Arsitektur Keamanan Global di Era Pasca-Pandemi: Dari Ancaman Biologis ke Fragmentasi Geopolitik
Arsitektur Keamanan Global di Era Pasca-Pandemi: Dari Ancaman Biologis ke Fragmentasi Geopolitik

Penulis : Muhammad Aqshal Aqila (Mahasiswa Hubungan Internasional FISIP UIN Jakarta)

Tiga tahun setelah WHO mendeklarasikan pandemi Covid-19 sebagai darurat kesehatan global, dunia memasuki era baru yang penuh paradoks. Di satu sisi, pandemi membuktikan bahwa ancaman transnasional non-tradisional dapat melumpuhkan tatanan dunia lebih cepat daripada konflik militer konvensional. Di sisi lain, respons terhadap pandemi justru mempercepat fragmentasi geopolitik yang mengancam stabilitas keamanan internasional. Pertanyaan fundamentalnya: apakah Covid-19 telah mengubah paradigma keamanan global secara permanen, ataukah justru memperkuat kembalinya rivalitas kekuatan besar?

Pandemi sebagai Katalis Transformasi Keamanan

Covid-19 bukan sekadar krisis kesehatan, melainkan stres test terhadap seluruh sistem keamanan internasional. Pandemi mengekspos kerentanan struktural dalam tata kelola global yang selama ini dianggap kokoh. Organisasi internasional seperti WHO terbukti tidak memiliki kewenangan memadai untuk memaksa negara-negara berbagi informasi atau mengkoordinasikan respons secara efektif. Konsep kedaulatan Westphalian yang sakral justru menjadi penghalang kolaborasi global ketika virus tidak mengenal batas negara.

Yang lebih mengkhawatirkan adalah munculnya “nasionalisme vaksin” sebagai manifestasi baru dari kompetisi strategis. Negara-negara maju menimbun vaksin jauh melebihi kebutuhan populasi mereka, sementara negara berkembang kesulitan mengakses dosis dasar. Rusia dengan Sputnik V dan China dengan Sinovac menggunakan diplomasi vaksin sebagai instrumen soft power untuk memperluas pengaruh geopolitik mereka. Amerika Serikat dan sekutunya merespons dengan inisiatif COVAX yang terlambat dan tidak memadai. Pola ini menunjukkan bahwa bahkan dalam menghadapi ancaman eksistensial bersama, logika zero-sum dari realisme politik tetap mendominasi.

Lebih dalam lagi, pandemi mengungkap ketergantungan kritis terhadap rantai pasok global yang terkonsentrasi. Ketika China—sebagai “pabrik dunia”—menerapkan lockdown masif, produksi alat pelindung diri, komponen elektronik, hingga bahan baku farmasi terganggu secara global. Negara-negara tiba-tiba menyadari bahwa efisiensi ekonomi neoliberal telah menciptakan kerentanan strategis. Konsekuensinya adalah gelombang reshoring dan friend-shoring yang mengubah peta ekonomi politik global dan berpotensi menajamkan blok-blok geopolitik.

Redefinisi Ancaman: Dari Militer ke Multidimensional

Pasca-Covid-19, konsep keamanan nasional mengalami perluasan dramatis. Ancaman tidak lagi didominasi oleh perhitungan kekuatan militer konvensional, tetapi mencakup spektrum yang jauh lebih luas: keamanan kesehatan, keamanan pangan, keamanan energi, keamanan siber, dan keamanan informasi. Pandemi memaksa para pembuat kebijakan untuk mengadopsi pendekatan “human security” yang selama ini lebih populer dalam wacana akademis daripada praktik kebijakan.

Keamanan kesehatan, yang sebelumnya dianggap domain domestik atau isu low politics, kini menjadi prioritas keamanan nasional. Negara-negara mulai membangun kapasitas biodefense yang lebih robust, meningkatkan surveilans epidemiologis, dan mengintegrasikan persiapan pandemi dalam perencanaan strategis militer. Pentagon, misalnya, memperluas mandat komando medisnya dan meningkatkan investasi dalam penelitian biodefense. China memperkuat kontrol terhadap laboratorium biosafety level-4 dan meningkatkan kapasitas respons darurat kesehatan dengan melibatkan Tentara Pembebasan Rakyat.

Dimensi keamanan siber juga mengalami eskalasi signifikan selama pandemi. Percepatan digitalisasi yang dipicu oleh work-from-home dan online learning menciptakan permukaan serangan yang lebih luas bagi aktor-aktor siber jahat. Serangan ransomware terhadap infrastruktur kesehatan meningkat drastis, dengan beberapa rumah sakit terpaksa menolak pasien karena sistem mereka dienkripsi oleh peretas. Negara-negara seperti Rusia, China, Korea Utara, dan Iran dituduh meningkatkan operasi siber untuk mencuri penelitian vaksin, menyebar disinformasi, dan mengganggu infrastruktur kritis negara lain.

Keamanan informasi menjadi medan pertempuran baru yang tidak kalah genting. Pandemi menciptakan “infodemic” tsunami informasi yang mencampur fakta, hoaks, dan teori konspirasi. Aktor-aktor negara memanfaatkan kekacauan ini untuk kampanye disinformasi yang melemahkan kepercayaan publik terhadap institusi dan memperparah polarisasi sosial-politik. Fenomena ini menunjukkan bahwa dalam era post-truth, narasi dan persepsi menjadi sama pentingnya dengan hard power dalam menentukan outcome strategis.

Fragmentasi Geopolitik dan Bangkitnya Rivalitas Besar

Ironisnya, pandemi yang seharusnya menjadi momen untuk solidaritas global justru mempercepat fragmentasi geopolitik. Rivalitas strategis antara Amerika Serikat dan China tidak hanya tidak mereda, tetapi justru menemukan dimensi-dimensi baru. Kompetisi untuk supremasi teknologi—terutama dalam 5G, artificial intelligence, dan biotechnology—semakin intensif dengan implikasi keamanan yang mendalam. Perang dagang berevolusi menjadi perang teknologi dengan kontrol ekspor yang lebih ketat dan pembatasan investasi di sektor-sektor sensitif.

Ketegangan di Indo-Pasifik terus meningkat. China menggunakan periode pandemi untuk memperkuat klaim maritimnya di Laut China Selatan dan meningkatkan tekanan militer terhadap Taiwan. Amerika Serikat merespons dengan memperkuat aliansi Quad (bersama Jepang, India, dan Australia) dan meluncurkan AUKUS (dengan Inggris dan Australia) sebagai pakta pertahanan yang eksplisit menargetkan ancaman China. Arsitektur keamanan regional Asia-Pasifik kini terfragmentasi antara negara-negara yang mencoba menyeimbangkan antara dependensi ekonomi terhadap China dan kekhawatiran keamanan yang mendorong mereka lebih dekat ke Amerika Serikat.

Di Eropa, pandemi memperparah krisis yang sudah ada. Brexit menciptakan kompleksitas baru dalam koordinasi keamanan Eropa. Kebangkitan populisme dan nasionalisme di beberapa negara Eropa mengancam kohesi Uni Eropa. Rusia memanfaatkan kelemahan ini dengan melanjutkan strategi hybrid warfare-nya menggabungkan disinformasi, manipulasi energi, dan intimidasi militer. Invasi Rusia ke Ukraina pada 2022 menandai kembalinya perang konvensional skala besar di Eropa, membuktikan bahwa pandemi tidak menghapus ancaman tradisional.

Kawasan Timur Tengah tetap menjadi flashpoint dengan dinamika yang kompleks. Normalisasi hubungan beberapa negara Arab dengan Israel melalui Abraham Accords mengubah konfigurasi aliansi regional, tetapi tidak menyelesaikan konflik Israel-Palestina yang mendasar. Rivalitas antara Iran dan negara-negara Arab Teluk, yang diperkeras oleh dimensi sektarian Sunni-Syiah, terus menciptakan instabilitas. Program nuklir Iran dan proliferasi drone serta rudal balistik menambah layer kompleksitas dalam kalkulasi keamanan regional.

Indonesia dalam Pusaran Ketidakpastian Strategis

Bagi Indonesia, transformasi lanskap keamanan pasca-Covid-19 menghadirkan tantangan dan peluang yang unik. Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia yang terletak di persimpangan strategis, Indonesia tidak bisa menghindar dari dinamika geopolitik global. Namun, Indonesia juga memiliki tradisi politik luar negeri bebas-aktif yang memberikan fleksibilitas strategis.

Tantangan utama Indonesia adalah bagaimana mempertahankan posisi non-aligned dalam era polarisasi yang semakin tajam. Tekanan untuk memilih sisi antara Amerika Serikat dan China akan semakin intensif, terutama dalam konteks keamanan maritim di Indo-Pasifik. Indonesia harus mampu mengamankan kepentingan nasionalnya—terutama kedaulatan di Natuna dan zona ekonomi eksklusif—tanpa terseret ke dalam konfrontasi yang dapat mengganggu stabilitas regional dan akses ekonomi.

Dalam domain keamanan non-tradisional, Indonesia memiliki pengalaman berharga dari penanganan pandemi yang dapat ditransformasikan menjadi kapabilitas strategis. Penguatan sistem kesehatan nasional, pengembangan industri farmasi dan bioteknologi domestik, dan peningkatan kapasitas respons darurat bukan hanya soal kesehatan publik tetapi juga kedaulatan strategis. Indonesia perlu menghindari ketergantungan berlebihan pada satu atau dua negara dalam hal teknologi kesehatan kritis.

Keamanan siber adalah area di mana Indonesia masih memiliki kerentanan signifikan. Dengan percepatan digitalisasi ekonomi dan pemerintahan, Indonesia menjadi target yang semakin menarik bagi aktor-aktor siber jahat, baik kriminal maupun yang disponsori negara. Investasi dalam infrastruktur siber yang resilient, pengembangan talenta keamanan siber, dan kerja sama internasional dalam law enforcement siber harus menjadi prioritas.

Menuju Arsitektur Keamanan Kolektif yang Inklusif

Pengalaman pandemi seharusnya menjadi pembelajaran berharga bahwa ancaman transnasional memerlukan respons kolaboratif yang melampaui logika zero-sum. Namun, realitas politik menunjukkan bahwa kolaborasi global semakin sulit dicapai dalam era fragmentasi geopolitik. Diperlukan pendekatan baru yang mengakui realitas rivalitas kekuatan besar namun tetap membangun mekanisme kerja sama dalam isu-isu eksistensial bersama.

Konsep “cooperative security” perlu dihidupkan kembali dengan adaptasi terhadap konteks kontemporer. Ini berarti membangun rezim internasional yang robust dalam isu-isu seperti keamanan kesehatan global, keamanan siber, perubahan iklim, dan non-proliferasi senjata pemusnah massal. Rezim-rezim ini harus memiliki mekanisme verifikasi yang kredibel dan enforcement yang efektif, sekaligus menghormati prinsip kedaulatan negara.

ASEAN, sebagai organisasi regional yang menekankan konsensus dan non-interference, memiliki peran penting dalam memediasi ketegangan dan membangun arsitektur keamanan yang inklusif di Indo-Pasifik. ASEAN Outlook on Indo-Pacific yang menekankan kentralitas ASEAN, inklusivitas, dan pendekatan komprehensif terhadap keamanan dapat menjadi blueprint untuk regionalisme yang tidak memaksa negara-negara memilih sisi. Namun, ASEAN perlu memperkuat kapasitas dan kohesinya agar dapat memainkan peran ini secara efektif. Track-two diplomacy dan people-to-people contacts juga krusial dalam membangun trust dan mutual understanding di tengah ketegangan geopolitik. Pertukaran akademis, dialog strategis, dan kerja sama dalam riset dan pengembangan dapat menjadi ballast yang menstabilkan hubungan antar-negara bahkan ketika terjadi ketegangan di level politik tinggi.

Keamanan di Era Kompleksitas

Dunia pasca-Covid-19 adalah dunia yang lebih kompleks, lebih tidak pasti, dan berpotensi lebih berbahaya. Pandemi telah mempercepat tren-tren yang sudah ada—pergeseran kekuatan global ke Asia, fragmentasi tatanan liberal internasional, proliferasi ancaman non-tradisional—sambil menciptakan dinamika baru yang belum sepenuhnya kita pahami konsekuensinya.

Keamanan internasional tidak lagi dapat dipahami hanya melalui lensa military security atau balance of power tradisional. Ancaman datang dari segala arah—virus yang bermutasi, serangan siber yang melumpuhkan infrastruktur kritis, disinformasi yang merusak kohesi sosial, perubahan iklim yang memicu migrasi massal dan konflik sumber daya. Pendekatan comprehensive security yang mengintegrasikan dimensi tradisional dan non-tradisional, hard power dan soft power, state-centric dan human-centric, bukan lagi pilihan tetapi keharusan.

Bagi Indonesia dan negara-negara middle power lainnya, tantangannya adalah bagaimana memaksimalkan agency dalam sistem internasional yang semakin terpolarisasi. Ini memerlukan diplomasi yang cerdas, investasi strategis dalam kapabilitas yang meningkatkan kedaulatan, dan komitmen untuk membangun koalisi dengan negara-negara yang berbagi visi terhadap tatanan internasional yang lebih adil dan inklusif.

Pandemi Covid-19 telah menunjukkan bahwa keamanan sejati hanya dapat dicapai bersama. Tidak ada tembok yang cukup tinggi untuk menahan virus, tidak ada firewall yang cukup kuat untuk menghentikan serangan siber yang sophisticated, tidak ada tentara yang cukup besar untuk menaklukkan perubahan iklim. Paradoksnya, justru ketika interdependensi kita paling jelas terlihat, kecenderungan untuk unilateralisme dan fragmentasi semakin kuat.

Arsitektur keamanan global di era pasca-pandemi akan ditentukan oleh pilihan-pilihan yang kita buat hari ini. Apakah kita akan belajar dari kesalahan masa lalu dan membangun sistem yang lebih resilient dan inklusif? Ataukah kita akan mengulangi tragedi sejarah dengan membiarkan rivalitas kekuatan besar mendorong dunia menuju konfrontasi yang dapat dihindari? Pertanyaan ini bukan sekadar akademis—jawabannya akan menentukan keamanan dan kesejahteraan miliaran manusia di abad ke-21.