Dilema Keamanan AI: Ancaman Baru bagi Stabilitas Internasional
Penulis : Saya Nujannah ( Mahasiswa Hubungan Internasional FISIP UIN Jakarta)
Kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) bukan lagi sekadar topik teknologi futuristik. Dalam beberapa tahun terakhir, AI berkembang menjadi faktor strategis yang mengubah lanskap politik internasional. Dari algoritma pengenal wajah, senjata otonom, hingga teknologi deepfake yang dapat memanipulasi informasi publik, AI menghadirkan potensi besar sekaligus menhadirkan risiko serius. Situasi ini mencerminkan dilema klasik dalam politik internasional yang dikenal sebagai security dilemma (dilema keamanan), yakni kondisi ketika langkah suatu negara untuk memperkuat pertahanan justru dianggap sebagai ancaman oleh pihak lain, sehingga memicu perlombaan tanpa akhir yang berisiko menciptakan instabilitas global.
Konsep security dilemma pertama kali diperkenalkan oleh John Herz (1950), yang menjelaskan bahwa dalam sistem internasional yang anarkis, negara tidak pernah benar-benar merasa aman. Upaya memperkuat keamanan, baik melalui aliansi maupun pengembangan senjata, justru meningkatkan rasa tidak aman negara lain. Pemikiran ini sejalan dengan pandangan Thomas Hobbes dalam Leviathan (1651) tentang state of nature, di mana manusia (atau negara) hidup dalam ketidakpastian, takut diserang, dan akhirnya terdorong menyerang lebih dahulu. Robert Jervis (1978) bahkan menegaskan bahwa dilema ini merupakan akar dari banyak konflik internasional karena rasa takut dan ketidakpercayaan lebih dominan daripada niat damai.
Fenomena serupa telah tampak dalam berbagai momen sejarah modern. Perlombaan senjata nuklir antara Amerika Serikat dan Uni Soviet selama Perang Dingin merupakan salah satu contoh nyata. Kedua negara mengembangkan senjata pemusnah massal dengan tujuan mempertahankan diri, tetapi justru menciptakan situasi mutual assured destruction (MAD). Ketegangan permanen juga terlihat dalam hubungan India–Pakistan, terutama terkait isu Kashmir, yang selalu menimbulkan krisis berulang. Bahkan dalam domain baru seperti keamanan siber, persaingan antarnegara untuk membangun kapabilitas ofensif telah menimbulkan ancaman terhadap infrastruktur sipil global. AI kini menempati posisi serupa sebagai teknologi strategis yang berpotensi mengulang siklus ketakutan dan kecurigaan di level internasional.
Bayang-Bayang Ancaman AI bagi Keamanan Internasional
Dinamika security dilemma kini terlihat jelas dalam perkembangan AI. Amerika Serikat dan Tiongkok bersaing ketat untuk mendominasi teknologi ini, baik di bidang komersial maupun militer. Washington khawatir Beijing memanfaatkan AI untuk memperkuat sistem otoritarianisme digital, dari pengawasan massal hingga pengendalian informasi. Sebaliknya, Beijing menilai langkah AS membatasi ekspor chip semikonduktor canggih dan membangun aliansi teknologi baru sebagai upaya untuk menahan kebangkitan Tiongkok.
Dalam konteks militer, AI digunakan untuk mengembangkan senjata otonom yang mampu menyerang tanpa kendali manusia. Hal ini menimbulkan pertanyaan etis sekaligus ancaman keamanan: bagaimana jika senjata tersebut salah sasaran, diretas, atau digunakan dalam perang asimetris? Skenario ini mengingatkan pada logika Hobbesian: rasa takut kehilangan kontrol justru mempercepat eskalasi. Selain aspek militer, ancaman AI juga muncul dalam ranah informasi. Teknologi deepfake misalnya, dapat menciptakan video palsu yang meyakinkan, berpotensi memicu krisis diplomatik, atau bahkan konflik bersenjata. Dengan AI, manipulasi bisa dilakukan dalam skala yang lebih besar dan sulit dideteksi.
Dari Nuklir ke AI: Senjata Baru Abad ke-21?
Jika senjata nuklir adalah simbol ketakutan abad ke-20, AI bisa menjadi “senjata baru” abad ke-21. Perbedaannya terletak pada mekanisme pencegahannya. Senjata nuklir memiliki logika pencegahan yang relatif jelas melalui konsep mutual assured destruction, yaitu keyakinan bahwa penggunaan senjata nuklir oleh satu pihak akan membawa kehancuran bersama bagi semua pihak yang terlibat. Dengan kata lain, setiap negara memahami bahwa menekan tombol peluncuran berarti mengundang kehancuran dirinya sendiri. AI, sebaliknya, bersifat lebih kabur. Tidak ada kesepakatan global yang mengatur penggunaannya secara tegas, dan batas antara penggunaan defensif dan ofensif sulit ditentukan. Hal inilah yang membuat AI lebih berbahaya, dimana ia bisa berkembang secara diam-diam, tanpa transparansi, dan memunculkan ketidakpastian strategis yang lebih tinggi.
Menghadapi Dilema Keamanan AI
Lantas, bagaimana dunia dapat keluar dari dilema keamanan yang ditimbulkan AI? Satu hal yang jelas bahwa solusi tidak bisa datang hanya dari logika kekuatan. Mekanisme tata kelola global sangat dibutuhkan. Pada 2021, UNESCO mengeluarkan Recommendation on the Ethics of Artificial Intelligence yang menekankan pentingnya prinsip transparansi, akuntabilitas, dan non-diskriminasi dalam pengembangan AI. Namun, rekomendasi ini masih bersifat normatif dan tidak mengikat secara hukum. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) juga mulai membahas regulasi AI dalam konteks keamanan, tetapi Dewan Keamanan PBB menghadapi hambatan klasik, yaitu tidak lain Adalah hak veto anggota tetap, terutama ketika isu AI menyentuh kepentingan strategis negara besar seperti AS, Tiongkok, atau Rusia. Dalam kondisi ini, kerja sama multilateral regional, aliansi lintas sektor (pemerintah, akademisi, swasta), serta forum internasional baru perlu digalakkan.
Reformasi tata kelola global AI dapat diarahkan pada tiga aspek penting. Pertama, pembangunan transparansi internasional melalui mekanisme verifikasi pengembangan AI, mirip dengan peran nuclear watchdog seperti IAEA di bidang nuklir. Kedua, penetapan aturan etis dan hukum internasional yang secara tegas melarang penyalahgunaan AI untuk senjata otonom maupun perang siber. Ketiga, peningkatan representasi negara berkembang dalam forum AI global, agar tata kelola tidak hanya didominasi oleh kepentingan kekuatan besar. Ketiga dimensi ini saling terkait, sebab tanpa transparansi tidak ada kepercayaan, tanpa hukum tidak ada kejelasan, dan tanpa inklusivitas tidak ada legitimasi. Dengan demikian, AI dapat dipandang bukan semata ancaman, melainkan peluang untuk membangun sistem internasional yang lebih kolaboratif.
Referensi
Boratov, S. (2025). AI, autonomy, and the new security dilemma: Deterrence and escalation. SSRN. https://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=5452734
Horowitz, M. C., Kearns, E., & Lanoszka, A. (2018). Artificial intelligence and international security. Center for a New American Security. https://css.ethz.ch/content/dam/ethz/special-interest/gess/cis/center-for-securities-studies/resources/docs/CNAS_AI%20and%20International%20Security.pdf
Puscas, I. (2023). Artificial intelligence and international security: Understanding risks and paving the path for confidence-building measures. UNIDIR. https://unidir.org/wp-content/uploads/2023/10/UNIDIR_AI-international security_understanding_risks_paving_the_path_for_confidence_building_measures.pdf
