Artificial Intelligence: Langkah Kedepan Atau Kemunduran Bagi Umat Manusia
Artificial Intelligence: Langkah Kedepan Atau Kemunduran Bagi Umat Manusia

Penulis :  Raden Mohammad Rangga Faturrahman ( Mahasiswa Hubungan Internasional FISIP UIN Jakarta)

AI atau Artificial Intelligence, pasti nya bukan lagi hal yang asing untuk didengar oleh orang-orang. AI bukan lagi sekedar istilah dalam film fiksi ilmiah. Kini, AI telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari umat manusia, mengatur algoritma informasi, bahkan mempengaruhi keputusan politik dan ekonomi global. Namun dibalik kecanggihannya, muncul pertanyaan besar, yaitu apakah AI sebenarnya baik dan membantu umat manusia semakin maju atau malah menjadi ancaman keamanan global dan awal kehancuran umat manusia? Sebelum saya memberikan opini saya mengenai pertanyaan ini, saya harus menjelaskan apa definisi dari AI.

AI atau Artificial Intelligence, merupakan sistem atau mesin yang dapat melakukan tugas-tugas yang biasanya memerlukan kecerdasan manusia, seperti learning, reasoning, language understanding, serta pattern recognition. Menurut Oxford Dictionary of Computer Science (2021), AI bukan hanya sekadar program otomatis, tetapi sistem yang mampu memproses informasi, belajar dari pengalaman, dan menyesuaikan perilakunya untuk mencapai hasil yang lebih baik. John McCarthy orang yang menciptakan istilah Artificial Intelligence mendefinisikan AI sebagai “the science and engineering of making intelligent machines.” yang artinya AI merupakan upaya untuk meniru cara berpikir manusia melalui logika, algoritma, dan komputasi.

Ancaman dari AI bagi keamanan nasional dan internasional dapat muncul dari perspektif keamanan tradisional (militer) dan keamanan non tradisional (cybersecurity, ekonomi, politik, sosial, dll). Dari perspektif keamanan tradisional yaitu militer, ancaman dari AI sangat dapat dirasakan, contohnya pembuatan senjata otonom atau autonomous weapons systems dalam militer, senjata otonom merupakan senjata yang dapat bertindak dengan sedikit atau bahkan tanpa kontrol dan masukan manusia sama sekali. Resiko senjata otonom bagi keamanan nasional maupun internasional adalah senjata ini dapat mengambil keputusan yang salah karena bias data atau bug dan juga senjata otonom dapat eskalasi konflik dikarenakan AI memiliki langkah agresif tanpa adanya pertimbangan manusia sama sekali. Ancaman ini bahkan telah disampaikan oleh Sekjen PBB yaitu António Guterres yang mengatakan bahwa konflik yang terjadi sekarang dijadikan medan pengetesan penggunaan AI militer.

Ancaman lain dari AI bisa dilihat dari perspektif keamanan non tradisionalnya yaitu cyber attack, AI dapat merancang malware yang digunakan untuk mencari celah keamanan yang nantinya dapat menyerang sistem-sistem krusial, seperti sistem infrastruktur energi, air, transportasi, dan komunikasi yang dapat menjatuhkan sistem-sistem tersebut. Ancaman lain seperti disinformasi juga dapat dirasakan, AI generatif seperti Sora AI dan Deepfake memungkinkan pembuatan gambar, video, dan audio palsu yang terlihat otentik. Hal ini dapat memicu krisis diplomatik, memicu kerusuhan, dan merusak fondasi kepercayaan publik. United Nations Institute for Disarmament Research memperingatkan bahwa AI dapat digunakan untuk menciptakan narasi palsu yang mengguncang hubungan antarnegara, memperlemah perjanjian internasional, atau bahkan mengacaukan negosiasi damai. Dalam konteks ini, diplomasi tradisional berbasis kepercayaan manusia terancam oleh kecepatan informasi yang dihasilkan AI. Dunia internasional membutuhkan bentuk baru dari diplomasi digital, yang tidak hanya membahas keamanan siber tetapi juga tanggung jawab etika dalam penggunaan AI di ruang global.

Dalam konteks hubungan internasional, perkembangan AI menciptakan dinamika baru dalam keseimbangan kekuatan global. Negara-negara besar seperti Amerika Serikat, Tiongkok, dan Rusia berlomba untuk menjadi pemimpin dalam teknologi kecerdasan buatan. Menurut laporan Center for Security and Emerging Technology, dominasi dalam penguasaan AI akan menjadi indikator kekuatan strategis di abad ke-21, sama pentingnya dengan kepemilikan senjata nuklir di abad ke-20. Akibatnya, muncul fenomena yang disebut AI Arms Race, yaitu perlombaan untuk mengembangkan kecerdasan buatan dengan kemampuan militer yang semakin otonom dan destruktif yang dapat membantu militer negara yang memilikinya. AI Arms Race ini juga sejalan dengan teori realisme dalam hubungan internasional, di mana negara akan selalu berusaha memaksimalkan power untuk bertahan. AI akan menjadi alat geopolitik baru, dimana negara yang mampu menguasai data, algoritma, pengembangan, dan teknologi AI akan memiliki keunggulan dalam diplomasi, ekonomi, dan pertahanan.

Dunia internasional kini mulai menyadari bahwa AI tidak dapat diatur oleh satu negara saja. Diperlukan bentuk baru dari diplomasi global yang menekankan AI governance, semacam treaty internasional untuk mengatur penggunaan AI berisiko tinggi, seperti senjata otonom dan sistem pengawasan massal. Upaya seperti Global Partnership on Artificial Intelligence dan AI Safety Summit 2023 di London merupakan langkah awal menuju pembentukan norma global. Kerja sama multilateral seperti UN High-Level Advisory Body on Artificial Intelligence pada tahun 2023, juga menjadi langkah menuju tatanan AI yang lebih etis dan inklusif. UNESCO juga telah membuat etika dan regulasi AI melalui Recommendation on the Ethics of Artificial Intelligence pada tahun 2021, menekankan pentingnya transparansi, akuntabilitas, dan hak asasi manusia dalam pengembangan AI. Selain itu, Uni Eropa juga memperkenalkan EU Artificial Intelligence Act pada tahun 2024 yang menjadi kerangka hukum pertama di dunia untuk mengatur penggunaan AI berdasarkan tingkat resikonya. Dalam konteks Indonesia, pemerintah melalui Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) telah menyoroti pentingnya perlindungan data dan keamanan siber sebagai langkah awal dalam menghadapi era AI. Namun, regulasi yang lebih spesifik tentang penggunaan AI dalam sektor militer, publik, dan swasta masih perlu dikembangkan. Namun, Indonesia memiliki peran penting dalam diplomasi teknologi di kawasan ASEAN untuk memastikan bahwa AI dikembangkan dengan memperhatikan keadilan digital bagi negara berkembang. Kolaborasi lintas negara, seperti ASEAN Digital Master Plan 2025, menjadi langkah awal regional untuk memastikan AI digunakan secara etis dan bertanggung jawab. Indonesia juga berpeluang memainkan peran penting dalam memperjuangkan prinsip AI yang adil, inklusif, dan beretika, terutama dalam forum G20 dan ASEAN. Namun, seperti disoroti oleh Floridi dalam Philosophy & Technology Journal, tanpa komitmen politik dari negara-negara besar, tata kelola global AI akan tetap bersifat simbolis dan tidak efektif.

Berdasarkan hal-hal diatas, menurut saya, AI adalah pedang bermata dua. Di satu sisi, ia menawarkan efisiensi, kemajuan ekonomi, teknologi, dan solusi atas masalah-masalah global, disisi lain, AI juga membawa potensi destruktif yang bisa mengancam keamanan nasional, internasional, hingga keberlangsungan umat manusia. Namun, hal-hal ini dapat kita hindari jika kita memiliki regulasi yang jelas akan pengembangan dan penggunaan AI dalam rangka meminimalisir ancaman-ancaman tersebut. Seperti yang dinyatakan oleh Bostrom dalam bukunya Superintelligence: Paths, Dangers, Strategies, bahaya terbesar AI bukanlah ketika AI melakukan kesalahan, namun ketika AI melakukan sesuatu hal yang benar, namun malah bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Oleh karena itu, menurut saya bagaimana cara kita umat manusia menggunakan AI yang bisa menentukan ke arah mana AI akan berpijak, arah kemajuan atau kehancuran, karena AI bisa menjadi langkah maju bagi umat manusia jika digunakan untuk bijak, AI juga bisa menjadi alat penghancur umat manusia jika kita tidak bijak memanfaatkannya.