Dunia Pasca Pandemi: Saat Keamanan Tak Lagi Soal Senjata
Dunia Pasca Pandemi: Saat Keamanan Tak Lagi Soal Senjata

Penulis : M Fayzha Novendus (Mahasiswa Hubungan Internasional)

Pandemi COVID-19 bukan sekadar krisis kesehatan. Bagi para pengamat, ini adalah peristiwa yang mengubah dunia. Dampak ekonominya sangat pesat, dengan kerugian global mencapai angka yang mengejutkan, dilansir dari laporan Asian Development Bank (ADB),   kerugian ekonomi global akibat Covid-19 yang ditaksir mencapai US $ 2 Triliun hingga US $ 4 Triliun atau sekitar 2,3% hingga 4,8% dari produk domestik bruto global. Hanya dalam waktu yang singkat, virus kecil yang tak kasatmata itu memaksa manusia di seluruh penjuru bumi berhenti sejenak seperti lockdown negara, menghambat penerbangan lintas negara, membekukan roda ekonomi, dan pergeseran pertemuan dunia nyata ke dunia virtual seperti platform Zoom.

Hal ini memaksa kita untuk menyadari satu hal: ancaman terbesar bagi kemanusiaan saat itu tidak datang dalam bentuk militer, melainkan dalam bentuk yang tak terlihat dan tak berwujud.

Ketika Virus Menjadi Ancaman Nasional

Selama puluhan tahun, keamanan hanya dipahami sebagai urusan militer seperti persenjataan, perbatasan, dan perang antar negara. Namun, seiring dengan perkembangan dunia modern yang didukung oleh globalisasi dan teknologi, lingkup ancaman telah meluas menjadi Non-traditional Security (NTS). Contoh konkritnya seperti pandemi COVID-19 yang telah memperluas dan mengubah lingkup keamanan itu. Pandemi memperlihatkan bahwa ancaman terbesar bagi manusia bisa datang bukan hanya dari rudal atau tank saja, melainkan dari sesuatu yang hanya bisa kita lihat melalui alat bantu mikroskop.

COVID-19 adalah manifestasi paling nyata dari NTS, yang bersifat borderless atau melintasi batas negara. Virus ini memaksa negara-negara memperlakukan isu kesehatan layaknya isu militer. Pemerintah mengumumkan darurat nasional, menutup kota, dan membatasi pergerakan warganya atas nama “keamanan”. Di sinilah isu kesehatan yang dulu dianggap sebagai low politics tiba-tiba naik isunya menjadi urusan strategis negara. Melalui "tindakan bicara" (speech act) dari para pemimpin keamanan (misalnya, Presiden Tiongkok, Xi Jinping), isu ini dikonstruksikan sebagai ancaman eksistensial (existential threat) yang memerlukan tindakan darurat di luar prosedur politik normal, seperti lockdown dan pembatasan mobilitas. Ancaman ini tak hanya menyerang fisik, tetapi juga menggoyahkan ekonomi, politik, sosial, dan budaya negara secara keseluruhan.

Kita menyaksikan bagaimana kesehatan berubah menjadi arena politik dan keamanan. Seketika pada saat itu masker menjadi simbol nasionalisme baru, vaksin menjadi alat diplomasi, dan data kasus menjadi bahan propaganda.

 

Paradoks Kesiapan dan Runtuhnya Solidaritas

Ironisnya, pandemi COVID-19 justru memperlihatkan bahwa model keamanan kesehatan dunia yang selama ini diagung-agungkan ternyata tidak sekuat yang dibayangkan. Sistem yang disebut “konvensional” yang berorientasi pada kekuatan negara, teknologi medis canggih, dan perencanaan strategis telah gagal mencegah kekacauan besar yang melanda hampir seluruh dunia. Negara-negara yang selama ini dianggap paling siap menghadapi bencana kesehatan, seperti Amerika Serikat dan Inggris, justru kewalahan menghadapi lonjakan kasus di dalam negeri. 

Padahal, kedua negara ini memiliki sistem kesehatan yang modern, kapasitas riset yang besar, serta infrastruktur medis yang dianggap terbaik di dunia. Namun, ketika pandemi melanda, semua itu tampak rapuh di hadapan kenyataan bahwa kesiapan teknologi tidak selalu sejalan dengan kesiapan sosial dan moral. Banyak rumah sakit yang kolaps, tenaga medis kelelahan, dan masyarakat terpecah karena kebijakan yang tidak konsisten. 

Salah satu penyebab utama kegagalan ini adalah cara pandang yang terlalu sempit terhadap konsep “keamanan kesehatan”. Pendekatan yang selama ini digunakan bersifat state-centric atau berpusat pada negara saja. Fokusnya lebih pada bagaimana melindungi perbatasan dari penyebaran penyakit atau mencegah ancaman bioterorisme, bukan pada bagaimana memastikan bahwa setiap individu, terutama masyarakat rentan, memiliki akses terhadap kebutuhan dasar seperti air bersih, layanan kesehatan, dan pendidikan yang layak.  

Pandemi mengajarkan kita bahwa keamanan yang sebetulnya tidak bisa hanya dilihat dari kekuatan negara saja, melainkan dari ketahanan manusia di dalamnya. Di sinilah konsep Human Security menjadi sangat relevan. Negara-negara berkembang sejak lama menyerukan agar paradigma keamanan global beralih dari perlindungan negara menuju perlindungan manusia. Bagi mereka, keamanan bukan hanya tentang pertahanan dari musuh asing, tetapi juga kebebasan dari kelaparan, penyakit, dan ketidakadilan sosial. 

Krisis ini juga memperlihatkan betapa rapuhnya solidaritas global. Ketika vaksin mulai ditemukan, dunia menyaksikan fenomena yang disebut vaccine nationalism. Negara-negara kaya berlomba membeli dan menimbun stok vaksin jauh lebih banyak dari jumlah penduduknya, sementara negara miskin hanya bisa menunggu sisa dari mekanisme bantuan global seperti COVAX. 

Upaya solidaritas yang seharusnya menjadi dasar kemanusiaan justru tersendat oleh kepentingan politik dan ekonomi. Vaksin dijadikan komoditas strategis, bukan barang publik global. Akibatnya, kesenjangan antara Utara dan Selatan dunia semakin lebar. Negara kaya merasa aman di balik tembok imunitasnya, sementara di belahan lain dunia, jutaan orang tetap berjuang melawan pandemi tanpa perlindungan memadai. 

Pandemi akhirnya menjadi cermin besar yang menampakkan wajah dunia yang rapuh dan egoistis. Ia menunjukkan bahwa tidak ada negara yang benar-benar aman, jika negara lain masih terpuruk. Dalam dunia yang saling terhubung seperti sekarang, keamanan bukan lagi tentang siapa yang paling kuat, melainkan siapa yang paling peduli. Karena sejatinya, dalam menghadapi ancaman global seperti pandemi, kita hanya akan aman jika semua orang juga aman. 

Panggung Geopolitik Baru dan Kekacauan Ekonomi

Di tengah kekacauan yang ditimbulkan oleh pandemi, konsep “keamanan internasional” mengalami perubahan drastis. Dunia menyaksikan pergeseran kekuatan global yang cepat dan penuh ketegangan. Amerika Serikat, dengan kebijakannya “America First” yang diperkenalkan di era Donald Trump, tampak menarik diri dari banyak komitmen multilateral. Keengganan Washington untuk memimpin upaya global melawan pandemi membuat banyak pihak menilai bahwa Amerika telah meninggalkan panggung kepemimpinan dunia.

Kekosongan itu tidak dibiarkan lama. Tiongkok melihat peluang strategis untuk memperkuat pengaruhnya di kancah internasional. Melalui apa yang dikenal sebagai “Covid Diplomacy” atau “mask diplomacy”, Tiongkok berusaha mengubah bencana kesehatan menjadi ajang pembuktian kepemimpinan global. Tiongkok mengirimkan jutaan masker, alat uji, dan tenaga medis ke berbagai negara, terutama ke kawasan Asia, Afrika, dan Eropa Timur. Langkah ini tidak hanya bersifat kemanusiaan, tetapi juga bersifat politis, sebuah upaya untuk membangun citra sebagai negara yang tangguh, efisien, dan siap membantu ketika Barat sibuk mengurus dirinya sendiri.

Namun, aksi ini juga memicu sifat skeptis, seperti Amerika Serikat dan sekutunya yang menuduh Tiongkok dan Rusia memanfaatkan ‘peristiwa pandemi’ sebagai alat untuk menyebarkan disinformasi dan memperluas pengaruh politiknya. Dunia seolah terbelah menjadi dua kubu: mereka yang melihat bantuan Tiongkok sebagai solidaritas global, dan mereka yang menilainya sebagai alat geopolitik. Persaingan ideologis yang sebelumnya mereda setelah Perang Dingin kini muncul kembali dalam bentuk baru, pertarungan narasi antara demokrasi liberal dan model otoritarian yang dianggap lebih “efektif” menghadapi krisis.

Dari sisi ekonomi, pandemi meninggalkan luka yang dalam dan kompleks. Rantai pasokan global terputus di berbagai titik. Ketika lockdown diberlakukan, banyak pabrik ditutup dan tenaga kerja dirumahkan (work from home). Begitu pembatasan dicabut ketika pasca pandemi, permintaan konsumen langsung melonjak tajam, tetapi dunia produksi belum siap untuk menanggapinya. Hasilnya: kelangkaan barang, keterlambatan pengiriman, dan inflasi yang meningkat di banyak negara.

Masalah ini diperburuk oleh berbagai faktor struktural. Di Tiongkok, krisis energi menyebabkan pemadaman listrik yang melumpuhkan banyak pabrik, dari sektor tekstil hingga elektronik. Di Eropa, terutama Inggris, efek Brexit menciptakan kekurangan tenaga kerja, termasuk pengemudi truk, yang menyebabkan penumpukan logistik di pelabuhan. Amerika Serikat menghadapi persoalan serupa: kapal-kapal menunggu berminggu-minggu untuk bongkar muatan di pelabuhan Los Angeles dan Long Beach akibat minimnya pekerja dan tingginya biaya transportasi. Bahkan Jerman yang dikenal sebagai “mesin industri Eropa” pun mengalami kelangkaan chip semikonduktor yang menghambat produksi otomotifnya.

Krisis ini menunjukkan betapa rapuhnya ketergantungan global terhadap sistem rantai pasokan yang terpusat dan saling terhubung. Ketika satu simpul terganggu, efek domino langsung terasa di seluruh dunia. Disrupsi ini bukan hanya masalah logistik, tetapi juga geopolitik: negara-negara mulai mempertimbangkan strategi baru untuk mengurangi ketergantungan terhadap satu wilayah, terutama Tiongkok, sebagai pusat produksi dunia.

Kini, konsep “ketahanan ekonomi” (economic resilience) menjadi topik penting dalam kebijakan luar negeri. Banyak negara berupaya membangun kembali kapasitas produksi dalam negeri, memperkuat kerja sama regional, dan mendiversifikasi sumber bahan baku. Namun, proses ini tidak mudah. Upaya memindahkan pabrik dari Asia ke Eropa atau Amerika memerlukan waktu, biaya besar, dan perubahan struktur tenaga kerja.

Oleh karena itu, pandemi bukan hanya menguji sistem kesehatan global, tetapi juga dapat  mengguncang sistem ekonomi dan tatanan politik dunia. Ia memunculkan dunia baru yang lebih skeptis, lebih kompetitif, dan lebih tertutup. Pandemi telah membuka babak baru dalam sejarah geopolitik, di mana krisis kesehatan menjadi cermin bagi ambisi kekuasaan, dan ekonomi menjadi arena pertarungan pengaruh dibalik nama besar “pemulihan global”.

Jalan ke Depan: Menuju Keamanan yang Lebih Manusiawi

Krisis COVID-19 menjadi pukulan dan peringatan keras. Ancaman non-tradisional ini lebih mematikan dan invasif daripada ancaman militer tradisional. Untuk mempersiapkan diri menghadapi pandemi di masa depan, kita harus mendefinisikan ulang keamanan agar tidak lagi berpusat pada militer. Kita perlu mendefinisikan ulang arti “keamanan”. Keamanan pasca pandemi harus berpihak pada manusia, bukan pada negara semata dan menjadikan kesejahteraan manusia sebagai komponen utama kebijakan luar negeri.

Hal ini membutuhkan:

  1. Sumber daya harus dialihkan untuk mengatasi faktor-faktor penentu kesehatan yang lebih luas, seperti yang tertuang dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) PBB.
  2. Institusi kesehatan global harus diperkuat, termasuk Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), dengan meningkatkan dan mendiversifikasi pendanaan agar isu kesehatan tidak dipolitisasi.
  3. Mengadopsi pendekatan multilateral yang berdasarkan pada prinsip keadilan, kesetaraan, dan tanggung jawab kolektif, termasuk dalam memastikan distribusi vaksin yang adil melalui mekanisme seperti COVAX.

Lebih dari itu, kita perlu berinvestasi pada hal-hal yang sering kita anggap remeh seperti pendidikan, air bersih, gizi, dan kesejahteraan sosial. Karena dari situlah ketahanan sejati dibangun.

Jika dunia gagal belajar dari krisis ini, maka spekulasi para skeptis mungkin benar adanya: dunia pasca-COVID-19 akan menjadi tempat yang “lebih miskin, lebih kejam, dan lebih kecil”. Namun, jika kita mau menata ulang atau memperluas cara pandang kita terhadap konsep “keamanan”, mungkin pandemi ini justru akan dikenang sebagai titik balik menuju dunia yang lebih manusiawi.