Artikel Opini “Krisis Pangan dan Air di Asia Selatan yang Tak Kunjung Usai”
Artikel Opini “Krisis Pangan dan Air di Asia Selatan yang Tak Kunjung Usai”

Penulis : Nadia Alya Nashwa ( Mahasiswa Hubungan Internasional)

Asia Selatan merupakan salah satu wilayah yang paling rentan akan krisis pangan dan air, dimana air dan pangan bukan hanya sekedar kebutuhan dasar di Asia Selatan, tetapi juga menjadi isu yang menentukan stabilitas ekonomi, politik, dan keamanan manusia. Berada di bawah ancaman perubahan iklim, ledakan populasi, dan kebijakan pengelolaan sumber daya yang tidak seimbang, krisis ini telah berubah menjadi isu geopolitik yang kompleks, khususnya antara dua kekuatan utama di kawasan, yaitu India dan Pakistan. Kedua negara dengan sejarah konflik yang panjang tersebut kini menghadapi nasib serupa, terjebak dalam pusaran krisis air dan pangan yang tak kunjung usai.

Kebijakan yang Tak Lagi Rasional

Perubahan iklim yang ekstrim memang menjadi salah satu faktor terjadinya krisis pangan dan air di Asia Selatan dan hal ini menjadi pemicu terjadinya konflik di kawasan ini, Namun, tanpa disadari terjadinya krisis pangan dan air ini terjadi karena kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh manusia sendiri seperti pola pembangunan yang eksploitatif, ketimpangan sosial, dan tata kelola yang rapuh.

India, dengan lebih dari 1,4 miliar penduduk, masih bergantung pada pertanian yang boros air. Subsidi listrik dan pupuk yang tidak efisien mendorong penanaman padi dan gandum berlebihan, menyebabkan penurunan tajam cadangan air tanah di Punjab dan Haryana. Sedangkan Pakistan menghadapi situasi lebih parah, dengan ketersediaan air per kapita di bawah 1.000 meter kubik per tahun. Sekitar 90 persen airnya digunakan untuk pertanian dengan efisiensi rendah. Ketergantungan yang besar terhadap Sungai Indus membuat Pakistan sangat rentan terhadap kebijakan air yang diterapkan India di bagian hulu. Di titik inilah politik air memperlihatkan wujud paling nyata yaitu ketika sumber daya alam berubah menjadi instrumen kekuasaan.

Air, yang seharusnya menjadi simbol kerja sama, justru berpotensi menjadi pemicu konflik baru di kawasan. Selama beberapa dekade, Indus Waters Treaty (IWT) tahun 1960 dipandang sebagai contoh keberhasilan kerjasama hidropolitik antara India dan Pakistan. Namun, meningkatnya kebutuhan air dan dampak perubahan iklim kini menantang stabilitas perjanjian tersebut. India terus membangun proyek bendungan di kawasan Kashmir, yang oleh Pakistan dianggap sebagai pelanggaran terhadap ketentuan IWT.

Pengelolaan air masih didominasi oleh kepentingan politik alih-alih kebutuhan nyata masyarakat. Konflik antar wilayah, korupsi, dan buruknya koordinasi membuat berbagai kebijakan kehilangan efektivitasnya. Di India, perebutan hak atas air Sungai Cauvery antara Karnataka dan Tamil Nadu belum juga mereda, sementara di Pakistan, rencana pembangunan Bendungan Kalabagh justru menimbulkan ketegangan antar provinsi. Saat politik menguasai ruang kebijakan, rasionalitas kerap tersingkir oleh ambisi kekuasaan.

Globalisasi dan Ketergantungan Global

Peran lembaga internasional dan sektor swasta seperti World Bank, Asian Development Bank, serta perusahaan agritech memang membantu dari sisi pendanaan dan modernisasi teknologi. Namun, ketergantungan pada aktor global justru memperkuat logika pasar dalam tata kelola sumber daya, sering kali mengesampingkan keadilan sosial. Akibatnya, air dan pangan tidak lagi dipandang sebagai hak dasar manusia, melainkan sebagai komoditas ekonomi yang diatur oleh kepentingan keuntungan.

Kita tak dapat mengabaikan peran sistem global yang turut memperburuk krisis ini. Melalui regulasi perdagangan internasional, di bawah sistem World Trade Organization (WTO), negara-negara berkembang seperti India dan Pakistan didorong untuk membuka pasar pangan mereka. Akibatnya, kebijakan proteksi terhadap petani lokal berkurang, sementara ketergantungan pada impor pangan meningkat.

Krisis pangan dan air di Asia Selatan tidak hanya bersumber dari faktor lingkungan, tetapi juga dari ketimpangan struktural ekonomi global yang menempatkan negara-negara berkembang dalam posisi yang lemah dan bergantung. Globalisasi memang tampak membawa janji kemakmuran, namun pada prakteknya justru menciptakan ketergantungan baru. Ketika harga pangan dunia naik, masyarakat miskin lah yang pertama kali merasakan dampaknya. Begitu pula saat air semakin langka, merekalah yang paling kesulitan untuk memperolehnya.

Mewujudkan Tata Kelola yang Adil dan Berkelanjutan

Krisis ini memberi pelajaran penting bahwa air dan pangan tidak seharusnya diperlakukan sebagai komoditas ekonomi, melainkan sebagai hak publik yang mendasar. Selama keduanya masih dipandang melalui logika pasar dan bukan dari sisi kemanusiaan, masalah ini akan terus berulang dengan bentuk yang berbeda tanpa pernah terselesaikan.

Asia Selatan memerlukan pola tata kelola baru, bukan sekadar membangun bendungan atau menambah subsidi, melainkan mengubah cara pandang terhadap sumber daya alam. Air semestinya dikelola demi keberlangsungan hidup, bukan keuntungan; dan pangan harus dihasilkan untuk memenuhi kebutuhan manusia, bukan sekadar memenuhi tuntutan pasar.

Kerja sama lintas negara seperti Indus Waters Treaty perlu direvisi agar lebih responsif terhadap dinamika perubahan iklim dan kebutuhan manusia yang terus berkembang. Selain itu, forum regional seperti South Asian Association for Regional Cooperation (SAARC) juga perlu memainkan peran yang lebih aktif dalam memperkuat kolaborasi antar negara di sektor pangan, air, dan energi.

Namun kemandirian di tingkat nasional juga perlu sejalan dengan semangat solidaritas regional. Tanpa sistem tata kelola yang adil, transparan, dan berkelanjutan, Asia Selatan akan terus terperangkap dalam siklus ketergantungan dan ketimpangan, di mana air dijadikan alat negosiasi, pangan diperlakukan sebagai komoditas, dan manusia kehilangan kendali atas sumber kehidupannya sendiri.