Bayang-Bayang Soros: Bahaya Nyata atau Hanya Narasi?
Bayang-Bayang Soros: Bahaya Nyata atau Hanya Narasi?

Oleh: Athaya Raihan (Mahasiswa Hubungan Internasional)

Ketika Nama Menjadi Simbol Ketakutan Global

Ada nama yang seolah tak pernah absen dalam perbincangan geopolitik global: George Soros. Bagi sebagian orang, ia adalah filantropis visioner yang memperjuangkan keterbukaan dan demokrasi. Namun bagi sebagian lainnya, Soros adalah dalang globalisasi ekstrem—sosok yang menggerakkan agenda tersembunyi di balik layar politik dunia.

Nama Soros kini menjelma menjadi simbol ketakutan sekaligus kekaguman. Ia bukan presiden, bukan panglima, tapi pengaruhnya menembus batas negara, menyusup melalui ide, modal, dan jaringan lembaga sipil.

Pertanyaannya: apakah Soros benar-benar ancaman bagi keamanan nasional dan internasional, atau justru representasi dari dunia yang makin tidak nyaman dengan kekuatan non-negara?

  1. Idealisme Keterbukaan dan Ketegangan dengan Kedaulatan

George Soros lahir dari pengalaman pahit hidup di bawah rezim totalitarian. Dari situlah lahir gagasan Open Society—masyarakat terbuka yang menolak otoritarianisme. Melalui jaringan Open Society Foundations (OSF), ia menyalurkan dana miliaran dolar untuk mendukung demokrasi, kebebasan pers, dan transparansi pemerintahan di seluruh dunia.

Di satu sisi, visi ini terdengar ideal. Namun di sisi lain, di beberapa negara, dukungan OSF sering dibaca bukan sebagai bantuan, melainkan campur tangan.

Hungaria, Rusia, dan bahkan beberapa negara Asia menuduh lembaga Soros berperan mendorong agenda liberal yang bertentangan dengan nilai lokal dan kedaulatan politik mereka. Inilah titik rawan antara niat baik dan kekuatan. Karena dalam dunia modern, bahkan bantuan dana bisa dianggap peluru ideologis.

Pengaruh Soros memperlihatkan bagaimana konsep soft power bisa berubah bentuk menjadi tekanan moral terhadap negara lain. Ketika dukungan terhadap masyarakat sipil dibaca sebagai ancaman terhadap pemerintah, maka batas antara diplomasi dan intervensi menjadi kabur.

  1. Demokrasi: Nilai atau Alat Strategi?

Demokrasi selalu dielu-elukan sebagai nilai universal. Namun dalam praktiknya, nilai ini kerap dijadikan alat untuk mengatur arah politik negara lain.

Soros sering disebut berada di balik berbagai “revolusi warna” di Eropa Timur dan Asia Tengah—gelombang protes yang mengguncang pemerintahan lama dan melahirkan rezim baru yang lebih pro-Barat. Walaupun tidak ada bukti langsung tentang keterlibatan personalnya, pola dukungan OSF terhadap kelompok masyarakat sipil yang kritis terhadap pemerintah membuat tuduhan itu terus hidup.

Di sini letak paradoks nya. Ketika demokrasi disebarkan dari luar dengan kekuatan finansial, ia berisiko kehilangan makna moralnya. Demokrasi seharusnya tumbuh dari aspirasi rakyat, bukan dari aliran dana yang datang dengan agenda tersirat.

Dalam konteks keamanan nasional, negara-negara yang rapuh secara politik bisa melihat pengaruh semacam ini sebagai ancaman terhadap stabilitas domestik—bukan karena demokrasi itu sendiri, tapi karena cara ia dipromosikan.

  1. Uang: Senjata yang Lebih Tajam dari Peluru

Kekuatan Soros bukan hanya pada ide, tapi juga pada kapital. Dunia tak akan melupakan peristiwa “Black Wednesday” tahun 1992, ketika Soros menjatuhkan nilai pound sterling dan “mengantongi” lebih dari satu miliar dolar dalam sehari. Kisah itu menjadi simbol betapa satu individu bisa mengguncang ekonomi negara besar hanya melalui spekulasi. Sejak saat itu, uang bukan lagi sekadar alat transaksi, melainkan instrumen kekuasaan global.

Bagi banyak negara, kekuatan finansial seperti yang dimiliki Soros menimbulkan dilema baru dalam konsep keamanan nasional. Bagaimana melindungi diri dari pengaruh pasar yang tidak tunduk pada batas teritorial? Soros menunjukkan bahwa di abad ke-21, ancaman tak selalu datang dari rudal atau pasukan militer, melainkan dari keputusan investasi dan arus modal yang dapat menjatuhkan mata uang, menekan kebijakan ekonomi, bahkan memengaruhi arah politik luar negeri.

  1. Mitos, Narasi, dan Ketakutan yang Kita Ciptakan Sendiri

Namun, di luar semua itu, Soros juga menjadi korban dari citra yang ia bangun sendiri. Namanya kini lebih sering muncul dalam teori konspirasi ketimbang laporan akademik. Ia dituduh menjadi dalang di balik pandemi, kerusuhan sosial, hingga migrasi massal—seolah semua kekacauan global berakar pada satu orang.

Padahal, dalam banyak kasus, tuduhan itu lahir dari ketakutan masyarakat terhadap kompleksitas dunia modern yang semakin tak bisa dikendalikan. Soros menjadi simbol yang mudah disalahkan: figur yang kuat tapi tak terlihat, kaya tapi tidak berkuasa secara formal.

Fenomena ini justru mengungkapkan sesuatu yang lebih dalam tentang dunia kita: bahwa di era informasi, persepsi bisa lebih berbahaya dari kenyataan. Menyalahkan Soros menjadi cara mudah untuk menghindari introspeksi, seolah setiap kegagalan politik dan sosial bisa dijelaskan melalui “tangan asing”.

Penutup: Ancaman Sebenarnya dalam Dunia Tanpa Batas

Jadi, apakah George Soros benar-benar berbahaya?

Jawabannya bergantung pada cara kita memahami kekuasaan dan kedaulatan di era globalisasi. Ia bisa berbahaya bila kita melihatnya sebagai simbol dari struktur ekonomi-politik dunia yang tidak seimbang—dimana segelintir individu mampu mempengaruhi kebijakan negara dan dinamika masyarakat sipil lewat kekuatan modal dan ideologi. Namun di sisi lain, Soros juga menjadi lambang dari semangat keterbukaan dan keberanian menentang tirani yang mengancam kebebasan berpikir.

Bahaya sesungguhnya bukan pada sosok Soros itu sendiri, melainkan pada cara dunia menanggapi pengaruh semacam itu. Negara yang terlalu curiga terhadap gagasan keterbukaan akan mudah terjebak dalam politik ketakutan, sementara negara yang terlalu terbuka tanpa kendali dapat kehilangan arah dan otonominya.

Maka, tantangan bagi setiap bangsa—termasuk Indonesia—bukanlah untuk memusuhi figur seperti Soros, melainkan untuk memperkuat ketahanan nasional agar tidak mudah terombang-ambing oleh arus pengaruh eksternal, baik ekonomi, politik, maupun ideologis.

Di tengah dunia yang kian saling terhubung, ancaman nyata tidak lagi datang dari satu individu, melainkan dari lemahnya kemampuan kita membedakan antara pengaruh dan kendali, antara kerja sama dan ketergantungan.

George Soros mungkin hanyalah satu bayangan dalam bentang luas geopolitik global. Tapi dari bayangan itulah kita belajar satu hal penting: bahwa kedaulatan sejati tidak diukur dari seberapa keras kita menolak pengaruh luar, melainkan dari seberapa kuat kita mampu berdiri tegak tanpa kehilangan arah di tengah badai global yang tak pernah berhenti.