BRICS: Antara Ancaman dan Peluang bagi Ekonomi Politik Indonesia
BRICS: Antara Ancaman dan Peluang bagi Ekonomi Politik Indonesia

Penulis : Andini Putri Riyani (Mahasiswa Hubungan Internasional)

Keputusan Indonesia untuk menjajaki langkah bergabung dengan BRICS telah menjadi perbincangan hangat di ruang publik, terutama di kalangan akademisi dan pengamat hubungan internasional. Langkah ini muncul di tengah dinamika global yang kian multipolar, di mana kekuatan ekonomi dunia tidak lagi didominasi oleh Amerika Serikat dan Eropa, tetapi mulai bergeser ke arah negara-negara berkembang seperti Tiongkok, India, dan Brasil. Dalam situasi seperti ini, kehadiran Indonesia di BRICS menimbulkan dua pandangan yang saling berlawanan. Sebagian pihak melihat BRICS sebagai peluang besar untuk memperkuat posisi ekonomi Indonesia dan mengurangi ketergantungan terhadap Barat. Namun, sebagian lainnya menilai keanggotaan tersebut justru bisa membuka pintu baru bagi ketergantungan ekonomi, bahkan mengancam kedaulatan nasional dalam jangka panjang. Menurut saya, kedua pandangan ini sama-sama memiliki dasar yang kuat. BRICS memang berpotensi menjadi ancaman, tetapi pada saat yang sama juga menghadirkan peluang yang tidak bisa diabaikan jika dikelola dengan kebijakan yang hati-hati dan strategis.

Untuk memahami posisi Indonesia, kita perlu melihat BRICS dalam konteks ekonomi politik internasional. Seperti yang dijelaskan oleh Robert Gilpin, ekonomi global tidak pernah bebas nilai. Ia selalu menjadi arena perebutan kepentingan antara negara dan kekuatan besar di baliknya. Dalam sistem internasional, ekonomi bukan sekadar soal perdagangan atau angka pertumbuhan, tetapi juga soal kekuasaan: siapa yang mengatur arus modal, siapa yang menentukan arah investasi, dan siapa yang menetapkan aturan main. Sementara itu, Keohane dan Nye menambahkan bahwa hubungan antarnegara di era modern ditandai oleh complex interdependence (saling ketergantungan) yang bisa menciptakan kerja sama, tetapi juga kerentanan. Dua teori ini membantu kita membaca posisi Indonesia di tengah perebutan pengaruh antara blok ekonomi Barat dan kelompok ekonomi baru seperti BRICS.

Secara sederhana, BRICS adalah akronim dari Brazil, Russia, India, China, dan South Africa. Kelompok ini muncul pada 2009 sebagai reaksi terhadap dominasi institusi finansial Barat seperti IMF dan Bank Dunia, yang selama puluhan tahun dianggap terlalu menekan negara-negara berkembang dengan kebijakan pinjaman yang bersyarat politik. Seiring waktu, BRICS berevolusi menjadi forum ekonomi-politik yang memperjuangkan tata ekonomi global yang lebih adil. Data dari The Economist Intelligence Unit (2024) menunjukkan bahwa kontribusi gabungan PDB lima negara BRICS kini mencapai lebih dari 31,5 persen dari total ekonomi dunia, sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan G7 yang berada di angka 30,7 persen. Angka ini tidak hanya simbolik, tetapi juga menggambarkan perubahan distribusi kekuatan ekonomi global. Indonesia, sebagai salah satu ekonomi terbesar di Asia Tenggara, melihat peluang untuk menjadi bagian dari perubahan ini.

Bagi Indonesia, alasan bergabung dengan BRICS cukup logis. Pertama, kelompok ini membuka akses terhadap pembiayaan alternatif melalui lembaga New Development Bank (NDB), yang diklaim lebih fleksibel dibandingkan IMF atau Bank Dunia. Kedua, BRICS memberikan pasar yang besar bagi ekspor Indonesia. Berdasarkan data Kementerian Perdagangan, total ekspor Indonesia ke negara-negara BRICS mencapai sekitar 93,16 miliar dolar AS pada 2022, sementara impor mencapai 85,44 miliar dolar AS. Angka ini menunjukkan bahwa Indonesia sudah memiliki hubungan ekonomi yang signifikan dengan negara-negara anggota BRICS bahkan sebelum bergabung secara formal. Ketiga, BRICS menawarkan peluang kerja sama teknologi, digitalisasi, dan energi terbarukan yang penting untuk menopang transformasi ekonomi nasional. Di sisi lain, dengan menjadi bagian dari BRICS, Indonesia juga bisa memperkuat posisi tawarnya di forum-forum global seperti G20 dan PBB, terutama dalam memperjuangkan kepentingan negara berkembang.

Namun, peluang besar itu datang bersama risiko yang tidak bisa disepelekan. Dominasi Tiongkok dalam BRICS menjadi faktor utama yang menimbulkan kekhawatiran. Dari total modal awal NDB senilai 50 miliar dolar AS, Tiongkok menguasai sekitar 38 persen sahamnya. Dominasi ini memberi pengaruh besar terhadap arah kebijakan dan prioritas pembiayaan NDB. Jika Indonesia mengandalkan pembiayaan proyek strategis dari lembaga ini tanpa memperhitungkan risiko politik dan ekonomi, maka Indonesia bisa menghadapi bentuk baru ketergantungan — bukan lagi pada Barat, tetapi pada Timur. Ini yang disebut Gilpin sebagai asymmetric interdependence, ketika kerja sama ekonomi justru memperkuat posisi pihak yang lebih kuat dan membuat pihak yang lemah kehilangan ruang kebijakan.

Risiko lain muncul dari pola investasi dan perdagangan yang tidak seimbang. Tiongkok, misalnya, telah menjadi mitra dagang terbesar Indonesia dengan nilai perdagangan mencapai 127,2 miliar dolar AS pada 2023. Namun, neraca perdagangan sering kali tidak sepenuhnya menguntungkan Indonesia. Sebagian besar ekspor Indonesia ke Tiongkok masih berupa komoditas mentah seperti batu bara, nikel, dan kelapa sawit, sedangkan impor dari Tiongkok didominasi produk manufaktur bernilai tinggi. Ketergantungan pada ekspor bahan mentah menciptakan kerentanan struktural karena harga komoditas mudah berfluktuasi dan tidak memberikan nilai tambah yang cukup bagi ekonomi domestik. Dalam konteks BRICS, jika Indonesia tidak mampu memperkuat kapasitas industrinya sendiri, maka keanggotaan ini hanya akan memperdalam ketergantungan pada pasar dan teknologi asing.

Selain risiko ekonomi, ada pula risiko diplomatik yang patut diperhitungkan. Dengan bergabung ke BRICS, Indonesia berpotensi dipersepsikan oleh Barat sebagai negara yang berpihak pada blok anti-Barat. Meskipun prinsip politik luar negeri Indonesia adalah bebas aktif, dinamika geopolitik saat ini sangat sensitif. Konflik Rusia-Ukraina, rivalitas AS-Tiongkok, dan ketegangan di Laut Cina Selatan membuat setiap pergeseran aliansi ekonomi mudah dimaknai secara politis. Amerika Serikat dan Uni Eropa masih menjadi mitra utama investasi dan perdagangan Indonesia. Data BKPM menunjukkan bahwa Jepang, Amerika Serikat, dan Uni Eropa secara kolektif menyumbang lebih dari 20 persen dari total investasi asing langsung (FDI) ke Indonesia pada 2023. Jika hubungan dengan mereka terganggu karena persepsi keberpihakan ke BRICS, maka dampaknya bisa signifikan terhadap stabilitas ekonomi nasional. Ini menunjukkan bahwa keamanan ekonomi tidak bisa dipisahkan dari stabilitas politik dan diplomatik.

Namun, di balik risiko itu, BRICS juga membuka jendela peluang baru yang bisa memperkuat posisi Indonesia dalam jangka panjang. Pertama, dari sisi pembiayaan, NDB dapat menjadi alternatif yang strategis untuk mendukung proyek-proyek infrastruktur besar tanpa tekanan kebijakan ekonomi neoliberal yang biasanya melekat pada pinjaman IMF atau Bank Dunia. Jika dikelola dengan transparansi dan prinsip keberlanjutan, pendanaan dari BRICS dapat mempercepat transformasi energi dan digitalisasi nasional. Kedua, kerja sama dengan India dan Brasil dapat memperluas pasar produk Indonesia, sekaligus memperkuat solidaritas Selatan-Selatan yang selama ini menjadi idealisme dalam politik luar negeri Indonesia. Ketiga, kerja sama teknologi dengan Tiongkok dan Rusia bisa dimanfaatkan untuk mempercepat penguasaan teknologi tinggi, terutama di sektor energi terbarukan dan pertahanan siber. Semua peluang ini akan menjadi nyata jika Indonesia mampu menegosiasikan kerja sama yang berbasis kesetaraan, bukan ketergantungan.

Dalam konteks keamanan ekonomi, BRICS juga bisa menjadi wadah bagi Indonesia untuk memperkuat kemandirian ekonomi dan meminimalkan kerentanan terhadap krisis global. Pengalaman pandemi COVID-19 membuktikan betapa rapuhnya ekonomi yang terlalu bergantung pada rantai pasok global yang dikuasai oleh segelintir negara. BRICS, dengan pasar internal yang besar dan sumber daya alam yang melimpah, dapat membantu Indonesia mengurangi eksposur terhadap guncangan eksternal semacam itu. Misalnya, melalui inisiatif perdagangan menggunakan mata uang lokal (local currency settlement), Indonesia dan anggota BRICS lain bisa mengurangi ketergantungan terhadap dolar AS, yang selama ini menjadi sumber volatilitas finansial. Namun, kebijakan semacam ini tetap harus dijalankan dengan hati-hati, karena melepas diri dari sistem dolar tanpa kesiapan ekonomi makro yang matang justru bisa menimbulkan ketidakstabilan baru.

Salah satu peluang lain yang jarang dibahas adalah potensi penguatan diplomasi ekonomi Indonesia di forum global. Sebagai negara berpenduduk besar dan ekonomi terbesar di ASEAN, Indonesia dapat memanfaatkan keanggotaannya di BRICS untuk memperjuangkan reformasi sistem ekonomi internasional agar lebih adil bagi negara berkembang. Dalam banyak kasus, isu ketimpangan dalam pembiayaan pembangunan, utang luar negeri, dan akses terhadap teknologi hijau selalu menjadi batu sandungan bagi negara-negara di selatan global. BRICS, dengan kekuatan kolektifnya, dapat menjadi wadah untuk menekan perubahan struktur global yang selama ini berat sebelah. Namun, agar Indonesia tidak hanya menjadi “penumpang” dalam gerbong BRICS, dibutuhkan visi politik luar negeri yang tegas, profesionalisme diplomasi ekonomi, dan konsistensi dalam menjaga kepentingan nasional di tengah tarik-menarik kekuatan besar.

Meskipun peluang itu nyata, ancaman tetap harus dikelola dengan serius. Salah satu ancaman paling berbahaya adalah jebakan utang dan ketimpangan investasi. Sejumlah negara yang bekerja sama dengan Tiongkok dalam proyek Belt and Road Initiative (BRI) mengalami kesulitan membayar utang dan terpaksa memberikan konsesi ekonomi kepada Beijing. Jika pola serupa terulang dalam skema proyek BRICS, maka kedaulatan ekonomi Indonesia akan terancam. Karena itu, setiap bentuk kerja sama harus disertai klausul perlindungan, baik dari sisi hukum, fiskal, maupun lingkungan. Pemerintah perlu memperkuat mekanisme negosiasi proyek strategis dengan mitra BRICS, memastikan ada transfer teknologi, penggunaan tenaga kerja lokal, dan kontrol lingkungan yang ketat. Tanpa itu, BRICS bisa berubah menjadi wajah baru dari ketergantungan lama, hanya berganti bendera dari Barat ke Timur.

Selain aspek ekonomi dan diplomasi, ancaman juga bisa datang dari sisi sosial dan lingkungan. Ketergantungan pada ekspor komoditas mentah untuk memenuhi permintaan pasar BRICS bisa memperparah kerusakan lingkungan dan memperlebar kesenjangan sosial. Di daerah penghasil tambang, misalnya, proyek besar sering kali tidak membawa kesejahteraan bagi masyarakat lokal, justru menimbulkan konflik sosial dan kerusakan ekosistem. Oleh karena itu, kerja sama dengan BRICS harus disertai agenda pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan. Keamanan ekonomi tidak bisa dipisahkan dari keamanan sosial dan lingkungan. Negara yang kuat secara ekonomi tetapi rapuh secara sosial tetap rentan terhadap ketidakstabilan.

Dalam pandangan saya, langkah terbaik bagi Indonesia adalah menempatkan BRICS sebagai instrumen, bukan tujuan. Indonesia tidak boleh menjadikan BRICS sebagai simbol ideologis atau alat politik, tetapi sebagai sarana untuk mencapai kemandirian ekonomi yang berkelanjutan. Untuk itu, ada beberapa hal yang perlu ditekankan. Pertama, Indonesia harus menjaga prinsip bebas aktif sebagai panduan utama politik luar negerinya. Artinya, kerja sama dengan BRICS tidak boleh mengorbankan hubungan baik dengan mitra tradisional seperti Amerika Serikat, Jepang, dan Uni Eropa. Kedua, pemerintah perlu memperkuat tata kelola ekonomi nasional agar lebih adaptif dan transparan, sehingga setiap bentuk kerja sama internasional benar-benar memberikan manfaat nyata bagi rakyat. Ketiga, diplomasi ekonomi harus diarahkan untuk memperjuangkan transfer teknologi, bukan hanya investasi modal. Negara yang hanya menjadi pasar bagi modal asing tanpa menguasai teknologinya tidak akan pernah benar-benar mandiri. Dan keempat, pembangunan ekonomi nasional harus selalu memperhatikan dimensi keberlanjutan, agar kemajuan ekonomi tidak mengorbankan generasi mendatang.

Jika langkah-langkah itu dijalankan dengan konsisten, maka BRICS bisa menjadi peluang emas bagi Indonesia untuk memperkuat posisinya di dunia. Indonesia memiliki modal besar yakni populasi yang besar, pasar domestik yang luas, sumber daya alam yang melimpah, dan posisi strategis di antara dua samudra. Dengan memanfaatkan BRICS secara cerdas, Indonesia bisa memperkuat daya saingnya di tingkat global dan menjadi jembatan antara dunia selatan dan utara. Namun, jika kesempatan ini disikapi tanpa perencanaan matang, tanpa transparansi, dan tanpa kehati-hatian, BRICS bisa berubah menjadi ancaman serius terhadap kedaulatan ekonomi dan politik Indonesia. Pilihan akhirnya ada pada pemerintah: apakah akan menjadikan BRICS sebagai pijakan menuju kemandirian, atau justru jalan baru menuju ketergantungan?

Pada akhirnya, keanggotaan Indonesia di BRICS harus dimaknai bukan sebagai akhir, tetapi sebagai proses pembelajaran dan penguatan diri. Pola kekuasaan global sedang bergeser, dan Indonesia tidak boleh hanya menjadi penonton. Dalam pusaran perubahan itu, BRICS memberikan panggung baru, tetapi juga ujian baru. Ancaman dan peluang datang bersamaan, kedaulatan ekonomi tidak akan ditentukan oleh siapa mitra kita, tetapi oleh seberapa siap kita mengelola hubungan itu. Bagi saya, BRICS adalah cermin, ia bisa memperlihatkan kekuatan kita, tetapi juga kelemahan kita sendiri. Jika Indonesia mampu memanfaatkan peluangnya sambil mengantisipasi ancamannya, maka BRICS bukanlah ancaman, melainkan jembatan menuju kemandirian ekonomi nasional di era dunia multipolar.