Brave Pink Menantang Cara Kita Memahami Keamanan di Indonesia
Brave Pink Menantang Cara Kita Memahami Keamanan di Indonesia

Penulis: Atharila Priaga Arivat

(Mahasiswa Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jakarta, Program Studi Ilmu Hubungan Internasional)

Sebuah riak warna pink dan hijau sempat memenuhi linimasa. Orang-orang menyebutnya Brave Pink dan Hero Green. Dalam waktu singkat, warna itu berpindah dari jalanan ke layar ponsel, menjadi foto profil, tagar, dan semacam bahasa visual baru bagi generasi yang sedang gelisah. Semuanya berawal dari satu foto, seorang ibu berkerudung pink berdiri di depan barikade aparat. Ada keberanian yang sunyi dalam sikapnya. Lalu datang kabar duka, seorang pengemudi ojek online tewas di tengah kekerasan. Dari sanalah gelombang ini tumbuh, dari rasa marah dan iba yang bercampur jadi satu.

Setiap kali ada gerakan yang lahir tanpa inisiatif negara, pertanyaan yang sama hampir selalu muncul: apakah ini mengancam keamanan nasional? Pertanyaan itu terdengar sah, tapi bagi saya selalu terasa janggal. Karena di baliknya tersimpan cara pandang lama yang menyamakan keamanan dengan stabilitas, dan stabilitas dengan ketertiban. Dalam logika seperti ini, suara yang berbeda dianggap gangguan, kritik dipandang ancaman, dan keberanian warga untuk tampil di ruang publik sering kali membuat negara gelisah.

Saya tidak melihat Brave Pink sebagai ancaman terhadap keamanan nasional. Saya melihatnya sebagai tanda peringatan. Ia seperti alarm asap di rumah yang sedang terbakar, bukan sumber bahaya, tetapi sinyal bahwa ada sesuatu yang salah. Rasa aman masyarakat tidak sedang terganggu oleh warna di linimasa, melainkan oleh sesuatu yang lebih dalam, seperti ketimpangan, ketidakadilan, dan tumpulnya ruang untuk menyalurkan aspirasi.

Memadamkan Brave Pink sama artinya dengan mematikan alarm ketika api sedang menjalar. Mungkin terasa tenang sejenak, tapi bahayanya tetap menyala di bawah permukaan. Bagi saya, fenomena ini justru mengingatkan kita untuk meninjau ulang arti keamanan itu sendiri. Bahwa keamanan sejati tidak dibangun dari rasa takut, tetapi dari rasa percaya dan keadilan yang hidup di antara rakyatnya.

Mendekonstruksi Mitos "Ancaman"

Untuk menilai apakah "Brave Pink" sebuah ancaman, kita harus sepakat dulu, "keamanan" siapa yang kita bicarakan?

Selama puluhan tahun, Indonesia terbiasa dengan konsep Keamanan Nasional Tradisional (Traditional National Security). Fokusnya adalah negara (state-centric). Ancaman utamanya adalah militer, invasi asing, separatisme, dan pemberontakan bersenjata. Tujuannya adalah kedaulatan teritorial dan kelangsungan rezim. Dalam paradigma ini, rakyat adalah objek yang harus "diamankan", seringkali dari ide-ide yang dianggap "berbahaya"

Namun, dunia telah berubah. Ilmu Hubungan Internasional, bidang yang saya sedang pelajari dan saya tekuni, telah lama memperkenalkan konsep Keamanan Manusia (Human Security). Fokusnya bergeser dari negara ke manusia (people-centric). Ancaman dalam konsep ini bersifat non-tradisional, seperti kemiskinan ekstrem, kelaparan, ketidakadilan struktural, kekerasan aparat (brutalitas negara), perusakan lingkungan, dan epidemi.

Rakyat tidak lagi menjadi objek, melainkan subjek yang harus merasa aman. Aman untuk hidup, aman untuk bersuara, aman dari rasa takut, dan aman dari kemiskinan.

Jika kita menggunakan lensa Keamanan Tradisional, "Brave Pink" jelas bukan ancaman. Ia tidak memiliki tentara, tidak mengusung senjata, dan tidak menyerukan pemberontakan bersenjata. Ia "hanya" sekelompok warga negara yang mengubah foto profil mereka.

Namun, jika kita menggunakan lensa Keamanan Manusia, "Brave Pink" justru hadir karena adanya ancaman nyata terhadap keamanan itu. Simbol "Hero Green" (hijau) yang merujuk pada tewasnya pengemudi ojek online, adalah simbol dari ancaman paling mengerikan terhadap keamanan manusia, hilangnya nyawa warga sipil di tangan aparat yang seharusnya melindunginya.

"Brave Pink" bukanlah ancaman, ia adalah respons terhadap ancaman. Ia adalah gejala, bukan penyakit. Negara yang bijak tidak akan mengobati gejala dengan represi. Negara yang bijak akan mendiagnosis penyakitnya, yakni substansi dari apa yang dituntut oleh gerakan ini, "17+8 Tuntutan Rakyat". Tuntutan itu berisi isu-isu konkret seperti reformasi kepolisian, upah layak, dan penguatan anti-korupsi, semua adalah pilar dari Keamanan Manusia.

Seni Perlawanan di Era Digital

Mengapa "Pink" dan "Hijau"? Di sinilah letak kecerdasan kolektif gerakan ini.

"Brave Pink" adalah tindakan apropriasi semiotik yang brilian. Warna pink, secara historis dikonstruksi secara sosial sebagai warna yang "feminin", "lemah lembut", atau "tidak serius". Dengan mengambil warna ini sebagai simbol keberanian (Brave), gerakan ini secara efektif membalikkan stigma. Ia mengatakan bahwa keberanian tidak memiliki gender, bahwa kelembutan bisa menjadi sumber kekuatan yang radikal. Ia menantang maskulinitas toxic yang sering mendominasi ruang politik dan aparat keamanan.

Sementara "Hero Green" adalah simbol solidaritas kelas yang kuat. Hijau adalah warna jaket "kaum presariat" urban, para pekerja gig yang menjadi tulang punggung ekonomi digital namun seringkali berada di posisi paling rentan. Menjadikan mereka "Pahlawan" (Hero) adalah pernyataan politik bahwa nilai seorang manusia tidak ditentukan oleh jabatannya, melainkan oleh kemanusiaannya. Kekuatan gerakan ini terletak pada sifatnya yang decentralized (terdesentralisasi) dan digital-native. Tidak ada satu ketua umum. Tidak ada satu markas besar yang bisa disegel. Ini adalah "gerakan tanpa bentuk" yang mengalir di ruang digital. Inilah yang sering membuat rezim otoriter di mana pun kebingungan. Mereka terbiasa menghadapi musuh yang terorganisir, partai politik, ormas, atau serikat buruh. Mereka tidak terbiasa menghadapi "gagasan" atau "simbol" yang menyebar seperti virus.

Namun, di sinilah letak kenetralan kita dalam memandang. Sifat digital ini adalah kekuatan sekaligus kelemahan terbesarnya.

Warna Bisa Viral, Tapi Apa yang Kita Perjuangkan?

Kita harus jujur dan kritis, tidak hanya kepada negara, tetapi juga kepada gerakan itu sendiri. Apakah mengubah foto profil cukup?

Di sinilah kita masuk ke ranah "Slacktivism" (aktivisme malas) atau "Performativity" (aktivisme yang sekadar performa). Sangat mudah untuk merasa telah berjuang hanya dengan satu klik "ganti foto profil". Ada bahaya bahwa gerakan ini terjebak menjadi sekadar estetika perlawanan, perjuangan yang terlihat keren di Instagram, namun kosong substansinya.

Simbol adalah pintu masuk, bukan tujuan akhir. Simbol hanya bertenaga jika ia merepresentasikan sesuatu yang nyata. Dalam hal ini, "sesuatu yang nyata" itu adalah "17+8 Tuntutan Rakyat".

Bahaya kedua adalah "kooptasi" atau "penunggangan". Dalam rekaman yang beredar, Ibu Ana, ikon "Brave Pink", terlihat meneriakkan nama salah satu tokoh politik. Ini adalah bukti betapa rentannya gerakan murni publik untuk dibajak oleh kepentingan elite politik yang sedang bertarung. Para elite ini tidak peduli pada 17+8 tuntutan, mereka hanya peduli bagaimana menunggangi gelombang kemarahan publik untuk agenda politik mereka sendiri. Gerakan ini akan mati jika ia hanya menjadi alat tawar politik baru bagi para oligarki. Ia akan layu jika para partisipannya lebih peduli pada estetikanya ketimbang substansi tuntutannya. Di sinilah peran pemuda, sebagai penjaga akal sehat, menjadi vital.

Melampaui Simbol, Meneguhkan Substansi

Bagi pemuda penerus bangsa, "Brave Pink" adalah kurikulum mendadak tentang kewarganegaraan. Bagaimana kita harus bersikap? Sikap yang membangun karakter bukanlah sikap "ikut-ikutan", juga bukan sikap "anti-segala-sesuatu".

Sikap yang membangun karakter adalah kritis yang berintegritas.

Pertama, keberanian intelektual. Karakter sejati tidak diukur dari seberapa keras kita berteriak, tetapi dari seberapa dalam kita memahami. Sebelum mengganti foto profil, tanyakan, "Apakah saya sudah membaca dan memahami 17+8 Tuntutan Rakyat itu?" Jangan-jangan, kita ikut marah tanpa tahu apa yang kita perjuangkan. Keberanian intelektual berarti berani membaca data, memverifikasi fakta, dan tidak terjebak hoaks, baik yang pro-gerakan maupun yang anti-gerakan.

Kedua, empati yang substantif. "Hero Green" adalah panggilan untuk berempati. Tapi empati bukan sekadar "kasihan". Empati adalah kemampuan untuk memahami mengapa seseorang (seperti pengemudi ojol) berada dalam posisi rentan. Ini mendorong kita untuk belajar tentang sistem upah, tentang jaminan sosial, dan tentang mengapa reformasi kepolisian yang humanis itu penting. Empati yang substantif mengubah "kasihan" menjadi "tuntutan keadilan".

Ketiga, integritas untuk "teguh pada kebenaran". Ini yang tersulit. Teguh pada kebenaran berarti kita harus konsisten. Jika kita menuntut negara untuk tidak korup, kita pun harus berani menolak korupsi dalam skala terkecil, menolak "titip absen" di kampus, menolak "uang damai" saat ditilang, menolak "jalur orang dalam" saat mencari kerja.

Karakter yang tangguh tidak dibangun dalam satu malam. Ia dibangun dari konsistensi antara apa yang kita tuntut di ruang publik dan apa yang kita lakukan di ruang privat. Tanpa integritas ini, perlawanan kita hanya akan menjadi hipokrisi.

Gerakan seperti "Brave Pink" adalah momentum. Namun, pemuda yang berkarakter tidak hidup dari momentum ke momentum. Mereka membangun fondasi. Mereka tidak hanya menjadi konsumen simbol, mereka menjadi produsen solusi. Mereka yang akan mengawal 17+8 tuntutan itu, menerjemahkannya menjadi proposal kebijakan, mengadvokasikannya di ruang-ruang yang sunyi, jauh dari hingar-bingar media sosial.

Alarm untuk Keadilan

"Brave Pink" tidak mengancam keamanan nasional. Ia justru mempertaruhkan dirinya untuk menuntut rasa aman bagi semua. Ia adalah pengingat yang mencolok bahwa ada yang salah dalam tata kelola negara kita. Bagi negara, respons terbaik bukanlah represi atau kontra-narasi yang men-delegitimasi gerakan. Respons terbaik adalah membuka ruang dialog yang jujur. Respons terbaik adalah melihat 17+8 tuntutan itu, membedahnya di meja perundingan, dan menunjukkan itikad baik untuk memperbaikinya. Negara yang kuat bukanlah negara yang anti-kritik; negara yang kuat adalah negara yang mau mendengar dan berbenah.

Bagi pemuda, tugas kita adalah memastikan api substansi tidak padam setelah euforia simbol meredup. Karakter bangsa ini tidak akan dibangun oleh warna pink atau hijau. Ia akan dibangun oleh pemuda yang berani berpikir jernih, berempati secara mendalam, dan berintegritas tanpa kompromi. "Brave Pink" adalah alarm. Tugas kita bersama adalah memadamkan apinya, api ketidakadilan, api impunitas, dan api kesenjangan. Keamanan nasional sejati hanya akan terwujud ketika setiap warga negara, apa pun warna jaket atau jilbabnya, merasa aman, adil, dan didengar di negerinya sendiri.