BRICS : Jalan Baru Kekuatan Indonesia atau Ancaman bagi Stabilitas Keamanan Nasional?
BRICS : Jalan Baru Kekuatan Indonesia atau Ancaman bagi Stabilitas Keamanan Nasional?

Penulis : Muhammad Assegaf, Mahasiswa Hubungan Internasional

Diskursus mengenai apakah bergabungnya Indonesia ke dalam BRICS dapat mengancam keamanan nasional tidak dapat dilepaskan dari konteks perubahan tatanan global yang semakin multipolar. Dalam situasi di mana kekuatan Barat tidak lagi menjadi satu-satunya aktor dominan dalam sistem internasional, muncul alternatif kerja sama Global South yang mencoba mengurangi ketergantungan terhadap institusi ekonomi Barat. Di sinilah BRICS tampil sebagai simbol pergeseran struktur kekuasaan global, dan Indonesia sebagai negara berkembang dengan kapasitas ekonomi besar memiliki insentif kuat untuk mengeksplorasi peluang di dalamnya.

Keamanan ekonomi menjadi dimensi pertama yang perlu dipahami. Ketergantungan terhadap pasar Barat, aliran investasi dari mitra tradisional, dan lembaga keuangan internasional seperti IMF serta World Bank secara historis menempatkan negara-negara berkembang dalam posisi yang rentan terhadap tekanan kebijakan eksternal. Dengan keikutsertaan Indonesia di BRICS, sumber pendanaan alternatif melalui New Development Bank dapat memperluas ruang kebijakan ekonomi nasional. Tidak hanya itu, perluasan pasar ekspor dan dukungan terhadap industrialisasi juga dapat memperkuat ketahanan ekonomi Indonesia. Dalam perspektif keamanan nasional, kondisi ekonomi yang stabil merupakan fondasi untuk menjaga pertahanan yang kuat dan stabilitas politik dalam negeri. Dengan demikian, peluang yang ditawarkan BRICS terhadap resiliensi ekonomi Indonesia justru dapat memperkuat keamanan nasional secara menyeluruh.

Namun, langkah ini tidak terlepas dari dinamika geopolitik yang lebih luas. Prinsip politik luar negeri bebas-aktif yang telah menjadi pedoman Indonesia sejak masa awal kemerdekaan menuntut negara untuk tetap mandiri dalam menentukan arah kebijakan internasionalnya. Indonesia selama ini berperan sebagai middle power yang menjembatani kepentingan berbagai kekuatan besar, bukan berpihak pada satu blok yang bersifat konfrontatif. Jika keikutsertaan Indonesia di BRICS kemudian dipersepsikan sebagai keberpihakan yang terlalu dekat dengan Tiongkok atau Rusia, maka akan muncul potensi tekanan diplomatik dan ekonomi dari negara Barat. Situasi ini dapat menimbulkan risiko terhadap hubungan Indonesia dengan mitra keamanan tradisional seperti Amerika Serikat, khususnya dalam konteks stabilitas kawasan Indo-Pasifik dan keamanan maritim di Laut Cina Selatan.

Di level kawasan, ASEAN selama ini menjadi arena utama diplomasi Indonesia dalam memastikan stabilitas regional. Bergabungnya Indonesia ke BRICS tentu membawa konsekuensi terhadap dinamika hubungan intra-ASEAN. Sebagian negara anggota ASEAN memiliki kedekatan yang lebih kuat dengan Amerika Serikat, sementara yang lain telah terjerat erat dalam orbit ekonomi Tiongkok. Jika Indonesia dipandang terlalu condong ke kubu tertentu, peran Indonesia sebagai stabilisator dan pemimpin kawasan dapat terganggu, sehingga memunculkan potensi fragmentasi dalam kesatuan ASEAN. Karena itu, kemampuan Indonesia dalam menavigasi hubungan kekuatan besar tetap menjadi kunci agar keamanan kawasan tidak terdampak secara negatif.

Selain faktor geopolitik tradisional, isu keamanan siber dan teknologi digital juga semakin penting. BRICS sendiri tengah berupaya membangun sistem teknologi yang lebih independen dari dominasi Barat, mulai dari kerja sama pertahanan siber hingga pengembangan infrastruktur digital seperti 5G dan kecerdasan buatan. Bagi Indonesia, hal ini membuka peluang besar untuk meningkatkan kemandirian teknologi dan proteksi data nasional. Lebih jauh, isu kedaulatan teknologi menjadi semakin relevan bagi Indonesia di tengah meningkatnya digitalisasi dalam sektor publik maupun strategis seperti pertahanan dan energi. Jika Indonesia mengintegrasikan sistem teknologi yang dikembangkan oleh negara-negara BRICS, misalnya penggunaan perangkat keras dan jaringan komunikasi berbasis Tiongkok atau Rusia, maka potensi kerentanan terhadap infiltrasi atau pencurian data sensitif menjadi lebih besar. Tantangan ini semakin kompleks karena persaingan teknologi global kini tidak hanya berkaitan dengan pasar dan inovasi, tetapi juga kompetisi intelijen dan kontrol atas infrastruktur digital strategis. Oleh karena itu, Indonesia harus memastikan bahwa kerja sama teknologi dalam BRICS tetap diimbangi dengan pengembangan kapasitas domestik, regulasi keamanan siber yang ketat, serta diversifikasi mitra teknologi agar tidak terjebak dalam ketergantungan yang dapat melemahkan kedaulatan digital nasional di masa depan.

Selain itu, Indonesia juga memiliki kepentingan strategis dalam reformasi tata kelola global yang selama ini dianggap tidak adil bagi negara berkembang. Keikutsertaan dalam BRICS dapat memperkuat posisi tawar Indonesia dalam isu-isu global seperti stabilitas rantai pasok, transisi energi berkelanjutan, dan pembiayaan pembangunan. Namun, Indonesia juga harus bijak dalam menyikapi langkah-langkah BRICS yang berpotensi memperburuk ketegangan internasional, terutama jika kebijakan kelompok tersebut dianggap menantang lembaga dan norma internasional yang sudah diakui secara luas.

Melihat keseluruhan faktor tersebut, dapat dikatakan bahwa keikutsertaan Indonesia dalam BRICS bukan ancaman otomatis terhadap keamanan nasional. Justru, dalam sebuah tatanan dunia yang semakin kompetitif, langkah ini dapat menjadi instrumen strategis untuk memperkuat ekonomi nasional, memperluas jaringan diplomasi, dan meningkatkan pengaruh Indonesia dalam sistem internasional. Ancaman hanya akan muncul apabila kebijakan luar negeri Indonesia kehilangan independensinya dan terjebak dalam rivalitas kekuatan besar hingga mengorbankan stabilitas kawasan dan kepentingan nasional.

Pada akhirnya, keamanan nasional bergantung pada kemampuan Indonesia menjaga keseimbangan strategis, memperkuat kapasitas domestik, dan memastikan bahwa kepentingan nasional tetap menjadi landasan utama setiap pilihan kebijakan luar negeri. Jika prinsip-prinsip tersebut dipertahankan, maka bergabungnya Indonesia ke BRICS bukanlah ancaman, melainkan peluang untuk memperkukuh posisi Indonesia dalam pusaran geopolitik global yang terus berubah.

Sebagai kesimpulan, potensi keikutsertaan Indonesia dalam BRICS tidak dapat dinilai secara simplistis sebagai ancaman bagi keamanan nasional, melainkan sebagai pilihan strategis yang sarat peluang sekaligus tantangan. BRICS dapat memperkuat ketahanan ekonomi Indonesia, memperluas ruang diplomasi, dan mendorong peran lebih besar dalam reformasi tata kelola global. Namun, risiko tetap ada apabila Indonesia tidak mampu menjaga independensi politik luar negeri, khususnya dalam menghadapi rivalitas kekuatan besar yang semakin tajam di kawasan Indo-Pasifik. Karena itu, keberhasilan langkah ini sangat bergantung pada sejauh mana Indonesia mampu mengimplementasikan prinsip bebas-aktif secara konsisten, mempertahankan otonomi strategis, serta menempatkan kepentingan nasional sebagai prioritas utama dalam setiap keputusan diplomatik di panggung internasional.

Pada titik ini, penting bagi Indonesia untuk tidak hanya memandang BRICS sebagai forum ekonomi semata, tetapi juga sebagai arena diplomasi yang membutuhkan kecermatan dalam membaca arah perkembangan politik global. Indonesia harus memanfaatkan peluang kerja sama yang ada untuk memperkuat kapasitas nasional dan meningkatkan daya saing, sambil tetap menjaga agar setiap langkah tidak mengarah pada ketergantungan baru terhadap kekuatan besar mana pun. Dengan strategi yang tepat, Indonesia dapat memainkan peran yang lebih aktif dalam menentukan masa depan tata kelola global, tanpa mengorbankan kepentingan domestik atau stabilitas kawasan. Dengan demikian, keputusan untuk bergabung dengan BRICS pada akhirnya harus dibaca sebagai langkah yang adaptif terhadap perubahan sistem internasional, sekaligus bentuk afirmasi bahwa Indonesia siap menjadi aktor penting dalam dinamika geopolitik dunia ke depan