadap otoritas.
Di titik ini, kita belajar bahwa keamanan global tidak dapat dipisahkan dari trust architecture yakni jaringan kepercayaan antara negara, lembaga internasional, dan warga dunia. Ketika kepercayaan itu runtuh, bahkan teknologi atau kekuatan militer paling canggih pun tidak cukup untuk melindungi masyarakat dari ketakutan juga ketidakpastian.
Ancaman Non-Tradisional: Wajah Baru Keamanan Global
Pandemi COVID-19 memperluas makna ancaman. Dunia kini berhadapan dengan bentuk-bentuk bahaya baru yang tidak lagi bersifat fisik, tetapi memiliki daya rusak yang besar seperti, disinformasi, serangan siber, dan ketimpangan ekonomi global.
Pertama, disinformasi menjadi ancaman paling nyata dalam dekade terakhir. Selama pandemi, ribuan akun palsu menyebarkan narasi yang menyesatkan tentang vaksin, menyebabkan jutaan orang menolak imunisasi. World Health Organization (WHO) bahkan menyebut fenomena ini sebagai infodemic yaitu epidemi informasi yang menyesatkan. Di Indonesia, laporan Kementerian Komunikasi dan Informatika mencatat lebih dari 2.000 hoaks terkait COVID-19 yang tersebar di media sosial antara 2020–2022. Ancaman ini menunjukkan bahwa keamanan kini juga bergantung pada literasi digital dan ketahanan informasi publik.
Kedua, keamanan siber menjadi bidang baru dalam geopolitik global. Lembaga penelitian di Amerika Serikat, Inggris, dan Tiongkok melaporkan lonjakan serangan siber terhadap laboratorium vaksin pada puncak pandemi. Menurut Federal Bureau of Investigation (FBI), serangan tersebut dilakukan oleh aktor-aktor yang disponsori negara, dengan tujuan mencuri data penelitian bioteknologi. Artinya, di era pasca-pandemi, data dan riset kesehatan menjadi “komoditas strategis” layaknya minyak atau uranium pada abad sebelumnya.
Kawasan Asia Tenggara pun tidak lepas dari ancaman ini. Laporan Interpol ASEAN Cybercrime Operations Desk (2023) mencatat bahwa serangan siber di kawasan meningkat hingga 50% dibanding masa sebelum pandemi, dengan Indonesia, Vietnam, dan Malaysia sebagai target utama. Serangan bukan hanya menyasar lembaga negara, tetapi juga rumah sakit dan perusahaan logistik vaksin. Ini menandakan bahwa ancaman non-tradisional kini tidak lagi bersifat spekulatif, melainkan konkret dan mempengaruhi keamanan manusia secara langsung.
Ketiga, ketimpangan ekonomi dan sosial yang muncul akibat pandemi juga menjadi ancaman keamanan tersendiri. Data Asian Development Bank (ADB) menunjukkan bahwa sekitar 80 juta orang di Asia kembali jatuh ke jurang kemiskinan akibat pandemi. Ketimpangan ini menciptakan frustrasi sosial yang memicu instabilitas politik, seperti gelombang protes di Myanmar, Filipina, hingga Indonesia. Dalam konteks ini, keamanan tidak lagi hanya berarti melindungi negara dari musuh eksternal, melainkan menjaga kohesi sosial di dalam negeri
Dunia Tanpa Kompas: Tantangan Keamanan di Era Ketidakpastian
Pasca pandemi, dunia seolah kehilangan “kompas moral” dalam hubungan internasional. Negara-negara besar kembali terjebak dalam rivalitas lama, sementara kerja sama global justru menurun. Perang Rusia-Ukraina, konflik di Timur Tengah, dan ketegangan di Laut Cina Selatan menjadi bukti bahwa dunia belum belajar cukup banyak dari krisis pandemi.
Sementara itu, ancaman non-tradisional terus berkembang. Keamanan digital dan biosekuriti kini menjadi isu strategis yang belum sepenuhnya diatur oleh hukum internasional. Tidak ada konsensus global yang jelas tentang bagaimana menghadapi serangan siber lintas negara atau kebocoran data kesehatan publik. Di sinilah muncul paradoks baru: teknologi yang seharusnya menyatukan umat manusia justru membuka peluang baru bagi ketidakamanan.
Selain itu, pandemi juga memperlihatkan betapa rapuhnya ketahanan kesehatan kawasan. Kekurangan fasilitas medis, keterlambatan distribusi vaksin, dan lemahnya sistem data kesehatan publik membuat Asia Tenggara menjadi salah satu kawasan paling rentan di awal pandemi. Di masa depan, memperkuat kerja sama di bidang health security dan data governance menjadi keharusan, bukan hanya sebuah pilihan.
Membangun Keamanan di Dunia yang Tak Pasti
Menghadapi dunia yang tak pasti, konsep keamanan global perlu didefinisikan ulang. Pertama, keamanan harus dilihat sebagai konstruksi sosial, bukan hanya urusan militer. Artinya, keamanan terwujud ketika masyarakat merasa terlindungi, memiliki akses terhadap informasi yang benar, serta percaya pada institusi yang menaunginya.
Kedua, keamanan global di era pasca-pandemi harus bersifat kolaboratif dan inklusif. Tantangan seperti disinformasi, siber, dan kesehatan lintas batas tidak bisa diselesaikan sendirian. Dibutuhkan mekanisme baru di tingkat internasional yang menggabungkan kekuatan negara, sektor swasta, dan masyarakat sipil. Misalnya, kerja sama lintas negara dalam melacak hoaks, membangun data transparency agreement, dan memperkuat kapasitas keamanan digital bagi negara berkembang.
Ketiga, perlu ada pendekatan manusia-sentris (human-centric security) seperti yang diajukan oleh berbagai peneliti internasional. Dalam pendekatan ini, fokus keamanan tidak lagi pada negara sebagai aktor utama, tetapi pada individu sebagai pusat perlindungan. Jika pandemi mengajarkan sesuatu, pelajarannya adalah negara bisa bertahan tanpa perang, tetapi tidak tanpa masyarakat yang sehat, percaya, dan terinformasi dengan baik.
Untuk Indonesia, pelajaran dari pandemi seharusnya mendorong reformasi di bidang keamanan non-tradisional. Pemerintah perlu memperkuat cyber resilience framework, mengedukasi publik terhadap ancaman disinformasi, dan meningkatkan diplomasi digital dalam forum internasional. Selain itu, kerja sama regional dalam keamanan siber dan kesehatan publik harus menjadi prioritas baru ASEAN agar kawasan ini tidak sekadar menjadi penonton dalam dinamika keamanan global.
Dari Ketakutan ke Kepercayaan
Dunia pasca COVID-19 mengajarkan kita satu hal mendasar: keamanan bukanlah kondisi, melainkan proses yang terus berubah. Ia tidak bisa dicapai sekali lalu berhenti, karena ancaman baru akan selalu muncul dalam bentuk yang lebih halus dan lebih kompleks. Keamanan hari ini tidak lagi diukur dari seberapa banyak senjata dimiliki, melainkan seberapa dalam kita mampu membangun solidaritas dan memelihara kepercayaan. Ia bergantung pada kesediaan manusia untuk saling percaya di tengah ketakutan yang menular lebih cepat daripada virus itu sendiri.
Pandemi memperlihatkan bahwa batas antara rasa aman dan rasa takut bisa lenyap hanya dalam hitungan hari. Ketika negara menutup diri, masyarakat saling curiga, dan informasi menjadi senjata, dunia seolah kembali pada titik nol lagi, dimana saat setiap orang hanya bisa bergantung pada keyakinan bahwa kebenaran masih ada di antara kabut ketidakpastian. Di sinilah inti persoalannya: tanpa kepercayaan, tidak ada keamanan yang benar-benar bertahan lama.
Krisis global berikutnya mungkin tidak lagi datang dalam bentuk virus. Ia bisa berupa arus disinformasi yang menghancurkan reputasi negara, ataupun serangan siber yang melumpuhkan jaringan energi dunia, atau runtuhnya sistem keuangan akibat ketimpangan ekonomi yang terus menumpuk. Ancaman baru ini tidak selalu tampak, tidak berbunyi ledakan, tapi pelan-pelan menggerogoti fondasi paling penting dalam peradaban modern yaitu kepercayaan. Dan ketika saat itu tiba, kekuatan militer, teknologi mutakhir, atau sekutu politik tidak akan berarti banyak tanpa jaringan kepercayaan antar lembaga, antarnegara, dan juga antarmanusia.
Kita hidup di masa di mana teknologi mempercepat segalanya: informasi, inovasi, bahkan kebohongan. Algoritma bekerja lebih cepat dari kesadaran moral manusia, dan opini publik bisa dibentuk hanya dalam hitungan detik. Di tengah percepatan itu, kepercayaan menjadi mata uang paling langka sekaligus paling berharga. Ia tak bisa diprogram, tak bisa diproduksi massal, dan tak juga bisa dibeli dengan kekuasaan. Maka, membangun kembali kepercayaan global bukan sekadar tindakan moral atau idealisme politik melainkan adalah strategi bertahan hidup kolektif.
Pandemi mungkin memperlihatkan wajah terburuk dari egoisme internasional ketika negara berlomba menimbun vaksin, menutup akses ekspor medis, dan saling menyalahkan. Tapi di sisi lain, pandemi juga menyalakan kesadaran baru yakni dalam krisis global, tidak ada yang benar-benar aman sendirian. Keamanan bukan tentang siapa yang paling kuat, melainkan siapa yang paling peduli. Karena dunia tidak bisa berdiri di atas fondasi ketakutan yang saling menular; ia hanya bisa bertahan di atas jembatan kepercayaan yang dibangun perlahan, tapi kokoh.
Mungkin inilah saatnya kita meninjau ulang arti “keamanan” itu sendiri. Apakah ia semata soal menjaga kedaulatan teritorial, atau justru soal menjaga kemanusiaan? Jika pandemi telah mengguncang keyakinan kita terhadap sistem global, maka mungkin inilah kesempatan untuk berhenti berharap pada tatanan lama yang rapuh, dan mulai membangun tatanan baru yang lebih transparan, lebih empatik, dan lebih manusiawi.
Keamanan sejatinya tidak akan pernah lahir dari dominasi, melainkan dari resiliensi yang tumbuh dari rasa percaya.
Ia bukan tentang siapa yang menang, tapi siapa yang mampu bertahan tanpa kehilangan rasa kemanusiaannya.
Dan mungkin, di tengah dunia yang terus bergerak di antara algoritma ini, ketakutan, dan kepentingan, kepercayaan itu sendiri adalah bentuk dari keamanan yang paling murni yang masih tersisa. Karena selama manusia masih bisa percaya satu sama lain, harapan untuk dunia yang aman meskipun tak pasti, akan tetap selalu ada.
