Diskusi Dosen Kebutuhan Mendasar Uni Eropa Terhadap Biji  Nikel: Menentang Hilirisasi Biji Nikel Indonesia
Diskusi Dosen Kebutuhan Mendasar Uni Eropa Terhadap Biji Nikel: Menentang Hilirisasi Biji Nikel Indonesia

Berita FISIP. Senin 06 Oktober 2025. Diskusi Dosen FISIP UIN Jakarta bertemakan Kebutuhan Mendasar Uni Eropa Terhadap Biji  Nikel: Menentang Hilirisasi Biji Nikel Indonesia oleh Eska Dwipayana di ruang dosen lt 2 FISIP UIN Jakarta hari senin, 06 Oktober 2025.

materi yang di paparkan

Indonesia merupakan salah satu pengekspor terbesar bijih nikel global, dan mampu memasok sebanyak 20% kebutuhan global. Seiring dengan keinginan pemerintah yang ingin mewujudkan

hilirisasi, Indonesia mulai melarang ekpors mineral mentah pada 11 Januari 2022 melalui Peraturan Menteri (Permen) Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) No.25 tahun 2028. [2] Dalam tahap selanjutnya, pemerintah merevisi aturan tersebut dengen mengeluarkan Permen ESDM No. 11 tahun 2019, yang menyatakan harus ada pembatasan ekspor mineral mentah,termasuk bijih nikel dan mulai efektif berlaku pada 1 Januari 2020. Berdasarkan aturan tersebut maka pemegang Izin Usaha Tambang (UIP) hanya boleh mengekspor bijih nikel dengan kadar <1,7%, dan proses pemurniannya hingga 70% harus di lakukan di smelter dalam negeri sertahanya dapat di ekspor jika kebutuhan dalam negeri sudah terpenuhi. [3]Hilirisasi hasil bumi Indonesia yaitu bijih nikel ditujukan meningkatkan nilai jual, diubahmenjadi komoditas memiliki nilai tawar yang yang lebih tinggi, sehingga nilai ekspor lebihmenguntungkan. Contohnya, Nilai bijih nikel yang dioleh menjadi forenikel akan mengalamipeningkatan daya jual sebesar 10 kali lipat dan jika diolah menjadi stainless steel nilai jual meningkat sebanyak 19 kali lipat. Faktanya, setelah hilirisasi nikel, komoditas ekspor turunan nikel melonjak dari USD3,40 miliar pada tahun 2019 menjadi USD12,35 miliar pada 2022, tumbuh sekitar 263 %. Selain itu dengan adanya hilirisasi nikel, lahir lapangan kerja baru, muncul investor baru dan memperkuat industri nasional di level global, terlebih lagi Indonesia juga sudah mampu menciptakan baterai kendaraan listrik hasil dari pengembangan bijih nikel.

Bagaimanapun hilirisasi merupakan tindakan mendasar negara dalam mengelola hasil bumi yang tidak perlu diintervensi asing agar mengubah aturannya sesuai keinginan penggugat, terlebih hasil dari hilirisasi tersebut berkontribusi positif dalam penerimaan negara dari arus ekspor dan impor yang ditimbulkan, yang tentunya dapat membawa keuntungan signifikan untuk membuat bangsa Indonesia lebih makmur serta memperoleh keuntungan maksimun dari hasil alamnya sendiri. [4] Kebijakan pemerintah ini ternyata membuat Uni Eropa (UE) geram sehingga membuat gugatan ke World Trade Organization (WTO).[2] Gugatannya sederhana namun sangat memaksa dan terkesan mendikte, yakni Indonesia harus merevisi aturan tentang pelarangan ekspor bijih nikel. UE berpendapat bahwa dunia saat ini sedang begerak menuju energi hijau dan industri lingkungan, dan komponen utama yang mendukung gerakan ini adalah pasokan bijih nikel mentah.[5] Sangat janggal mendengar keinginan UE ini, yang secara langsung menjegal perkembangan industri dalam negeri terlebih lagi yang dikelola adalah hasil alam Indonesia. UE secara global, merupakan konsumen ekspor bijih terbesar, bijih nikel umumnya mereka ubah menjadi stainless dan baterai kendaraan listrik. Dengan adanya pemberlakuan larangan ekspor bijih nikel, otomatis berdampak pada industri dan ekonomi UE. UE tidak mau merugi karena kekurangan bijih nikel, terlebih Indonesia merupak eksportir bijih nikel terbesar dunia.