Artificial Intelligence (AI) : Senjata Inovasi atau Bom Waktu Keamanan Dunia?
Penulis : Abhila Revalia (Mahasiswa Semester 5 Prodi Hubungan Internasional, FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)
Artificial Intelligence (AI) sedang menjadi primadona dalam beberapa tahun terakhir karena perkembangannya yang pesat dalam kemampuannya membantu dan bahkan mendampingi aktivitas, mulai dari menulis, menggambar, hingga menganalisis data besar, dan membawa revolusi dalam berbagai sektor. Namun, muncul pertanyaan penting: apakah perkembangan AI yang pesat ini justru akan mengancam keamanan nasional dan internasional? Kekhawatiran ini mendasar, karena sejatinya teknologi baru pasti selalu menghadirkan dua sisi: berupa peluang dan risiko.
Di tengah euforia digital yang menyanjung efisiensi dan otomatisasi, kita sering lupa bahwa setiap lompatan teknologi membawa konsekuensi sosial dan politik yang tidak sederhana. AI bukan hanya produk teknologi, melainkan juga produk nilai yang merefleksikan siapa yang menciptakannya, untuk kepentingan siapa, dan dengan tujuan apa. Pertanyaan-pertanyaan ini menjadi kunci dalam memahami apakah AI akan menjadi kekuatan pembebas atau justru alat kontrol global baru.
Manfaat AI bagi Individu dan Negara
AI bukan sekedar alat atau teknologi pintar, karena AI bisa membaca data lebih cepat dibanding manusia, dengan dapat mendeteksi pola serangan siber bahkan hingga memprediksi potensi konflik antarnegara. Sehingga negara-negara besar, seperti AS dan Tiongkok yang menghabiskan miliaran dolar untuk menjadikan AI sebagai pilar pertahanan baru, dengan mengintegrasikan ke dalam sistem pertahanan dan keamanan negara. Karena dalam skenario terbaiknya, AI dapat menjadi tameng kedaulatan dan penjaga stabilitas internasional.
Tak hanya di bidang pertahanan, AI juga membuka peluang besar dalam diplomasi dan kerja sama lintas negara. Melalui analisis prediktif dan pengolahan data besar, AI dapat membantu lembaga internasional dalam merancang kebijakan global, memetakan risiko bencana, hingga mendeteksi potensi krisis kemanusiaan sebelum terjadi. Di sektor ekonomi, penerapan AI dalam industri dan pelayanan publik telah mempercepat efisiensi dan mengurangi biaya, memungkinkan negara berkembang untuk mempercepat transformasi digital tanpa harus menunggu dekade. Bahkan dalam dunia kesehatan dan pendidikan, AI memperluas akses layanan dengan menghadirkan solusi cerdas bagi masyarakat yang sebelumnya sulit dijangkau. Dengan kata lain, AI bukan hanya soal kemajuan teknologi, tapi juga tentang bagaimana kemanusiaan dapat memanfaatkan kecerdasan buatan untuk menciptakan kehidupan yang lebih adil dan berdaya.
Potensi Ancaman AI
Namun sisi gelap air tidak bisa diabaikan contohnya seperti AI telah membuka jalan bagi lahirnya ancaman baru baik itu deepfake, propaganda otomatis yang masif, hingga serangan siber berbasis machine learning yang lebih canggih. Pada akhirnya teknologi yang semula diciptakan untuk inovasi justru dapat dipelintir menjadi instrumen destabilisasi politik dan juga penyebaran disinformasi lintas batas negara, yang tentunya tidak hanya berisiko mengganggu keamanan nasional tetapi juga memicu ketegangan internasional jika AI disalahgunakan untuk memanipulasi opini publik dan mempengaruhi proses politik negara.
Lebih dari itu, penggunaan AI dalam sistem pertahanan juga menimbulkan dilema etis baru: siapa yang bertanggung jawab ketika keputusan untuk menyerang diambil oleh mesin? Bayangkan jika sistem otonom militer keliru menilai ancaman dan justru memicu konflik bersenjata yang tidak diinginkan. Risiko inilah yang membuat AI bukan hanya persoalan teknologi, tetapi juga isu moral dan kemanusiaan. Di sisi lain, dominasi penguasaan AI oleh segelintir negara dan korporasi besar juga berpotensi memperlebar jurang ketimpangan global. Negara-negara berkembang bisa menjadi “penonton” di tengah perebutan kendali atas teknologi yang akan menentukan arah kekuatan dunia.
Kita tidak bisa lagi pura-pura buta, bahwa AI merupakan medan perang yang baru yang meskipun sunyi tetapi mematikan, karena berpotensi memanipulasi sehingga dapat merusak reputasi individu, memperkeruh ruang publik, hingga menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap informasi digital. Sedangkan regulasi AI yang lamban dengan pengembangannya yang tidak transparan, serta pengetahuan digital yang belum merata akan menjadi combo yang sempurna dalam menuju bencana.
Bagaimana Harus Menyikapinya?
Negara, industri, dan masyarakat sipil harus bergerak dengan cepat dalam membuat pagar hukum yang tepat dengan memaksa transparansi algoritma serta mendidik publik dengan memperkuat literasi digital agar tidak mudah terpedaya. Karena pada akhirnya, AI merupakan cermin dari bagaimana cara manusia menggunakannya, dan hanya dengan pendekatan yang seimbang antara inovasi juga pengawasan maka kita dapat memastikan AI menjadi sekutu bagi keamanan dan martabat manusia, bukan sebagai sumber ancaman yang baru.
Namun, perlu juga disadari bahwa tanggung jawab ini tidak hanya milik negara besar atau lembaga teknologi raksasa. Negara-negara berkembang pun harus ikut serta membangun standar etika global agar tidak menjadi korban ketimpangan digital. Kolaborasi internasional, misalnya melalui forum PBB atau G20, bisa menjadi wadah untuk menciptakan kesepakatan global mengenai tata kelola AI yang adil dan aman. Dalam jangka panjang, hal ini bukan sekadar soal regulasi, tetapi tentang membangun budaya kesadaran kolektif bahwa teknologi harus berpihak pada kemanusiaan.
Kita perlu menggeser paradigma bahwa kecerdasan buatan hanyalah alat bantu, menjadi pemahaman bahwa AI adalah bagian dari sistem sosial-politik yang kompleks. Artinya, keputusan tentang bagaimana AI dikembangkan dan digunakan seharusnya melibatkan berbagai pihak, mulai dari akademisi, masyarakat sipil, hingga komunitas yang terdampak langsung. Dengan begitu, proses inovasi tidak lagi berjalan di ruang tertutup, melainkan menjadi proses bersama yang menempatkan nilai kemanusiaan di pusatnya.
Karena jika AI terus dibiarkan berkembang tanpa arah moral yang jelas, maka dunia sedang berjalan menuju masa depan di mana mesin bukan lagi alat bantu, melainkan pengendali keputusan. Dan ketika itu terjadi, mungkin bukan lagi manusia yang mengatur dunia, tetapi algoritma yang menentukan segalanya, dari keamanan, ekonomi, hingga kebenaran. Maka, menjaga kendali atas AI sama artinya dengan menjaga masa depan umat manusia. Pada akhirnya, teknologi seharusnya melayani manusia, bukan sebaliknya. Dan keputusan untuk memastikan itu semua kembali pada kita, generasi yang hidup di persimpangan antara inovasi dan kehancuran.
