BRICS: Ancaman atau Peluang bagi Keamanan Indonesia?
Penulis : Nadia Alya Nashwa (Mahasiswa Hubungan Internasional)
Saat kekuatan global bergeser dari sistem unipolar menuju multipolar, disitulah ruang gerak bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia semakin terbatas. Tatanan pasca-hegemoni Barat memang membuka peluang bagi negara berkembang untuk menegosiasikan kembali posisinya, tetapi juga melahirkan dinamika baru yang penuh ketegangan dan ketidakpastian.
Dalam pusaran itulah BRICS muncul sebagai simbol perlawanan terhadap ketimpangan global dan dominasi ekonomi-politik Barat. Bagi negara-negara berkembang, ia tampak sebagai jendela menuju keadilan global. Pertanyaannya, bagi Indonesia yang menganut politik luar negeri bebas aktif, apakah bergabung dengan BRICS akan memperkuat posisi strategisnya, atau justru menimbulkan dilema keamanan baru?
Secara ekonomi politik, BRICS menghadirkan alternatif kelembagaan di luar dominasi sistem keuangan Barat seperti IMF dan Bank Dunia. Melalui New Development Bank (NDB), blok ini berupaya membangun tatanan finansial yang lebih inklusif bagi negara berkembang. Namun, perannya tidak berhenti pada aspek ekonomi; BRICS juga berambisi membentuk sistem global baru yang menantang dominasi Barat di bidang keuangan, teknologi, dan geopolitik.
Peluang Indonesia dalam BRICS
Bergabungnya Indonesia ke BRICS seharusnya tidak dipandang sebagai ancaman terhadap keamanan nasional, melainkan sebagai langkah strategis untuk menegaskan reposisi peran Indonesia di tengah dinamika global yang semakin multipolar. Dalam perspektif realisme defensif, keamanan suatu negara tidak hanya diukur melalui kapasitas militer, tetapi juga oleh kemampuan negara untuk menyesuaikan diri terhadap perubahan struktur internasional tanpa kehilangan otonomi.
Keanggotaan dalam BRICS dapat berfungsi sebagai instrumen bagi Indonesia untuk memperkuat daya tawarnya dalam sistem global. Melalui forum ini, Indonesia bisa berperan dalam membentuk tatanan ekonomi dan keuangan internasional yang lebih adil, terutama bagi negara berkembang yang selama ini terpinggirkan oleh dominasi lembaga keuangan Barat seperti IMF dan Bank Dunia.
Bergabungnya Indonesia ke BRICS bukan berarti tidak sejalan dengan prinsip non-bloknya, melainkan sebagai upaya untuk memperluas opsi strategis dalam menghadapi kompleksitas tatanan global yang kini ditandai oleh mulai hilangnya satu kekuatan hegemonik. Hal ini pun sejalan dengan prinsip bebas-aktif yang dianut Indonesia, dengan bergabung dengan BRICS Indonesia dapat menegaskan kebebasannya dalam menentukan arah kebijakan tanpa tunduk pada satu blok kekuatan tertentu.
Kekhawatiran bahwa keterlibatan Indonesia dalam BRICS akan mengancam keamanan nasional sering kali berakar pada persepsi bahwa blok tersebut merupakan entitas “anti-Barat”. Bagi Indonesia, partisipasi dalam BRICS tidak dapat dimaknai sebagai bentuk keberpihakan terhadap Rusia atau Tiongkok, tetapi lebih sebagai upaya untuk berkontribusi dalam pembentukan sistem internasional yang lebih seimbang dan multipolar.
BRICS bukan merupakan aliansi militer, melainkan forum kerja sama yang berfokus pada reformasi tata ekonomi global serta penguatan pembangunan yang lebih inklusif di antara negara-negara berkembang. Keterlibatan dalam BRICS membuka peluang kerja sama yang signifikan di sektor ketahanan pangan, energi, serta teknologi digital yang dapat menjaga stabilitas dan keamanan nasional jangka panjang. Dengan demikian, partisipasi aktif Indonesia dalam forum ini bukanlah ancaman terhadap keamanan, melainkan sarana untuk memperkuat kapasitas domestik dan daya tahan strategis negara di tengah dinamika global yang terus berubah.
Kekhawatiran bagi Keamanan Nasional Indonesia
Namun, memang tidak bisa dihindari jika kemungkinan di balik idealisme solidaritas “Selatan Global”, tersimpan kepentingan besar dari dua aktor utama: Rusia dengan aspirasi pengaruh politiknya dan Tiongkok dengan ekspansi ekonomi-teknologinya. Dalam konteks tersebut, Indonesia sebagai kekuatan menengah perlu berhati-hati dalam menavigasi kepentingan dua poros besar ini. Sejalan dengan pandangan Hobbesian, sistem internasional tetap bersifat anarkis, di mana kepercayaan terbatas dan kekuatan menjadi jaminan utama keamanan.
Bergabung dengan BRICS dapat mengubah lanskap hubungan eksternal Indonesia. Jika Indonesia bergabung, konsekuensinya bisa mencakup perubahan persepsi keamanan dari Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya. Hubungan Indonesia dengan Barat, khususnya Amerika Serikat dan Uni Eropa bisa saja mengalami ketegangan diplomatik jika BRICS dianggap sebagai aliansi tandingan terhadap tatanan global berbasis Barat. Potensi munculnya security dilemma di kawasan Indo-Pasifik bisa meningkat, terutama ketika rivalitas AS–Tiongkok semakin tajam.
Namun, terjebak dalam ketakutan semata hanya membuat Indonesia akan kehilangan sebuah kesempatan baik yang sedang terbuka. Dalam tatanan dunia yang semakin multipolar, negara seperti Indonesia justru memiliki kesempatan untuk memperluas ruang otonomi strategisnya. Keanggotaan dalam BRICS dapat berfungsi sebagai sarana bagi Indonesia untuk memperkuat perannya sebagai norm entrepreneur di antara negara-negara berkembang, sekaligus mendorong terwujudnya reformasi tata kelola global yang lebih adil dan inklusif.
Menjaga Kebebasan di Dunia yang Terbelah
Pada akhirnya, pertanyaan mendasarnya bukanlah “harus atau tidak bergabung dengan BRICS,” melainkan “bagaimana Indonesia mempertahankan kebebasan strategisnya di tengah dunia yang terbelah”. Hakikat kedaulatan suatu negara tidak semata ditentukan oleh besarnya kekuatan militer atau banyaknya aliansi yang dimiliki, tetapi oleh kemampuannya untuk secara mandiri menentukan arah kebijakan nasional tanpa intervensi eksternal.
BRICS dapat menjadi ruang baru bagi Indonesia untuk memperkuat implementasi prinsip politik luar negeri bebas aktif, asalkan nilai “bebas” dan “aktif” tersebut tidak bergeser menjadi ketergantungan atau sikap reaktif terhadap dinamika global. Dalam era perubahan internasional yang berlangsung cepat, tantangan utama bagi Indonesia bukan hanya untuk menyesuaikan diri terhadap perubahan, tetapi juga untuk berperan aktif dalam membentuk arah perubahan tersebut.