Department of War: Apakah Dunia Patut Waspada?
Penulis : Nur Azizah Luthfiyah (Mahasiswa Hubungan Internasional FISIP UIN Jakarta)
Perubahan nama tidak hanya sebagai simbol, ini merupakan sinyal ambisi militer yang melebar di tengah lonjakan anggaran dan ketegangan geopolitik global.
Amerika Serikat telah secara resmi mengganti nama lembaga pertahanannya setelah hampir delapan dekade menggunakan istilah “defense”. Keputusan ini dikonfirmasi melalui pernyataan pejabat tinggi dan diperkuat dengan komunikasi publik lewat media sosial sebagai bagian dari strategi politik pemerintahan. Meski sekilas terlihat administratif, perubahan tersebut mengirimkan pesan keras bahwa Amerika kini lebih terbuka menyatakan dirinya sebagai kekuatan yang mendasarkan identitas pada perang dan tidak lagi semata pada pertahanan. Sejumlah analis bahkan menyebut langkah ini sebagai bentuk transparansi politik, jika sebelumnya Washington bersembunyi di balik istilah “defense”, kini tidak ada lagi tabir yang menutupi orientasi ofensif tersebut.
Eskalasi Anggaran dan Prioritas Militer
Data terbaru menunjukkan bahwa pengeluaran militer AS berada di level yang sangat besar. Tahun 2023, anggaran pertahanan (tidak termasuk veteran) mencapai sekitar US$ 994,6 miliar atau 3,6 persen dari GDP. Menurut laporan SIPRI, Amerika menyumbang hampir 37 persen dari total pengeluaran militer global, sementara total belanja dunia naik menjadi US$ 2,72 triliun pada 2024. Angka-angka ini menegaskan bahwa dominasi AS tidak hanya pada retorika, tetapi pada fakta nyata bahwa Washington masih menjadi aktor utama dalam menjaga sekaligus membentuk arah keamanan global. Jika dikaitkan dengan perubahan nama, sulit menampik bahwa keputusan ini adalah refleksi dari prioritas kebijakan yang semakin menempatkan kekuatan militer sebagai instrumen utama, bahkan ketika dunia sedang menghadapi isu non-tradisional seperti krisis iklim.
Para Ahli Bicara
Sejumlah pengamat menilai perubahan nama ini bukan tanpa makna. Li Haidong, pakar urusan AS dari China Foreign Affairs University, menyebut langkah tersebut sebagai indikasi bahwa Washington mungkin akan menggunakan kekuatan militernya secara lebih agresif. Pandangan ini sejalan dengan opini yang dimuat di South China Morning Post, di mana Zhengxu Wang dan Chu Jianguo memperingatkan bahwa dampak terbesarnya justru terletak pada diplomasi. Menurut mereka, perubahan simbolis ini dapat mengikis kepercayaan sekutu, memicu biaya administratif besar, dan melemahkan kredibilitas AS dalam membangun citra sebagai negara yang mendukung perdamaian. Lebih dari itu, beberapa analis Barat menekankan bahwa perubahan semacam ini juga dapat memengaruhi wacana publik domestik di Amerika yang menganggap narasi perang adalah lumrah.
Dampak Luar Negeri dan Ancaman Kestabilan
Dampak luar negeri dari perubahan nama tersebut jelas tidak dapat diremehkan. Rival global maupun musuh potensial dapat memperkuat kebijakan keamanannya sebagai reaksi. Hal ini pada gilirannya dapat semakin mengintensifkan perlombaan senjata sebagai bagian dari dinamika balance of power, di mana negara-negara besar berusaha menyeimbangkan dominasi AS. Sekutu Amerika pun semakin skeptis terhadap klaim diplomasi damai, mempertanyakan apakah Washington masih bersedia diajak berdialog atau justru lebih memilih kekerasan sebagai bahasa utama. Lebih jauh, negara-negara rentan, khususnya di kawasan konflik seperti Timur Tengah dan Asia Pasifik, dinilai terancam menjadi korban intervensi baru. Dengan kata lain, perubahan nama ini memberi justifikasi simbolik bagi operasi militer luar negeri yang berpotensi memperburuk instabilitas global. Jika tren ini berlanjut, bukan tidak mungkin organisasi internasional seperti PBB atau bahkan aliansi tradisional seperti NATO akan menghadapi dilema baru: “Bagaimana menjaga legitimasi perdamaian jika sekutu terkuat mereka mendeklarasikan dirinya melalui bahasa perang”
Refleksi Etis dan Politik
Lebih lanjut, perubahan ini memicu perdebatan etis mengenai cara negara-negara super power memahami tanggung jawab moral dalam ranah internasional. Pemakaian istilah "perang" sebagai identitas resmi dari lembaga negara menunjukkan bahwa kekerasan semakin dianggap sebagai bagian dari kebijakan luar negeri dan menegaskan bahwa perang tidak lagi alat terakhir, melainkan komponen dalam strategi politik yang diatur secara formal. Pergeseran ini berpotensi mengurangi pengaruh norma-norma internasional yang selama ini berupaya membatasi legalitas intervensi militer. Dalam konteks ini, tindakan Amerika Serikat dapat menjadi contoh bagi negara lain untuk mengambil alasan agresif demi kepentingan nasional. Dunia internasional, terutama lembaga seperti PBB dan Dewan Keamanan kini menghadapi tantangan untuk kembali mendefinisikan makna "perdamaian" dalam sistem internasional yang semakin militeristik dan penuh simbol kekuasaan.
Implikasi terhadap Tatanan Internasional Baru
Perubahan nama Pentagon menjadi Department of War dapat dianggap sebagai langkah strategis dalam mengarahkan ulang struktur dunia setelah era perang dingin.
Dengan menekankan kembali peran militer sebagai pondasi utama dari kebijakan luar negeri, Amerika Serikat seolah mempertegas keberadaannya dalam era yang semakin bersifat multipolar dan kompetitif. Dalam konteks persaingan dengan Tiongkok dan Rusia, perubahan ini berpotensi menjadi sinyal bahwa Washington bersiap menghadapi konflik terbuka di berbagai bidang seperti politik, ekonomi, maupun teknologi. Selain itu, tindakan ini juga menunjukkan bahwa diplomasi kini berada di bawah pengaruh militerisasi, di mana kekuatan yang tegas dan keras menjadi penentu utama dalam mempertahankan kepentingan nasional. Dengan demikian, hal ini secara tidak langsung melemahkan prinsip multilateralisme yang selama ini diterapkan oleh lembaga seperti PBB, WTO, dan ASEAN, yang mengandalkan dialog sebagai cara utama mengatasi sengketa.
Reaksi Publik dan Tantangan Internal
Dari segi domestik, keputusan tersebut memicu perdebatan di kalangan masyarakat Amerika. Sebagian kelompok menganggap langkah ini sebagai bentuk kejujuran politik, yakni pengakuan bahwa AS tidak lagi menyembunyikan dominasinya di balik alasan "pertahanan". Namun, banyak pula pihak lain yang memandang keputusan ini sebagai kemunduran moral dan politik, karena berpotensi meningkatkan budaya militerisme di tengah masyarakat sipil. Kritik muncul dari kalangan akademisi serta aktivis yang memandang bahwa penggunaan istilah "perang" akan membatasi ruang bagi diplomasi dan memperkuat narasi bahwa senjata adalah jawaban utama dalam menghadapi setiap tantangan global. Jika pemerintah tidak bijak, perubahan simbolis ini bisa memperdalam perpecahan internal antara kelompok yang mendukung nasionalisme ekstrem dan mereka yang mengharapkan peran Amerika yang lebih humanis di arena internasional.
Referensi
Buzan, Barry. 2007. People, States and Fear: An Agenda for International Security Studies in the Post-Cold War Era. Colchester: ECPR Press.
Haidong, Li. 2024. The Pentagon’s New Name and Its Global Implications. Beijing: China Foreign Affairs University Press.
Ladwig, Walter. 2025. The Department of War Makes America Look Weak. London: Royal United Services Institute (RUSI).
South China Morning Post. 2024. U.S. Department of War: Diplomacy in Decline? Hong Kong: SCMP Publications.
Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI). 2024. Trends in World Military Expenditure 2024. Stockholm: SIPRI Publications.
Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI). 2025. World Military Expenditure Database 2024. Stockholm: SIPRI.
The Guardian. 2025. Trump Signs Executive Order Rebranding Pentagon as Department of War. London: Guardian Media Group.
Wang, Zhengxu, dan Chu Jianguo. 2024. From Defense to War: America’s Strategic Rebranding. Hong Kong: SCMP Media Group.
Wang, Zhengxu, dan Chu Jianguo. 2025. Why America’s New Department of War Spells Trouble for Diplomacy. Hong Kong: South China Morning Post.
White House. 2024. Statement on the Reorganization of the Department of Defense. Washington, D.C.: U.S. Government Printing Office.
