Benarkah Perubahan Iklim telah sampai pada Titik Berbahaya dalam Konteks Keamanan Internasional?
Benarkah Perubahan Iklim telah sampai pada Titik Berbahaya dalam Konteks Keamanan Internasional?

Penulis : Muhammad Zulfikar Husein (Mahasiswa Hubungan Internasional)

Isu perubahan iklim bukan lagi wacana masa depan, melainkan realitas yang tengah kita hadapi. Laporan ilmiah terbaru menunjukkan bahwa suhu global pada 2024 telah naik 1,5°C dibandingkan era pra-industri, memicu gelombang panas mematikan, kebakaran hutan besar, hingga mencairnya es di Antartika. Perubahan iklim kini bukan hanya tantangan lingkungan, tetapi juga ancaman nyata bagi keamanan manusia (human security) dan tatanan keamanan internasional.

Kondisi ini menunjukkan bahwa manusia kini berada pada fase krisis iklim yang bersifat eksistensial. Artinya, ancaman yang dihadirkan bukan hanya kerugian ekonomi atau sosial, tetapi potensi keruntuhan sistem kehidupan yang menopang peradaban modern. Dalam laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) tahun 2024, disimpulkan bahwa peluang untuk menahan kenaikan suhu di bawah 1,5°C semakin kecil, kecuali terjadi transformasi besar-besaran dalam sistem energi, industri, dan konsumsi. Situasi ini memperkuat argumen bahwa perubahan iklim telah menjadi isu keamanan internasional paling mendesak abad ke-21.

Perubahan Iklim dan Ancaman Human Security

Konsep keamanan manusia menekankan perlindungan individu dari ancaman langsung terhadap hidup dan kesejahteraan mereka. Dalam konteks perubahan iklim, ancaman tersebut bersifat multidimensi dan saling berkelindan antar sektor.

Dari aspek kesehatan, perubahan iklim mempercepat penyebaran penyakit berbasis vektor dan meningkatkan paparan risiko terhadap penyakit kronis. Selain peningkatan kasus penyakit tropis di wilayah non-tropis, kualitas udara yang memburuk akibat polusi dan kebakaran hutan turut memperparah penyakit pernapasan. Di Indonesia, misalnya, indeks kualitas udara di beberapa kota besar kerap masuk kategori “tidak sehat” saat musim kemarau, dan dampaknya dirasakan langsung oleh jutaan orang. Menurut WHO, peningkatan suhu global juga mengubah pola musiman penyakit seperti malaria dan kolera. Artinya, krisis kesehatan global akibat iklim bukan lagi ancaman potensial, melainkan kenyataan yang sedang berlangsung.

Dari sisi ketahanan pangan dan air, ancaman terhadap sistem produksi pangan global menjadi semakin serius. Bukan hanya karena penurunan hasil panen, tetapi juga kerentanan terhadap rantai pasok global. Konflik di satu wilayah penghasil bahan pangan kini dapat berdampak luas secara global. Contohnya, ketika banjir ekstrem melanda Tiongkok, penghasil gandum terbesar dunia—dampaknya langsung terasa di pasar global, memicu inflasi pangan di berbagai negara. Air pun menjadi komoditas strategis baru. Persaingan atas sumber daya air di Asia Selatan (antara India, Pakistan, dan Bangladesh) menjadi isu diplomatik yang sensitif karena perubahan pola aliran sungai akibat pencairan gletser Himalaya.

Dari dimensi sosial-ekonomi, dampak perubahan iklim memperlebar jurang ketimpangan antarnegara dan antar kelompok sosial. Negara kaya cenderung memiliki sistem adaptasi kuat melalui infrastruktur hijau, sementara negara berkembang kesulitan memulihkan diri dari bencana berulang. Misalnya, badai tropis yang melanda Filipina hampir setiap tahun menyebabkan kerugian miliaran dolar, yang menggerus APBN dan menghambat pembangunan jangka panjang. Fenomena ini menunjukkan bagaimana iklim memperburuk kemiskinan dan mengancam stabilitas ekonomi nasional.

Lebih jauh, perubahan iklim juga menimbulkan ancaman non-material seperti kehilangan identitas dan budaya. Komunitas pesisir yang harus direlokasi karena kenaikan air laut tidak hanya kehilangan rumah, tetapi juga kehilangan situs budaya, mata pencaharian, dan warisan leluhur. Dalam konteks ini, keamanan manusia tidak hanya diukur dari aspek fisik, tetapi juga keamanan kultural (cultural security).

Implikasi terhadap Keamanan Internasional

Dalam kacamata hubungan internasional, perubahan iklim berpotensi mengubah lanskap geopolitik dunia. Negara-negara yang sebelumnya kuat secara ekonomi bisa menjadi rentan jika menghadapi bencana ekologis berkepanjangan.

Pertama, perubahan iklim sebagai pemicu konflik sumber daya. Persaingan atas air, tanah subur, dan energi bersih dapat menciptakan ketegangan antarnegara. Di Timur Tengah, krisis air menjadi faktor pendukung instabilitas regional. Sungai Yordan dan Eufrat yang semakin surut meningkatkan potensi perselisihan antara Israel, Palestina, Suriah, dan Irak. Di Afrika, Danau Chad yang mengering hingga 90% dibanding ukuran aslinya turut memperburuk kondisi ekonomi dan keamanan di kawasan tersebut.

Kedua, perubahan iklim mempercepat fenomena migrasi massal. PBB memperkirakan akan ada lebih dari 200 juta climate refugees pada tahun 2050. Migrasi paksa ini berpotensi menciptakan tekanan sosial dan politik di negara tujuan. Eropa, misalnya, menghadapi gelombang migran dari Afrika Utara dan Timur Tengah yang sebagian besar terdorong oleh degradasi lingkungan. Ketika negara-negara penerima tidak siap, sentimen anti-imigran dan politik identitas dapat meningkat, memperburuk ketegangan domestik dan regional.

Ketiga, dampak terhadap stabilitas ekonomi global. Bencana alam besar dapat melumpuhkan rantai pasok industri dan perdagangan internasional. Kerugian ekonomi akibat bencana terkait iklim diperkirakan mencapai lebih dari 500 miliar dolar per tahun. Jika tidak ditangani, hal ini dapat memicu krisis finansial global dan menurunkan daya saing industri negara berkembang.

Dalam konteks pertahanan, adaptasi terhadap iklim menjadi prioritas baru. Banyak negara mulai memasukkan skenario perubahan iklim ke dalam doktrin keamanan nasional. Militer tidak lagi hanya fokus pada perang konvensional, tetapi juga pada humanitarian assistance dan disaster relief. Indonesia misalnya, melalui TNI dan BNPB, kini sering dilibatkan dalam tanggap darurat bencana alam, yang merupakan bentuk nyata non-traditional security response.

Namun, transformasi keamanan ini tidak tanpa tantangan. Masih terdapat kesenjangan pemahaman antara negara maju dan berkembang dalam mendefinisikan ancaman iklim. Beberapa negara Barat menekankan mitigasi, sementara negara berkembang lebih menuntut keadilan dan pendanaan untuk adaptasi. Perbedaan perspektif ini sering menjadi batu sandungan dalam negosiasi iklim global seperti COP (Conference of Parties).

Menuju Tindakan Kolektif dan Reformasi Tata Kelola Iklim Global

Bahaya perubahan iklim terhadap keamanan manusia dan internasional bersifat lintas batas dan memerlukan pendekatan kolektif. Namun, komitmen global yang ada masih sering terjebak dalam retorika politik tanpa implementasi nyata. Paris Agreement menjadi tonggak penting, tetapi sebagian besar negara belum mencapai Nationally Determined Contributions (NDCs) mereka.

Diperlukan reformasi dalam tata kelola iklim global agar prinsip common but differentiated responsibilities (CBDR) dapat dijalankan secara adil. Negara maju harus memikul tanggung jawab lebih besar, tidak hanya dalam mengurangi emisi, tetapi juga dalam mendukung transfer teknologi dan pendanaan untuk negara berkembang. Tanpa mekanisme keadilan iklim, kesenjangan global akan semakin tajam.

Selain itu, konsep diplomasi iklim harus diperkuat. Negara-negara perlu menjadikan isu iklim sebagai prioritas utama dalam kebijakan luar negeri. Misalnya, Uni Eropa telah mengintegrasikan kebijakan European Green Deal sebagai instrumen diplomasi ekonomi dan lingkungan. Indonesia pun dapat mengembangkan green diplomacy dengan memanfaatkan potensi energi terbarukan dan posisi strategisnya di ASEAN. Kolaborasi kawasan dalam mitigasi bencana dan teknologi hijau dapat memperkuat stabilitas regional sekaligus menciptakan peluang ekonomi baru.

Pendekatan keamanan internasional juga harus berubah. Dunia perlu berpindah dari paradigma “keamanan negara” menuju paradigma keamanan planet (planetary security), yang memandang bumi sebagai entitas yang harus dilindungi secara kolektif. Konsep ini menuntut kerja sama lintas disiplin antara aktor militer, ilmuwan, pengusaha, dan masyarakat sipil.

Selain kerja sama antarnegara, peran masyarakat global juga penting. Gerakan sosial dan jaringan advokasi transnasional seperti Fridays for Future, Extinction Rebellion, dan Climate Action Network memainkan peran signifikan dalam menekan pemerintah agar bertindak lebih serius. Aktivisme iklim kini menjadi bagian dari diplomasi publik global, di mana suara masyarakat muda berperan sebagai agen perubahan dan pengawas kebijakan iklim.

Sebagai mahasiswa Hubungan Internasional, saya memandang isu perubahan iklim sebagai ujian nyata terhadap solidaritas global. Ancaman terhadap kesehatan, pangan, dan mata pencaharian manusia berkelindan dengan risiko konflik dan instabilitas global. Oleh karena itu, perubahan iklim memang layak disebut sebagai “the ultimate threat multiplier.”

Jika dunia gagal mengatasi krisis iklim, maka eskalasi bencana kemanusiaan, migrasi massal, dan konflik antarnegara hanya tinggal menunggu waktu. Climate security harus menjadi pilar utama dalam kebijakan luar negeri dan diplomasi global. Keamanan manusia tidak akan tercapai tanpa keberlanjutan ekosistem, dan keberlanjutan tidak akan tercapai tanpa keadilan iklim.

Karenanya, langkah ke depan harus melibatkan integrasi isu iklim ke dalam seluruh kebijakan global—mulai dari ekonomi, perdagangan, energi, hingga pendidikan. Hanya dengan kesadaran kolektif, komitmen politik yang konsisten, dan aksi nyata lintas batas, keamanan global yang berkelanjutan dapat diwujudkan.