Donald Trump dan Akhir dari Perdagangan Bebas Global?
Penulis : Siti Zahra Afwan, Mahasiswa Hubungan Internasional
Selama lebih dari tujuh dekade, Amerika Serikat menjadi penggerak utama dalam menciptakan sistem perdagangan bebas global. Sejak terbentuknya General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) hingga transformasinya menjadi World Trade Organization (WTO), AS tampil sebagai arsitek utama liberalisasi ekonomi dunia. Dengan ide dasar bahwa perdagangan bebas dapat membawa kemakmuran bersama, Washington menempatkan dirinya sebagai pemimpin dalam tatanan ekonomi global pasca Perang Dunia II.
Namun, gambaran itu berubah drastis ketika Donald Trump memasuki Gedung Putih pada 2017. Dengan slogan “Make America Great Again” dan visi “America First”, ia mengguncang fondasi globalisasi yang dibangun negaranya sendiri. Di bawah Trump, AS bukan lagi simbol keterbukaan perdagangan, melainkan wajah baru proteksionisme yang keras. Kebijakan tarif tinggi, penarikan diri dari berbagai perjanjian internasional, hingga serangan terbuka terhadap lembaga multilateral seperti WTO menjadi bukti bahwa era perdagangan bebas global memasuki babak krisis.
Kepentingan Nasional di Balik “America First”
Bagi Trump, perdagangan bebas adalah akar dari ketimpangan ekonomi domestik. Ia menilai bahwa globalisasi hanya menguntungkan elite korporasi dan negara lain, sementara pekerja Amerika kehilangan pekerjaan akibat relokasi industri ke luar negeri. Retorika ini disambut hangat oleh kelas pekerja di negara-negara bagian industri seperti Michigan, Pennsylvania, dan Ohio basis suara penting dalam kemenangan Trump tahun 2016.
Dari perspektif ekonomi politik internasional, kebijakan Trump merefleksikan kebangkitan kembali paham merkantilisme modern. Ia menempatkan negara bukan sebagai fasilitator pasar bebas, tetapi sebagai aktor utama yang harus melindungi industri domestik dari persaingan global. Kebijakan tarif impor baja dan aluminium, penarikan diri dari Trans-Pacific Partnership (TPP), serta renegosiasi North American Free Trade Agreement (NAFTA) menjadi United States-Mexico-Canada Agreement (USMCA) adalah langkah konkret yang menegaskan arah itu.
Namun, kebijakan proteksionis ini lebih mencerminkan kepentingan politik jangka pendek ketimbang visi strategis global. Dengan melindungi sektor manufaktur dan menaikkan tarif impor, Trump memang memperoleh dukungan domestik, tetapi di sisi lain mengorbankan kredibilitas Amerika sebagai pemimpin ekonomi dunia. Dunia menyaksikan bagaimana Washington berbalik arah dari pengusung globalisasi menjadi penghambatnya.
AS dan Krisis Kepercayaan terhadap Sistem Multilateral
Krisis kepercayaan terhadap sistem perdagangan global semakin dalam ketika Trump secara terbuka menyerang lembaga multilateral. Ia menolak mengangkat hakim baru di Appellate Body WTO, menyebabkan lembaga penyelesaian sengketa perdagangan dunia itu lumpuh total. Selain itu, Trump menuduh WTO tidak adil terhadap AS dan menilai bahwa negara-negara berkembang seperti China memanfaatkan kelemahan sistem untuk mendominasi pasar global.
Dalam pandangan ekonomi politik internasional, langkah ini menandai pergeseran dari multilateralisme menuju unilateralisme. Amerika tak lagi memimpin dunia melalui kesepakatan bersama, tetapi melalui kekuatan nasionalnya sendiri. CNBC Indonesia bahkan menggambarkan situasi ini sebagai awal dari “peta baru perdagangan dunia yang kacau balau”, karena proteksionisme AS memicu negara-negara lain mencari jalur kerjasama alternatif di luar pengaruh Washington.
Akibatnya, muncul kesepakatan-kesepakatan baru seperti Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) yang dipelopori oleh Asia Timur, dan blok ekonomi BRICS+ yang semakin memperkuat posisi negara berkembang dalam sistem global. Dunia mulai menyesuaikan diri terhadap ketidakpastian yang diciptakan oleh AS sendiri sebuah ironi bagi negara yang dulu mendorong keterbukaan ekonomi lintas batas.
Perang Dagang dengan China: Simbol Pergeseran Hegemoni
Puncak dari kebijakan ekonomi Trump adalah perang dagang dengan China yang dimulai pada 2018. Trump menuduh China melakukan praktik perdagangan tidak adil, memanipulasi mata uang, dan mencuri kekayaan intelektual perusahaan Amerika. Sebagai respons, AS menaikkan tarif terhadap lebih dari 360 miliar dolar AS produk China, dan Beijing membalas dengan tindakan serupa.
Namun perang dagang itu tak hanya berdampak pada dua negara, melainkan pada rantai pasokan global secara keseluruhan. Harga barang naik, ketidakpastian pasar meningkat, dan banyak perusahaan multinasional mulai memindahkan produksinya ke negara ketiga untuk menghindari tarif. Dalam jangka panjang, kebijakan ini justru mempercepat fragmentasi ekonomi dunia.
Seperti dicatat dalam analisis CNBC Indonesia, kebijakan perdagangan Trump telah “mengacak ulang peta rantai pasok global,” membuat banyak negara terutama di Asia berusaha menata ulang orientasi ekonominya agar tidak bergantung penuh pada pasar Amerika. Dengan kata lain, proteksionisme AS memaksa dunia untuk menyesuaikan diri terhadap tatanan baru yang lebih kompleks dan tidak pasti.
Selain itu, perang dagang tersebut memperlihatkan dinamika baru dalam perebutan hegemoni global. AS berupaya mempertahankan dominasinya melalui tekanan ekonomi, sementara China menggunakan strategi jangka panjang seperti Belt and Road Initiative (BRI) untuk memperluas pengaruhnya. Ketegangan ekonomi ini akhirnya melampaui sekadar isu perdagangan, menjadi simbol perebutan kekuasaan antara dua kekuatan besar dunia.
Refleksi: Dunia Pasca-Trump dan Masa Depan Perdagangan Bebas
Masa pemerintahan Donald Trump menjadi momen penting yang menandai kemunduran kepercayaan terhadap ide perdagangan bebas. “America First” tidak hanya menjadi slogan politik, tetapi juga paradigma baru dalam kebijakan ekonomi global: setiap negara berlomba untuk melindungi diri sendiri.
Dampak kebijakan itu terasa hingga kini. Ketika Joe Biden menggantikan Trump, banyak pihak berharap Amerika akan kembali ke jalur multilateralisme. Namun, realitanya tidak sesederhana itu. Biden memang lebih diplomatis, tetapi tetap mempertahankan sebagian besar kebijakan proteksionis terhadap China dan produk tertentu. Hal ini menunjukkan bahwa arah ekonomi politik Amerika telah bergeser secara permanen: proteksi terhadap kepentingan domestik kini menjadi konsensus bipartisan, bukan lagi sekadar agenda Trump.
Bagi dunia, era ini memberi pelajaran penting bahwa tatanan perdagangan global tidak bisa lagi bergantung pada satu kekuatan hegemonik. Negara-negara berkembang kini lebih aktif membangun mekanisme regional sendiri, seperti RCEP di Asia, ACFTA di Afrika, dan perjanjian bilateral yang lebih fleksibel. Dunia bergerak menuju sistem perdagangan yang multipolar lebih beragam, tetapi juga lebih rapuh.
Seperti disimpulkan oleh salah satu analisis CNBC Indonesia, kebijakan Trump membuat sistem perdagangan internasional “kacau balau” namun sekaligus membuka ruang bagi restrukturisasi ekonomi global. Ketika satu kekuatan melemah, kekuatan lain tumbuh untuk mengisi kekosongan. Ini adalah wajah baru globalisasi: bukan lagi satu sistem tunggal yang dikendalikan oleh AS, tetapi mosaik kepentingan dari berbagai aktor global.
Akhir dari Dominasi, Bukan Akhir dari Perdagangan
Donald Trump mungkin tidak sepenuhnya mengakhiri perdagangan bebas global, tetapi ia mengubah cara dunia memaknainya. Ia menunjukkan bahwa globalisasi bisa dimanfaatkan untuk kepentingan domestik, bahkan dengan mengorbankan prinsip keterbukaan yang dulu diagung-agungkan Amerika.
Kini, sistem perdagangan dunia tidak lagi bergantung pada “goodwill” Amerika. Dunia tengah beradaptasi menuju tatanan baru di mana kepemimpinan ekonomi tidak lagi tunggal, tetapi tersebar. Dari sinilah masa depan perdagangan global akan dibentuk, tidak oleh satu kekuatan dominan, melainkan oleh keseimbangan baru antara kepentingan nasional dan kerja sama internasional.
Era Trump mungkin telah mengguncang dunia, tetapi guncangan itu juga membuka ruang bagi terciptanya struktur ekonomi global yang lebih realistis, di mana setiap negara belajar bahwa dalam politik ekonomi internasional, tidak ada teman abadi hanya kepentingan yang abadi.
