Defense of War: Kebimbangan Antara Kepentingan dan Moral
Penulis : Talitha Rahayu Hutami Putri (Mahasiswa Hubungan Internasional)
Pada 5 September 2025 lalu, Presiden Amerika Serikat yakni Donald Trump mengeluarkan kebijakan dengan menyatakan bahwa Kementerian Pertahanan Amerika Serikat, Department of Defense (DoD) secara resmi berganti nama menjadi Department of War (DOW). Pergantian secara tidak terduga ini mengguncang dunia global dan bertanya-tanya alasan Presiden Trump tersebut apakah hanya sebagai politik domestik atau ada maksud tersembunyi akan berubahnya orientasi strategi luar negeri Amerika dalam mengambil atensi global. Melalui pernyataannya bulan September lalu, Trump ingin mengembalikan kejayaan US Department of War seperti sedia kala yang berhasil memenangi Perang Dunia I dan II.
Perspektif realisme dalam hubungan internasional memandang tatanan global saat ini adalah anarkis di mana tak ada otoritas tertinggi di banding negara yang berarti setiap negara harus mengatur negaranya masing-masing sehingga setiap strategi negara yang memiliki power lebih besar akan mengganggu stabilitas dan menjadi ancaman bagi negara lain. Oleh karena itu negara akan terus mengamati setiap kebijakan yang diambil oleh negara lain bahkan dalam bentuk administratif pun dapat memiliki konsekuensi yang besar terhadap stabilitas politik global. Pada tulisan ini penulis akan menyampaikan pendapat kenapa kebijakan luar negeri Amerika Serikat dengan mengganti nama dari Department of Defense menjadi Department of War dapat mengancam keamanan internasional menggunakan pendekatan teori realisme dan teori konstruktivisme.
Makna Ganda dari Department of War
Pasca Perang Dunia II, Amerika Serikat konsisten menggunakan nama Department of Defense untuk menandai bahwa Kementerian Pertahanan Amerika Serikat lebih memiliki makna melindungi bukan agresif. Hal ini juga dapat bermaksud bahwa militer bukan hanya menyerang tetapi mengayomi masyarakatnya dalam lingkup domestik maupun masyarakat global. Akan tetapi ketika Trump merubah nama kementerian tersebut menjadi Department of War, hal ini dapat mempunyai makna secara psikologis maupun politik bahwa Amerika Serikat sedang merubah orientasinya dengan menggunakan perang sebagai instrumen politik.
Teori sekuritisasi milik Ole Waever berpendapat bahwa penyebutan suatu isu sebagai ancaman secara terang-terangan tanpa diinterpretasikan ulang akan menjustifikasi tindakan kekerasan termasuk dalam konteks ini adalah penggunaan kekuatan militer. Penggunaan bahasa dan simbol merupakan isu yang sangat krusial dalam hubungan internasional, bukan hanya estetika belaka tetapi bentuk komunikasi strategis. Dengan bahasa tersebut, sebuah kebijakan dapat diterima maupun dikritik oleh kalangan masyarakat karena bahasa dapat diinterpretasikan berbeda-beda tergantung pembacanya dan dapat di-framing buruk apabila terdapat sedikitpun kecacatan. Perubahan nama ini dapat disebut sebagai kebijakan yang cukup gegabah karena mempunyai konotasi buruk bahwa suatu isu sebagai ancaman perlu dibalas dengan intervensi militer atas nama keamanan nasional.
Tujuan ofensif Amerika Serikat kembali diperjelas oleh pernyataan Trump bahwa sebelum digantinya Department of War pada 1947, militer Amerika Serikat mengalami masa emas dengan memenangi perang dan perubahan nama tersebut memperlemah militernya. Selaku Menteri, Pete Hegseth juga menyatakan bahwa kini ia ingin Amerika Serikat bertindak ofensif bukan hanya defensif dengan mematikan secara maksimal, bukan hanya memikirkan legalitas yang tidak tegas. Menurutnya, kebijakan tersebut berjalan lurus dengan visi Trump yaki Make America Great Again.
Dunia Anarkis, Security Dilemma, dan Sekuritisasi
Di dunia internasional tidak mengenal yang namanya otoritas tertinggi di atas negara. Anarkis, sebuah konsep mengenai tatanan politik global yang digambarkan oleh Morgenthau bahwa negara wajib menjaga keamanan nasionalnya secara mandiri karena negara yang direpresentasikan oleh manusia dianggap seperti serigala pemakan segalanya bahkan sebangsanya sekalipun. Keadaan ini memaksa negara untuk melakukan segala upaya untuk mempertahankan kedaulatannya dan menyebabkan timbulnya rasa was-was ketika suatu negara memiliki power lebih dibandingkan negaranya. Contohnya negara A membeli senjata militer untuk memperkuat pertahanannya sehingga negara B merasa insecure dengan hal tersebut memutuskan untuk membeli senjata lebih banyak dibanding negara A sebagai respon. Siklus ini akan terus berulang dan melahirkan yang namanya perlombaan senjata.
Melalui konteks Department of War, keputusan Amerika Serikat dapat terjadi karena melihat negara-negara adidaya lainnya seperti Russia atau Tiongkok yang menyebabkan pergeseran orientasi Amerika menjadi lebih ofensif dan masing-masing akan meningkatkan militernya sebagai respon. Oleh karena itu tanpa perang pun jika negara adidaya memutuskan untuk melakukan perlombaan senjata akan menimbulkan keteganganyang efeknya menyebar ke seluruh dunia.
Sekuritisasi, Identitas dan Makna: Konsep Konstruktivisme
Alexander Wendt dalam bukunya mengenai teori konstruktivisme menyebutkan bahwa struktur yang ada di dunia internasional merupakan konstruksi dari ide, identitas, dan interaksi antar negara. Hal ini mempunyai makna yang lebih dalam bahwa ancaman adalah konsep yang tidak objektif dan merupakan interpretasi aktor dalam memandangnya. Kata “war” dapat merubah identitas dan orientasi politik Amerika Serikat di mata global. Amerika Serikat dalam beberapa dekade terakhir membingkai negaranya sebagai negara demokrasi dan mementingkan keamanan kolektif dan Presiden Trump yang dikenal sebagai presiden yang lebih tertarik akan perang dagang dibandingkan perang secara militer.
Narasi perang dapat membentuk persepsi dunia bahwa keadaan global saat ini dalam bahaya yang berkelanjutan sehingga perang akan terjadi dalam waktu dekat dan Amerika Serikat mengambil peran sebagai ikon kekuatan baru yang siap bangkit kapanpun. Dampaknya, negara lain mungkin akan mengikuti langkah Amerika Serikat dengan menormalisasikan penggunaan militer untuk kebijakan luar negeri yang selama ini menjadi hal kesekian untuk diprioritaskan dibandingkan dengan kerja sama multilateral dalam berbagai bidang yang menjadi kunci perdamaian selama ini.
Hal ini bukan hanya bentuk bahaya bagi lawan, tapi juga bagi aliansi Amerika Serikat yang selama ini bekerja sama karena bergantung pada citra AS sendiri sebagai “penjaga perdamaian” yang menekankan pentingnya kerjasama, hukum internasional, dan penyelesaian sengketa secara damai berdasarkan prinsip demokrasi liberal. Impresi ini akan berpengaruh pada perubahan perilaku negara lain dalam menjalin hubungan diplomatik, entah itu termasuk menimbulkan keraguan dan kecurigaan mereka untuk mendukung kebijakan luar negeri AS di forum internasional.
Defense of War: Mengganggu Keamanan Global?
Jadi, apakah Defense of War dapat mengganggu tatanan keamanan global? Saya berpendapat iya, bahwa pergantian nama tersebut dapat menciptakan ketidakstabilan baru dalam hubungan internasional.
Trump melalui Defense of War berusaha membawa kembali maknanya secara historis yaitu kekuatan militer yang agresif dan menegaskan penggunaan kekuatan militer secara tradisional. Negara rival bebuyutan Amerika Serikat seperti Rusia dan Tiongkok akan menggap sinyal ini sebagai bentuk keinginan AS menjadi kekuatan yang siap mengubah tatanan dibandingkan hanya menjaga perdamaian. Negara-negara lain pun akan mempercepat perlombaan senjata untuk mengikuti jejak Amerika, sehingga apabila perang benar terjadi, akan bersifat lebih destruktif dan memakan korban lebih banyak dibanding perang-perang yang terjadi dalam sejarah kemanusiaan.
Secara politik dan hukum domestik maupun internasional, kebijakan ini dapat membawa pengaruh buruk. Negara hegemoni yang secara eksplisit memberi nama institusi resminya dengan kata “perang”, hal ini dapat melemahkan piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang melarang penggunaan kekuatan untuk kebijakan luar negerinya. Ditambah lagi oleh Amerika Serikat yang sering dianggap ‘panutan’ akan norma oleh negara global. Oleh karena itu hal ini dapat mempengaruhi negara adidaya lain jika AS atau PBB mulai membiarkan pembenaran hal tersebut. Akibatnya negara lain akan mengikuti, mengikis norma non-intervensi dan multilateralisme dalam prinsip kerja sama internasional yang selama ini telah dibangun.
Selain itu, belanja militer akan menjadi kebutuhan primer Amerika dan akan mengesampingkan anggaran departemen lainnya. Kebijakan ini juga dapat dilihat bagaimana Amerika Serikat turut mendukung posisi Israel dalam konflik Timur Tengah terutama konflik antara Israel dan Palestina dengan memberikan suplai senjata. Hal ini akan membentuk krisis global, karena mekanisme non-militer akan kurang memiliki dukungan politik dari domestik di Amerika Serikat. Apabila militer diberi nama yang lebih menonjolkan nilai perang, akan terjadi penerapan nilai “etos pejuang” ke dalam ranah sipil
