Brave Pink dan Wajah Baru Keamanan Non-Tradisional Indonesia
Brave Pink dan Wajah Baru Keamanan Non-Tradisional Indonesia

Penulis : Gania Shakilla Atha Mardianto (Mahasiswa Hubungan Internasional FISIP UIN Jakarta)

Beberapa waktu terakhir, istilah Brave Pink ramai diperbincangkan di ruang publik. Simbol ini kerap dikaitkan dengan keberanian perempuan, ekspresi identitas, hingga gerakan kesetaraan gender yang muncul di berbagai lini sosial media. Namun, seperti biasa, setiap fenomena sosial baru di Indonesia tak pernah lepas dari perdebatan. Sebagian pihak menilai Brave Pink mencerminkan perubahan positif dalam cara masyarakat mengekspresikan diri. Sementara sebagian lainnya justru melihatnya sebagai ancaman terhadap nilai-nilai nasional. Pertanyaannya, benarkah Brave Pink mengancam keamanan nasional Indonesia?

Dalam konteks keamanan modern, jawaban atas pertanyaan itu tak bisa hanya dilihat dari kacamata militer atau ancaman fisik semata. Konsep keamanan non-tradisional mengajarkan bahwa keamanan kini juga mencakup aspek sosial, budaya, ekonomi, hingga identitas. Ancaman terhadap negara tidak selalu datang dalam bentuk perang atau senjata, tetapi juga bisa muncul dari ketimpangan sosial, intoleransi, disinformasi, atau bahkan krisis penerimaan terhadap keberagaman.

Fenomena Brave Pink justru hadir di tengah dinamika sosial yang terus berubah. Ia menjadi simbol keberanian bagi sebagian masyarakat untuk tampil apa adanya, menyuarakan identitas, dan menolak stigma. Di sisi lain, kemunculannya juga menantang cara lama kita memaknai keamanan. Indonesia sering memahami keamanan sebagai urusan stabilitas dan ketertiban, padahal dalam masyarakat demokratis, stabilitas tak selalu berarti keseragaman. Keamanan sejati muncul ketika setiap warga merasa aman untuk menjadi dirinya sendiri tanpa rasa takut atau diskriminasi.

Melihat Brave Pink sebagai ancaman hanya akan mempersempit cara pandang kita terhadap konsep keamanan itu sendiri. Dalam teori keamanan manusia (human security), individu menjadi pusat perhatian, bukan hanya negara. Keamanan harus memastikan bahwa manusia terlindungi dari rasa takut (freedom from fear) dan dari kekurangan (freedom from want). Jika simbol seperti Brave Pink menjadi sarana ekspresi bagi kelompok tertentu untuk merasakan aman secara sosial dan psikologis, maka hal itu seharusnya dipandang sebagai bentuk penguatan keamanan non-tradisional, bukan pelemahannya.

Selain itu, di tengah arus globalisasi dan keterbukaan informasi, wajar bila masyarakat Indonesia ikut terpapar tren dan nilai-nilai baru dari luar negeri. Namun, keterbukaan itu tidak otomatis berarti kehilangan jati diri nasional. Justru di sinilah pentingnya peran negara: bukan untuk menekan ekspresi sosial, tetapi mengarahkan agar perbedaan nilai dapat dikelola secara konstruktif. Negara yang adaptif akan memahami bahwa menjaga keamanan di era kini berarti juga menjaga kepercayaan publik terhadap kebebasan berekspresi dan toleransi sosial.

Jika kita menengok sejarah, Indonesia selalu berhasil bertahan karena kemampuannya menyesuaikan diri terhadap perubahan zaman. Mulai dari reformasi politik, transformasi digital, hingga perubahan nilai sosial. Maka, menghadapi Brave Pink seharusnya bukan dengan ketakutan, melainkan dengan dialog dan literasi. Ancaman yang sesungguhnya bukan terletak pada simbol itu sendiri, melainkan pada sikap masyarakat yang menolak memahami konteksnya.

Menolak keberagaman hanya akan menimbulkan ketegangan sosial baru. Sebaliknya, dengan memahami Brave Pink sebagai bentuk ekspresi sosial yang damai, kita justru memperkuat semangat kebebasan dan keamanan yang inklusif. Di era keamanan non-tradisional, menjaga ketertiban tidak cukup dengan pengawasan. Dibutuhkan juga empati sosial dan keberanian untuk menerima perbedaan.

Pada akhirnya, keamanan nasional Indonesia tidak akan runtuh hanya karena warna, simbol, atau ekspresi sosial tertentu. Ia akan runtuh jika masyarakat kehilangan kemampuan untuk hidup berdampingan dalam perbedaan. Maka, Brave Pink bukan ancaman, melainkan pengingat bahwa keberanian sejati dalam menjaga keamanan adalah berani memahami bahwa keamanan sosial dimulai dari rasa aman setiap individu.

Lebih jauh, memahami Brave Pink berarti memahami dinamika sosial masyarakat yang terus berkembang. Warna dan simbol hanyalah representasi dari keresahan dan aspirasi yang ingin disampaikan oleh kelompok tertentu dalam masyarakat. Dalam studi keamanan non-tradisional, isu seperti ini seringkali muncul dari ketimpangan sosial, perasaan tidak diterima, atau kebutuhan untuk diakui. Karena itu, alih-alih menolak, langkah yang lebih tepat adalah membuka ruang percakapan yang sehat agar setiap kelompok dapat menyalurkan pandangannya tanpa rasa takut atau curiga.

Kita juga perlu melihat fenomena ini dalam konteks global. Dunia saat ini bergerak menuju paradigma keamanan yang lebih inklusif dan humanistik. Negara-negara maju telah mulai mengakui bahwa keamanan tidak hanya diukur dari stabilitas politik, tetapi juga dari sejauh mana masyarakatnya merasa aman dalam mengekspresikan diri. Indonesia, sebagai negara dengan keberagaman budaya dan sosial yang sangat kaya, memiliki peluang besar untuk menjadi contoh bagaimana keamanan dan keberagaman dapat berjalan beriringan.

Namun, hal ini tentu tidak akan terwujud tanpa perubahan cara pandang. Selama isu sosial seperti Brave Pink masih dianggap tabu, masyarakat akan terus terjebak dalam ketakutan yang tidak berdasar. Ketakutan itu lambat laun bisa berubah menjadi intoleransi yang membahayakan kohesi sosial. Padahal, justru dengan memberi ruang bagi ekspresi yang berbeda, kita sedang memperkuat kepercayaan sosial—modal penting bagi stabilitas jangka panjang.

Dalam konteks keamanan manusia, rasa aman tidak bisa dipaksakan dari atas ke bawah. Ia tumbuh dari rasa saling menghormati dan kepercayaan di antara sesama warga negara. Brave Pink, dalam hal ini, menjadi simbol sederhana yang memaksa kita untuk bertanya ulang: apakah kita sudah benar-benar memahami arti keamanan sosial? Apakah kita sudah memberi ruang bagi setiap warga untuk merasa aman tanpa harus mengorbankan jati diri mereka?

Selain itu, penting juga bagi institusi negara untuk merespons fenomena seperti Brave Pink dengan pendekatan yang bijak dan proporsional. Tugas negara bukan menilai benar-salah ekspresi sosial, melainkan memastikan agar ekspresi tersebut tidak memicu diskriminasi atau kekerasan. Aparat keamanan, lembaga pendidikan, hingga media massa memiliki tanggung jawab untuk mengedepankan literasi, bukan sensasi. Keamanan yang berkelanjutan hanya bisa dibangun jika seluruh elemen masyarakat memahami perannya masing-masing.

Ke depan, tantangan terbesar Indonesia bukanlah munculnya simbol-simbol sosial baru, melainkan kemampuan masyarakat untuk beradaptasi dengan perbedaan tanpa kehilangan rasa kebersamaan. Ketika ruang publik semakin terbuka, ekspresi sosial akan semakin beragam. Di sinilah ujian sebenarnya bagi bangsa ini—apakah kita siap menjadi masyarakat yang dewasa secara sosial, atau justru mudah terpecah hanya karena perbedaan simbol dan warna.

Brave Pink, pada akhirnya, bukan sekadar warna atau gerakan sosial. Ia adalah cermin dari perjalanan bangsa yang sedang belajar memahami arti keamanan yang lebih luas. Bahwa menjaga negara tidak hanya berarti menjaga perbatasan atau menekan potensi konflik, tetapi juga memastikan setiap warganya merasa aman untuk menjadi dirinya sendiri. Dari situlah keamanan sejati tumbuh: dari keberanian untuk memahami, bukan dari ketakutan untuk menerima.