Departemen Perang : Simbol Baru Ambisi Amerika Serikat di Panggung Dunia
Departemen Perang : Simbol Baru Ambisi Amerika Serikat di Panggung Dunia

Penulis : Tyanita Dwi Nuraini (Mahasiswa Hubungan Internasional FISIP UIN Jakarta)

Wacana Presiden Donald Trump untuk mengganti nama Department of Defense menjadi Department of War sebagai simbol perubahan cara pandang Amerika Serikat terhadap kekuatan dan identitasnya di dunia. Melalui pendekatan teori konstruktivisme, tulisan ini menyoroti bagaimana pergantian istilah tersebut tidak sekadar administratif, melainkan sarat makna politik yang dapat mengubah citra Amerika dari pelindung demokrasi menjadi aktor agresif di panggung global. Pergeseran simbol ini dinilai berisiko memicu salah tafsir internasional, memperkuat ketegangan geopolitik, serta menciptakan realitas baru yang lebih penuh kecurigaan dan konflik dalam tatanan keamanan dunia.

“Departemen Perang”: Simbol Baru Ambisi Amerika Serikat di Panggung Dunia

Wacana penggantian nama Department of Defense menjadi Department of War bukanlah sekadar urusan administratif biasa dalam pemerintahan Amerika Serikat. Ia mencerminkan perubahan cara pandang yang lebih dalam: pergeseran dari sikap defensif menuju identitas agresif yang menempatkan kekuatan militer sebagai bahasa utama politik luar negeri. Fenomena ini dapat dibaca melalui lensa teori konstruktivisme dalam hubungan internasional, yang menekankan pentingnya simbol, norma, dan identitas dalam membentuk perilaku negara di panggung global.

Langkah Presiden Donald Trump untuk menghidupkan kembali istilah “Departemen Perang” sarat pesan simbolik. Ia seolah ingin mengembalikan citra klasik Amerika sebagai bangsa yang tangguh, patriotik, dan siap menghadapi segala bentuk ancaman. Namun dibalik itu, kebijakan ini juga mengandung risiko serius bagi stabilitas persepsi global terhadap Amerika. Dalam politik internasional yang penuh kecurigaan, perubahan simbol seperti ini dapat menggeser cara dunia menilai niat dan karakter suatu negara.

Makna Simbol dan Citra Kekuatan

Perubahan nama institusi pertahanan bukan hanya soal terminologi, melainkan pesan yang ingin disampaikan kepada dunia. Dalam konstruktivisme, bahasa dan simbol memainkan peran penting dalam membentuk realitas sosial politik internasional. Mengganti kata Defense menjadi War dapat dimaknai sebagai bentuk redefinisi identitas—bahwa Amerika tidak lagi ingin dipandang sebagai pelindung demokrasi global, melainkan sebagai kekuatan ofensif yang siap menantang siapa pun yang dianggap mengancam kepentingan nasionalnya.

Pergeseran ini tidak lepas dari latar historis. Sejak era George Washington pada 1789, istilah Department of War pernah digunakan hingga usai Perang Dunia II, sebelum kemudian berganti menjadi Department of Defense pada 1949. Bagi Trump, menghidupkan kembali istilah lama berarti menghidupkan semangat kemenangan masa lalu. Namun bagi dunia, langkah tersebut justru dapat dibaca sebagai bentuk kemunduran menuju politik kekuatan lama—di mana diplomasi terpinggirkan oleh retorika militeristik.

 

Dampak Simbolik dan Praktis di Panggung Global

Pergeseran istilah ini memiliki dua dimensi: simbolik dan praktis. Dari sisi simbolik, kata “Perang” membangkitkan citra agresi lebih dari diplomasi. Negara sekutu mungkin melihatnya sebagai tanda mundur dari komitmen multilateral pasca-Perang Dunia II, sementara rival seperti Rusia atau China bisa menafsirkan langkah ini sebagai sinyal peningkatan tensi militer. Dalam sistem internasional yang anarkis, di mana kepercayaan antarnegara selalu rapuh, perubahan simbol sekecil apapun dapat memicu efek domino terhadap dinamika keamanan global.

Sementara itu, dari sisi praktis, kebijakan ini memunculkan tantangan hukum dan administratif yang tidak sederhana. Nama resmi kementerian pertahanan telah dikodifikasi dalam hukum federal, sehingga perubahan permanen membutuhkan persetujuan Kongres. Selain itu, biaya besar untuk rebranding institusi militer senilai 842 miliar dolar dengan jutaan pegawai tentu bukan hal sepele. Maka dari itu, perubahan ini berpotensi lebih bersifat politis daripada substansial—lebih merupakan simbol dari cara Trump ingin dikenang dalam sejarah, bukan reformasi strategis pertahanan nasional.

Simbol, Identitas, dan Dampaknya bagi Dunia

Dari sudut pandang teori konstruktivisme, simbol seperti nama institusi negara bukan sekadar ornamen administratif, melainkan cerminan identitas politik yang membentuk interaksi antarnegara. Ketika Amerika memilih untuk menegaskan dirinya melalui istilah “Perang”, maka negara lain akan menyesuaikan persepsinya: dari melihat AS sebagai penjaga stabilitas, menjadi melihatnya sebagai aktor agresif. Dengan kata lain, perubahan simbol dapat menciptakan realitas baru yang memperkuat rasa saling curiga dalam sistem internasional—suatu kondisi yang justru dapat meningkatkan potensi konflik.

Dalam konteks global yang tengah diliputi ketegangan—mulai dari konflik Ukraina hingga Laut China Selatan—pergeseran makna ini bisa menambah lapisan ketidakpastian baru. Dunia membutuhkan lebih banyak sinyal perdamaian, bukan simbol-simbol yang membangkitkan ingatan akan perang. Maka, kebijakan semacam ini seharusnya disertai maksud strategis yang jelas dan komunikasi diplomatik yang hati-hati, agar tidak menimbulkan salah tafsir yang memperkeruh hubungan antarnegara.

Menimbang Makna dan Arah Politik Amerika

Perubahan nama Department of Defense menjadi Department of War mungkin tampak sepele di permukaan, namun sesungguhnya ia membuka pertanyaan mendasar: apakah Amerika masih berkomitmen pada diplomasi, ataukah tengah kembali ke politik kekuatan yang menekankan dominasi militer? Dalam dunia yang semakin terhubung, pesan sekecil apa pun dapat bergema luas. Sebagaimana dikatakan oleh para konstruktivis, identitas menentukan tindakan. Jika identitas baru yang ingin dibangun Amerika adalah identitas “perang”, maka dunia harus bersiap menghadapi tatanan global yang lebih keras dan penuh kecurigaan.

Pada akhirnya, perubahan nama bukan hanya tentang kata, melainkan tentang arah kebijakan dan makna yang dikandungnya. Amerika perlu menyadari bahwa setiap simbol yang diciptakan akan membentuk narasi baru tentang dirinya di mata dunia. Tanpa maksud strategis yang jelas, perubahan itu bisa menjadi bumerang—mengubah citra “penjaga perdamaian” menjadi “penggagas perang”.  

Refrensi

Alexander Wendt. Social Theory of International Politics. Cambridge University Press, 1999.

Martha Finnemore & Kathryn Sikkink. “International Norm Dynamics and Political Change.” International Organization, Vol. 52, No. 4 (1998).

Joseph Nye. Soft Power: The Means to Success in World Politics. PublicAffairs, 2004. Robert Jervis. Perception and Misperception in International Politics. Princeton University Press, 1976.