BRICS, Prabowo, dan Indonesia
Ali Rif’an
Dosen FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
Direktur Eksekutif Arus Survei Indonesia
Presiden Prabowo Subianto menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) BRICS 2025 pada Minggu (6/7/), di Rio de Janeiro, Brasil. Ini merupakan momentum perdana Presiden Prabowo hadir dalam kapasitasnya sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan sejak Indonesia resmi bergabung dalam BRICS pada Januari 2025 lalu.
Tentu saja, bergabungnya Indonesia ke dalam blok ekonomi yang dihuni negara-negara besar seperti Brazil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan (plus anggota baru seperti Mesir, Ethiopia, Iran, dan UEA) bukan sekadar langkah simbolik, namun kehendak strategis untuk menata ulang peran dan posisi Indonesia di panggung dunia. Artinya, Indonesia kini telah memasuki arena baru dalam arsitektur geopolitik global.
Setidaknya ada dua hal strategis bergabung dalam BRICS. Pertama, BRICS bukanlah blok “ecek-ecek” lantaran negara-negara yang tergabung di dalamnya merepresentasikan sekitar 45 persen populasi dunia dan sekitar 33 persen PDB global. Bahkan BRICS juga punya New Development Bank (NDB) yang diproyeksikan sebagai alternatif dari dominasi IMF dan Bank Dunia.
Kedua, BRICS merupakan simbol dunia multipolar yang sedang tumbuh. Dalam hal ini, Indonesia bisa menjadi bandul poros alternatif yang inklusif sehingga tidak larut dalam rivalitas Blok Barat versus Blok Timur. Inilah manifestasi dari politik luar negeri bebas aktif yang secara konsisten ditegaskan oleh Presiden Prabowo bahwa Indonesia tidak berpihak pada kekuatan geopolitik manapun, melainkan memperjuangkan kepentingan nasional dan keadilan global.
Pembangun Jembatan
Karena itu, kehadiran Presiden Prabowo untuk menyuarakan sikap dan posisi Indonesia sebagai pembangun jembatan (bridge builder) dalam berbagai isu global merupakan langkah tepat dan relevan. Apalagi Indonesia punya modal sejarah (KAA 1955), reputasi diplomatik (G20, ASEAN), dan kekuatan moral untuk itu.
Tentu ini bukan hanya upaya kolektif membangun dunia yang lebih adil dan inklusif di tengah situasi dunia yang makin kompleks, tidak menentu, dan ketegangan antar-kawasan terus berlangsung. Namun sebagai momentum untuk membentuk arah baru politik luar negeri Indonesia sekaligus mengartikulasikan kepentingan nasional secara lebih aktif dan memperjuangkan perdamaian global secara lebih atraktif.
Sebagai contoh, dalam konteks kepentingan nasional, Indonesia punya peluang konkret untuk memperjuangkan kepentingan ekonomi, teknologi, dan pertahanan nasional. Misalnya mengakses pembiayaan infrastruktur dari NDB tanpa ketentuan neoliberal yang kaku, menjajaki kerja sama energi dengan Rusia dan Iran, serta memperluas transfer teknologi dari Tiongkok dan India—terutama di bidang hilirisasi mineral, artificial intelligence (AI), hingga pertahanan strategis.
Sementara dalam konteks memperjuangkan perdamaian global, Indonesia memiliki peluang untuk mengarusutamakan agenda “diplomasi kemanusiaan”, yakni satu isu yang selama ini menjadi kekuatan moral dan sejarah panjang kebijakan luar negeri Indonesia. Isu-isu seperti Palestina, krisis pangan, konflik bersenjata seperti perang Iran-Israel dan Rusia-Ukraina, hingga persoalan lingkungan serta akses kesehatan global, dapat diperjuangkan lebih kuat nan solid.
Keadilan Global
Karena itulah, kehadiran Indonesia dalam BRICS harus jadi babak baru untuk menciptakan capaian-capian strategis yang tidak hanya dalam bentuk kesepakatan ekonomi, namun juga dalam penguatan posisi Indonesia sebagai kekuatan regional dan moral global. Apalagi Presiden Prabowo selama ini dikenal vokal dalam menyuarakan keadilan internasional dan solidaritas dunia ketiga.
Sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, Indonesia punya legitimasi kuat untuk menavigasi arah baru diplomasi global, termasuk memainkan peran sebagai “advokat Global South” dan penyeimbang di antara kekuatan besar. Ini penting di tengah dinamika global yang penuh ketidakpastian: disrupsi rantai pasok, geopolitik energi, serta ketegangan ekonomi antara Amerika Serikat dan Tiongkok.
Selain itu, Indonesia juga perlu mendorong pembaruan sistem tata kelola global dalam kerangka multilateralisme PBB, yang hingga kini masih dikuasai oleh hak veto peninggalan era pasca-Perang Dunia II. Pasalnya, penggunaan hak veto kerap menimbulkan kebuntuan, karena negara-negara besar saling memblokir demi kepentingan sempit masing-masing, sehingga gagal mewujudkan keamanan global yang berkelanjutan.
BRICS membuka peluang Indonesia untuk mendiversifikasi mitra strategis, tidak terlalu bergantung pada satu poros kekuatan. Ini merupakan bentuk adaptasi kreatif terhadap prinsip bebas aktif, sesuai dengan semangat pembukaan UUD 1945 dan praktik politik luar negeri sejak era Sukarno. Pun sejalan dengan teori peran internasional (Holsti, 1970) bahwa Indonesia tengah memainkan peran sebagai bridge builder—yakni menjembatani kepentingan antara negara maju dan berkembang, antara Timur dan Barat, serta antara blok ekonomi yang berseberangan.
Dunia hari ini tengah bergerak menuju era baru yang menuntut keberanian mengambil posisi, kecerdasan dalam membangun aliansi, dan keteguhan dalam menjaga prinsip. Indonesia, dengan seluruh modal sejarah, diplomasi, dan kepemimpinannya hari ini, memiliki kesempatan emas untuk berada di barisan terdepan atas perubahan tersebut. Sekali lagi, BRICS adalah panggung baru bagi Indonesia untuk memperjuangkan kepentingan nasional dan keadilan global.
*) Artikel opini ini telah terbit di Jawa Pos, 9 Juli 2025