BRICS dan Indonesia: Jalan Baru Menuju Kekuatan Ekonomi Dunia
Penulis : Yadi Muhammad Zaki, Mahasiswa Hubungan Internasional
Langkah Indonesia untuk bergabung dengan kelompok BRICS (Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan) merupakan salah satu keputusan paling strategis dalam perjalanan kebijakan luar negeri Indonesia di era kontemporer. Di tengah perubahan besar dalam tatanan ekonomi global yang kini tidak lagi terpusat pada dominasi negara-negara Barat, Indonesia mulai menegaskan keinginannya untuk mengambil posisi yang lebih berpengaruh di kancah internasional. BRICS bukan sekadar forum ekonomi, melainkan simbol munculnya poros kekuatan baru yang menantang hegemoni lama yang selama puluhan tahun dikendalikan oleh lembaga-lembaga keuangan internasional seperti IMF dan Bank Dunia. Dalam konteks ini, keterlibatan Indonesia mencerminkan langkah berani untuk menegaskan kemandirian politik dan memperluas jejaring ekonomi di tengah dinamika multipolar yang kian kompleks.
Secara historis, BRICS dibentuk sebagai bentuk perlawanan terhadap dominasi ekonomi global yang terlalu berpusat pada Barat. Dalam dua dekade terakhir, negara-negara anggota BRICS mengalami pertumbuhan ekonomi yang luar biasa, dengan kontribusi mereka terhadap PDB dunia terus meningkat setiap tahunnya. China dan India kini menjadi dua raksasa ekonomi Asia yang mampu menyaingi kekuatan ekonomi tradisional seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa. Dengan bergabungnya negara-negara seperti Brasil dan Afrika Selatan, BRICS semakin mencerminkan keragaman ekonomi dunia selatan yang menuntut tatanan global yang lebih adil dan seimbang. Dalam konteks tersebut, keinginan Indonesia untuk bergabung bukanlah langkah emosional atau simbolik, melainkan bagian dari strategi besar untuk memperkuat posisi nasional dalam sistem ekonomi dunia yang sedang mengalami transformasi mendalam.
Bagi Indonesia, BRICS menawarkan peluang ekonomi yang sangat besar. Melalui keanggotaan ini, Indonesia bisa mendapatkan akses terhadap New Development Bank (NDB), lembaga keuangan yang didirikan oleh BRICS sebagai alternatif dari IMF dan Bank Dunia. NDB memberikan peluang pendanaan bagi proyek-proyek infrastruktur besar tanpa harus tunduk pada persyaratan ketat seperti yang sering diterapkan lembaga keuangan Barat. Dengan potensi ini, Indonesia dapat mempercepat pembangunan infrastruktur strategis, memperkuat sektor energi baru terbarukan, dan meningkatkan ketahanan ekonomi nasional. Terlebih lagi, kerja sama perdagangan dengan negara-negara BRICS dapat membuka akses pasar baru yang luas bagi ekspor komoditas unggulan seperti nikel, batu bara, minyak sawit, serta produk manufaktur dan teknologi digital yang sedang berkembang di tanah air.
Namun, makna strategis keikutsertaan Indonesia dalam BRICS tidak hanya berhenti pada aspek ekonomi. Dari sisi politik luar negeri, langkah ini menjadi cara bagi Indonesia untuk mempertegas prinsip politik luar negeri bebas aktif yang telah menjadi fondasi diplomasi sejak masa awal kemerdekaan. Prinsip ini menegaskan bahwa Indonesia tidak berpihak pada kekuatan mana pun, tetapi aktif menjalin kerja sama dengan berbagai pihak demi kepentingan nasional dan perdamaian dunia. Dalam konteks global yang semakin multipolar, kebijakan bebas aktif bukan berarti bersikap netral secara pasif, melainkan menunjukkan fleksibilitas diplomatik dalam membangun kemitraan strategis di berbagai bidang. Dengan bergabung di BRICS, Indonesia memperluas ruang geraknya di antara blok-blok kekuatan besar, tanpa harus terjebak dalam dikotomi Barat versus Timur.
Meski demikian, peluang besar ini juga diiringi oleh tantangan yang tidak kecil. Indonesia harus berhati-hati agar langkahnya tidak dipersepsikan sebagai pergeseran orientasi politik luar negeri dari Barat ke Timur. Persepsi semacam ini bisa menimbulkan ketegangan dengan negara-negara Barat yang selama ini menjadi mitra penting, baik dalam bidang ekonomi, investasi, maupun keamanan. Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia telah menjalin hubungan ekonomi yang erat dengan Amerika Serikat, Jepang, Uni Eropa, dan Australia. Hubungan ini terbukti penting dalam mendukung stabilitas ekonomi nasional dan akses pasar global. Jika keanggotaan Indonesia di BRICS dianggap sebagai sinyal pergeseran aliansi, maka bisa timbul ketegangan diplomatik yang berisiko pada hubungan perdagangan dan investasi.
Oleh karena itu, strategi komunikasi dan diplomasi publik menjadi sangat penting. Pemerintah harus mampu menegaskan bahwa keputusan untuk bergabung ke BRICS bukanlah bentuk keberpihakan politik, melainkan langkah pragmatis untuk memperluas kerja sama ekonomi dan memperkuat kemandirian nasional. Indonesia perlu memosisikan diri bukan sebagai “pengikut blok”, tetapi sebagai bridge-builder—jembatan antara berbagai kekuatan dunia yang seringkali saling bersaing. Pendekatan semacam ini sejalan dengan visi Indonesia sebagai negara yang berperan sebagai mediator global dan pendukung multilateralisme. Dalam pertemuan-pertemuan internasional, Indonesia bisa menggunakan posisinya di BRICS untuk memperjuangkan tata ekonomi dunia yang lebih adil, menekankan pentingnya pembangunan berkelanjutan, dan memperkuat kerja sama Selatan-Selatan.
Selain itu, keanggotaan di BRICS dapat membuka peluang baru bagi transformasi ekonomi domestik. Dalam dua dekade terakhir, Indonesia menghadapi tantangan struktural berupa ketergantungan pada ekspor bahan mentah dan rendahnya nilai tambah industri nasional. Dengan keterlibatan di BRICS, Indonesia dapat belajar dari pengalaman negara seperti China dan India yang berhasil membangun basis industri kuat dan sektor teknologi tinggi melalui kemitraan strategis dan investasi jangka panjang. Transfer teknologi di bidang energi, digitalisasi, dan manufaktur berkelanjutan bisa menjadi salah satu agenda penting yang perlu diperjuangkan oleh Indonesia di dalam forum BRICS. Kerja sama dengan NDB juga dapat diarahkan untuk mendukung proyek-proyek hijau seperti pembangunan transportasi rendah emisi, energi terbarukan, dan pengelolaan limbah berkelanjutan.
Namun, di balik potensi besar itu, BRICS bukanlah kelompok yang sepenuhnya homogen. Ada perbedaan mendasar dalam sistem politik, struktur ekonomi, dan orientasi strategis di antara para anggotanya. China, misalnya, memiliki ambisi global yang kuat melalui inisiatif Belt and Road Initiative (BRI), sementara India cenderung berhati-hati dan lebih fokus pada kepentingan nasionalnya sendiri. Rusia memiliki kepentingan geopolitik yang sangat kuat, terutama dalam menghadapi sanksi Barat, sedangkan Brasil dan Afrika Selatan tengah bergulat dengan masalah ekonomi domestik dan politik internal. Dalam situasi seperti ini, Indonesia harus memainkan peran secara selektif dan cerdas. Alih-alih hanya menjadi pengikut kebijakan kolektif, Indonesia perlu memposisikan diri sebagai kekuatan moderat yang berperan menjaga keseimbangan antaranggota, serta menekankan pentingnya kolaborasi yang inklusif dan transparan.
Diplomasi Ekonomi Indonesia di Era Multipolar: Tantangan dan Strategi Ke Depan
Keanggotaan Indonesia di BRICS tidak bisa dipisahkan dari konteks yang lebih luas, yaitu transformasi dunia menuju sistem multipolar. Dunia saat ini tidak lagi dikuasai oleh satu kekuatan dominan seperti era pasca-Perang Dingin. Munculnya kekuatan ekonomi baru di Asia, Afrika, dan Amerika Latin telah mengubah pola hubungan internasional, dari yang semula bersifat hierarkis menjadi lebih seimbang dan saling bergantung. Dalam situasi seperti ini, diplomasi ekonomi menjadi instrumen utama bagi negara-negara berkembang untuk memperkuat posisinya di panggung global. Bagi Indonesia, diplomasi ekonomi di era multipolar bukan hanya tentang memperluas pasar atau menarik investasi, tetapi juga tentang memperjuangkan kepentingan nasional di tengah persaingan global yang semakin rumit.
Tantangan pertama yang dihadapi Indonesia adalah bagaimana menyesuaikan kebijakan ekonomi luar negeri dengan dinamika geopolitik yang cepat berubah. Persaingan antara Amerika Serikat dan China, perang Rusia-Ukraina, serta ketegangan di Timur Tengah dan Laut Cina Selatan menciptakan ketidakpastian yang tinggi dalam sistem global. Indonesia harus mampu menjaga keseimbangan agar tidak terseret ke dalam konflik kepentingan antara kekuatan besar tersebut. Dalam konteks BRICS, Indonesia perlu memastikan bahwa kerja sama ekonomi tidak berimplikasi pada ketergantungan politik. Pemerintah harus fokus membangun hubungan yang bersifat pragmatis dan berbasis manfaat ekonomi nyata, bukan sekadar solidaritas ideologis.
Tantangan kedua adalah memastikan bahwa diplomasi ekonomi BRICS sejalan dengan agenda pembangunan nasional. Setiap kesepakatan internasional harus berdampak pada kesejahteraan masyarakat, peningkatan lapangan kerja, dan penguatan industri nasional. Karena itu, diplomasi ekonomi Indonesia harus lebih terkoordinasi antara Kementerian Luar Negeri, Kementerian Perdagangan, BKPM, dan sektor swasta agar arah kerja sama internasional dapat mendukung prioritas pembangunan nasional. Strategi jangka panjang juga perlu mencakup peningkatan kapasitas SDM di bidang negosiasi internasional, ekonomi digital, serta kebijakan perdagangan global, agar Indonesia mampu berperan aktif dan tidak hanya menjadi penonton dalam dinamika BRICS.
Selain itu, strategi diplomasi ekonomi Indonesia harus menempatkan keberlanjutan (sustainability) sebagai inti kebijakan. Dunia kini bergerak menuju ekonomi hijau, dan BRICS bisa menjadi platform penting untuk memperkuat komitmen transisi energi bersih. Indonesia memiliki potensi besar di bidang energi terbarukan seperti panas bumi, surya, dan hidro, serta cadangan mineral strategis seperti nikel dan bauksit yang dibutuhkan dalam industri baterai listrik. Melalui kerja sama teknologi dan investasi ramah lingkungan di BRICS, Indonesia bisa mempercepat transformasi menuju ekonomi hijau sekaligus meningkatkan posisi tawar di pasar global.
Yang tak kalah penting, Indonesia juga perlu memperkuat soft power diplomacy—daya tarik budaya, sosial, dan politik—dalam konteks BRICS. Sebagai negara demokrasi terbesar di Asia Tenggara dengan populasi muda dan dinamis, Indonesia memiliki modal sosial yang kuat untuk memengaruhi arah kebijakan BRICS ke arah yang lebih inklusif. Dengan mengedepankan nilai-nilai moderasi, toleransi, dan kerja sama lintas budaya, Indonesia dapat berperan sebagai penyeimbang antara kepentingan besar di dalam BRICS yang kadang saling bertentangan. Strategi ini penting agar BRICS tidak menjadi alat hegemoni baru, melainkan wadah kolaboratif yang mencerminkan semangat solidaritas global.
Kesimpulan: Menjaga Keseimbangan, Memperkuat Kemandirian
Secara keseluruhan, langkah Indonesia untuk bergabung dengan BRICS mencerminkan perubahan paradigma dalam diplomasi ekonomi dan politik luar negeri. Dunia tidak lagi bersifat unipolar yang didominasi satu kekuatan, melainkan bergerak menuju sistem multipolar yang membuka peluang bagi negara-negara berkembang untuk berperan lebih besar. Dalam konteks ini, BRICS bukan hanya wadah kerja sama ekonomi, tetapi juga simbol resistensi terhadap ketimpangan global dan seruan untuk reformasi tatanan dunia yang lebih adil. Indonesia, dengan sejarah panjang perjuangan diplomatik dan posisi strategis di kawasan Indo-Pasifik, berada pada posisi ideal untuk memainkan peran tersebut.
Namun, semua potensi ini hanya bisa diwujudkan jika pemerintah mampu mengelola langkah strategis ini dengan perencanaan yang matang dan visi jangka panjang. Indonesia perlu memastikan bahwa partisipasinya di BRICS bukan sekadar simbol politik, melainkan bagian dari strategi ekonomi nasional yang jelas dan terukur. Pemerintah harus memperkuat kapasitas diplomatik, meningkatkan koordinasi antarinstansi, dan mendorong partisipasi sektor swasta agar manfaat dari kerja sama BRICS benar-benar terasa bagi masyarakat. Selain itu, transparansi dan komunikasi publik juga penting agar masyarakat memahami bahwa keputusan ini bukan bentuk keberpihakan geopolitik, melainkan langkah realistis untuk memperkuat daya saing nasional di era global yang penuh ketidakpastian.
Pada akhirnya, keanggotaan Indonesia di BRICS adalah sebuah ujian diplomatik sekaligus peluang strategis. Jika dikelola dengan cermat, langkah ini bisa mengantarkan Indonesia menuju posisi baru sebagai kekuatan ekonomi dunia yang mandiri, berpengaruh, dan berdaulat. Namun jika tidak, Indonesia berisiko terseret dalam arus persaingan geopolitik antarnegara adidaya yang justru bisa membatasi ruang gerak nasional. Oleh karena itu, keberhasilan Indonesia di BRICS akan sangat bergantung pada kemampuan pemerintah menjaga keseimbangan antara kepentingan ekonomi, diplomasi, dan keamanan nasional. Dengan strategi yang tepat, BRICS bisa menjadi pintu bagi Indonesia untuk memperkuat fondasi ekonominya sekaligus mempertegas perannya sebagai aktor penting dalam membentuk masa depan tatanan dunia yang lebih inklusif dan berkeadilan.
