“Departemen Perang” Amerika, Apakah Mengancam Stabilitas dan Keamanan Global?
Penulis : Miftah Farid Fadilah (Mahasiswa Semester 5 Ilmu Hubungan FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)
Amerika Serikat kembali membuat dunia terkejut. Pada awal September 2025, Presiden Donald Trump menandatangani perintah eksekutif untuk mengembalikan nama Department of Defense menjadi Department of War. Walau secara hukum perubahan ini belum sah karena belum disetujui oleh Kongres, dampaknya sudah terasa besar. Situs resmi Pentagon, surat menyurat, dan pernyataan pejabat mulai memakai nama baru itu. Banyak warga Amerika menganggap langkah ini sebagai simbol ketegasan dan kebanggaan nasional. Tapi bagi dunia internasional, perubahan ini adalah sinyal keras yang bisa mengubah arah keamanan global.
Mengapa Amerika Mengganti Nama? Adakah Pesan yang Ingin Disampaikan?
Keputusan ini tidak muncul tanpa alasan. Berdasarkan dokumen resmi White House yang diunggah melalui situs whitehouse.gov, pemerintahan Trump menyebut bahwa istilah “Department of Defense” dianggap terlalu pasif. Trump menilai bahwa Amerika Serikat tidak hanya perlu bertahan, tetapi juga harus siap mengambil langkah ofensif demi melindungi kepentingannya. Dalam pernyataan itu disebutkan bahwa “Defense means survival, but War means victory,” yang menggambarkan pandangan bahwa kemenangan hanya bisa dicapai melalui kekuatan aktif, bukan sekadar bertahan.
Dalam wawancara yang dikutip Al Jazeera dan CBS News, Trump menegaskan bahwa Amerika membutuhkan citra yang lebih tegas dan berani. Ia ingin menghidupkan kembali semangat patriotisme dan kekuatan militer klasik seperti era Perang Dunia II. Menteri Pertahanan Pete Hegseth juga menambahkan bahwa perubahan ini adalah “pemulihan semangat kemenangan”, bukan agresi. Namun banyak analis menilai langkah ini lebih bersifat politis dibanding strategis. Beberapa pengamat dari lembaga seperti Royal United Services Institute (RUSI) menilai bahwa langkah ini hanyalah simbolisme yang dibungkus sebagai kebijakan keamanan. Dalam praktiknya, tidak ada perubahan struktur militer, hanya penegasan citra Amerika sebagai kekuatan global yang keras.
Trump sendiri disebut menggunakan kebijakan ini untuk memperkuat dukungan dari kelompok nasionalis dan veteran militer. Dengan mengembalikan istilah “War”, ia mencoba menegaskan bahwa Amerika harus tampil dominan di dunia, bukan sebagai penjaga perdamaian, tetapi sebagai kekuatan penentu arah tatanan global.
Reaksi Dunia terhadap Langkah Amerika
Langkah ini menimbulkan reaksi beragam dari dunia internasional. Negara-negara besar seperti Tiongkok, Rusia, Iran, dan Korea Utara menilai keputusan itu sebagai tanda bahwa Amerika kembali ke politik kekuatan. Mereka melihatnya sebagai sinyal bahwa Washington siap menggunakan militer lebih cepat dibanding diplomasi. Media pemerintah Tiongkok melalui Global Times menyebut langkah ini sebagai “pembenaran untuk perang yang lebih terbuka.”
Sementara di Eropa, banyak sekutu Amerika justru merasa khawatir. Inggris dan Jerman menyatakan bahwa perubahan nama tersebut dapat memperburuk citra Amerika di mata masyarakat global. Mereka khawatir bahwa diplomasi multilateral akan terganggu karena muncul kesan bahwa AS lebih memilih kekuatan militer daripada dialog. The Guardian menulis bahwa kebijakan ini bisa memperlemah kepercayaan sekutu terhadap kepemimpinan moral Amerika.
Di Asia, lembaga seperti Lowy Institute di Australia menyebut bahwa keputusan ini menimbulkan ketidakpastian baru bagi kawasan Indo-Pasifik. Negara-negara Asia Tenggara yang selama ini menyeimbangkan hubungan dengan AS dan Tiongkok bisa menghadapi dilema baru. Jika retorika “perang” terus diperkuat, negara-negara kecil mungkin merasa perlu menyesuaikan strategi pertahanan mereka. Ini bisa memicu ketegangan baru di kawasan yang sudah penuh rivalitas geopolitik.
Beberapa analis juga menilai bahwa langkah ini dapat memicu perlombaan senjata secara tidak langsung. Ketika satu negara memperlihatkan peningkatan militer, negara lain cenderung melakukan hal yang sama untuk menjaga keamanan. Dalam teori hubungan internasional, kondisi ini dikenal sebagai security dilemma, di mana upaya satu negara untuk meningkatkan keamanannya justru membuat negara lain merasa terancam.
Analisis Keamanan Internasional: Ancaman bagi Stabilitas Global?
Dalam kajian keamanan internasional, keputusan Amerika mengganti nama Departemen Pertahanan menjadi Departemen Perang dapat dilihat dari dua sudut pandang besar, yaitu realisme dan liberalisme.
Dari perspektif realisme, langkah ini adalah bentuk power projection atau upaya menunjukkan kekuatan untuk menegaskan dominasi global. Negara dalam pandangan realis hidup dalam sistem internasional yang tanpa penguasa tunggal, sehingga setiap negara harus terlihat kuat agar tidak diserang. Dengan menonjolkan istilah “perang”, Amerika berusaha menampilkan citra tegas dan siap menyerang jika kepentingannya terganggu. Namun konsekuensinya, negara lain bisa merasa terancam dan ikut memperkuat militernya. Dalam jangka panjang, hal ini dapat memicu ketegangan baru, bahkan perlombaan senjata yang mengancam stabilitas global.
Sementara dari perspektif liberalisme, kebijakan ini justru bertentangan dengan upaya menjaga perdamaian dan kerja sama internasional. Dunia pasca Perang Dingin dibangun atas dasar diplomasi dan norma internasional yang menolak glorifikasi perang. Ketika Amerika, negara dengan kekuatan militer terbesar di dunia, kembali menggunakan istilah “perang”, itu bisa merusak kepercayaan antarnegara. Negara sekutu mungkin mulai ragu terhadap komitmen AS dalam kerja sama global, sementara negara berkembang bisa merasa terpinggirkan oleh retorika kekuasaan yang semakin kuat.
Lalu, apakah langkah ini benar-benar mengancam keamanan dunia? Secara langsung mungkin belum, karena belum ada kebijakan militer nyata yang mengikuti perubahan ini. Namun secara simbolik, pengembalian istilah “perang” sudah cukup untuk menciptakan ketegangan psikologis antarnegara. Dunia sedang berada di masa di mana diplomasi dan kepercayaan menjadi kunci menjaga perdamaian. Jika simbol-simbol kekerasan kembali digunakan secara resmi oleh negara besar, maka risiko konflik meningkat, meski tanpa peluru yang ditembakkan.
Dengan demikian, bisa diartikan bahwa penggantian nama dari “Department of Defense” menjadi “Department of War” bukan hanya sekadar pergantian istilah administratif. Ini adalah pesan politik dan ideologis yang memperlihatkan arah baru kebijakan Amerika Serikat di bawah pemerintahan Trump. Dunia kini menghadapi sinyal bahwa Amerika ingin kembali menegaskan diri sebagai kekuatan militer dominan, bukan sekadar pelindung perdamaian.
Bagi negara-negara seperti Indonesia, perubahan ini harus dibaca dengan hati-hati. Dunia sedang berubah menuju narasi kekuatan, bukan kerja sama lagi. Indonesia perlu memperkuat diplomasi bebas-aktif dan memperkuat peran ASEAN agar tidak terseret dalam rivalitas militer negara besar. Karena pada akhirnya, keamanan dunia tidak ditentukan oleh siapa yang memiliki senjata paling kuat, tetapi oleh kemampuan negara-negara untuk menjaga kepercayaan, stabilitas, dan perdamaian bersama.
