Apakah Topi Jerami dan Bendera Hitam akan Menjadi Instrumen Politik Baru di Kawasan Asia?
Apakah Topi Jerami dan Bendera Hitam akan Menjadi Instrumen Politik Baru di Kawasan Asia?

Penulis : Jihan Fakhirah Nami Harahap, Mahasiswa Hubungan Internasional

Ada kalimat yang kerap muncul dari mulut Luffy, sang protagonis dalam serial One Piece “If you don’t take risks, you can’t create a future.” terdengar sederhana, bahkan mungkin terdengar seperti kutipan motivasi khas anime. Namun, bagi sebagian anak muda di Asia hari ini, kalimat itu melampaui sekadar hiburan. Ia telah berubah menjadi bentuk ekspresi sosial dan politik yang penuh makna. Di tengah ketimpangan ekonomi, stagnasi politik, serta menurunnya kepercayaan terhadap kekuasaan, One Piece bukan lagi sekadar tontonan, melainkan refleksi dari keresahan dan harapan generasi muda terhadap masa depan. Ia menjadi semacam ideologi alternatif, bahasa simbolik baru yang digunakan untuk berbicara tentang kebebasan, keadilan, dan solidaritas di tengah keterbatasan ruang politik yang cendrung formal.

            Budaya populer memang tidak pernah kosong dari makna. Dalam perspektif cultural politics, setiap produk hiburan adalah arena pertarungan wacana antara kekuasaan dan perlawanan. One Piece menggambarkan perjuangan kelompok kecil melawan sistem dunia yang korup dan tidak adil. Kisah Luffy dan kawan-kawannya di kapal Thousand Sunny merefleksikan realitas global yang fokus mengemukakan ketimpangan, dominasi, serta perjuangan melawan otoritas yang menindas. Namun, yang paling menarik bukan hanya isi kisahnya, melainkan bagaimana publik memaknainya dan menggunakannya. Di Indonesia, fandom One Piece telah menembus batas ruang digital. Ia hadir di ruang sosial dan bahkan di jalanan. Dalam beberapa aksi mahasiswa dan protes sosial, simbol topi jerami, jargon “nakama”, dan kutipan “freedom above all” muncul dalam spanduk, mural, dan bendera protes. Fenomena ini menunjukkan bagaimana budaya pop berubah menjadi sarana komunikasi politik non-formal. Ia menjadi kode rahasia bagi masyarakat muda untuk mengekspresikan kritik tanpa harus berbicara dalam bahasa politik yang kaku, tanpa harus takut untuk bersuara. Di sini, budaya populer berfungsi sebagai soft resistance, sebuah perlawanan lunak yang tumbuh di tengah dominasi sistem politik konvensional.

            Fenomena ini tentu tidak berdiri sendiri. Dalam sejarah politik global, budaya pop kerap berperan sebagai sarana simbolik bagi ekspresi sosial. Dari musik punk di Inggris tahun 1980-an hingga film V for Vendetta yang melahirkan ikon topeng Guy Fawkes bagi kelompok Anonymous, budaya populer sering kali menjadi medium pembingkaian ulang terhadap kekuasaan. Kini, di Asia, peran itu diambil oleh simbol topi jerami dan bendera bajak laut. Di Nepal, The Kathmandu Post (2023) melaporkan munculnya kelompok muda bernama Straw Hat Youths, sebuah gerakan pro-demokrasi yang menjadikan simbol Luffy sebagai lambang keberanian dan kejujuran. Gerakan ini menolak korupsi, nepotisme, dan oligarki politik yang menjamur. Para anggotanya mengenakan topi jerami sebagai tanda solidaritas sosial dan moral, sembari menegaskan nilai-nilai keadilan dan kesetaraan. Netizen Nepal bahkan menyebut bahwa topi jerami telah menjadi “api kecil” yang membangkitkan semangat perjuangan di tengah apatisme politik negaranya.

            Fenomena serupa juga terjadi di Indonesia, meski dalam bentuk yang lebih cair dan kontekstual. Di berbagai demonstrasi dan komunitas sosial, One Piece digunakan sebagai simbol moralitas baru. Nilai-nilai seperti kebebasan, kesetiaan, dan keberanian melawan ketidakadilan diterjemahkan dari dunia fiksi ke realitas sosial. Generasi muda meminjam semangat “nakama” bukan untuk mengidolakan karakter fiksi, melainkan untuk membangun solidaritas dan komunikasi lintas kelas sosial. Bagi mereka, topi jerami bukan sekadar atribut fandom, melainkan metafora tentang keberanian menghadapi sistem yang tidak berpihak. Kedua kasus ini memperlihatkan bagaimana budaya global kini bertransformasi menjadi alat artikulasi lokal. Fiksi tidak lagi sebuah fantasi yang terpisah dari kenyataan, tetapi menjadi platform emosional yang menyatukan keresahan bersama. Seperti yang dijelaskan oleh Stuart Hall, makna budaya pop tidak bersifat tetap, ia dinegosiasikan antara pembuat dan penikmatnya. Ketika One Piece diinterpretasikan ulang oleh anak muda Asia sebagai kisah perlawanan moral, itu menandakan adanya proses reartikulasi terhadap simbol global ke dalam konteks lokal. Dalam hal ini, budaya global justru memperkaya perdebatan politik di tingkat nasional.

Apakah Ini Ancaman bagi Keamanan Nasional?

            Pertanyaan ini penting karena banyak pemerintah di Asia masih memandang stabilitas nasional sebagai ketiadaan konflik, bukan sebagai keberanian warga untuk berpikir kritis. Negara sering kali mengukur keamanan dari “diamnya” masyarakat, bukan dari terbukanya ruang bagi ekspresi imajinatif. Padahal, keamanan sejati justru lahir ketika rakyat memiliki keberanian untuk mengekspresikan pendapatnya tanpa takut dikriminalisasi. Penggunaan simbol fiksi seperti One Piece sebagai sarana komunikasi politik sering dianggap remeh atau bahkan berpotensi mengancam tatanan sosial. Namun, pendekatan seperti ini justru menjadi bentuk resistensi yang aman di tengah represi politik. Dalam masyarakat yang ruang demokrasinya terbatas, ekspresi kultural sering kali menjadi jalan keluar untuk menyuarakan kritik secara simbolik. Mengibarkan bendera bajak laut bukanlah ajakan untuk memberontak, tetapi peringatan bahwa generasi muda tidak ingin terus dibungkam.

            Jika pemerintah menganggap simbol anime bisa memicu perlawanan, maka mungkin yang harus dikaji bukan animenya, melainkan kondisi sosial yang membuat masyarakat merasa perlu mencari bahasa lain untuk berbicara. Dengan kata lain, One Piece bukanlah ancaman bagi keamanan nasional, melainkan cermin kegagalan komunikasi antara negara dan rakyatnya. Di titik inilah imajinasi fiksi berfungsi sebagai ruang alternatif untuk menyalurkan gagasan politik yang terpinggirkan.

            Joseph Nye dalam teori soft power-nya menegaskan bahwa kekuasaan tidak selalu datang dari paksaan (hard power), melainkan dari kemampuan memengaruhi cara berpikir dan bertindak orang lain. Negara sering menggunakan soft power melalui budaya, diplomasi, atau pendidikan untuk membentuk citra positif di dunia internasional, karena sejatinya, marwah sebuah negara bergantung pada politik domestiknya. Namun, dalam konteks ini, masyarakat justru membalikkan arah kekuatan itu. Melalui One Piece, generasi muda mengembangkan people’s soft power, kekuatan lunak dari bawah, yang bersumber dari solidaritas, bukan propaganda. Arjun Appadurai, dalam konsep imaginative resistance, menyebut bahwa globalisasi bukan hanya soal arus barang dan ide, tetapi juga tentang pergerakan imajinasi. Ketika anak muda di Nepal dan Indonesia menafsirkan One Piece sebagai perjuangan moral melawan ketidakadilan, mereka sedang melakukan perlawanan imajiner terhadap sistem yang membatasi kebebasan berpikir. Imajinasi kolektif inilah yang menjadi bahan bakar bagi transformasi sosial yang lebih luas.

Budaya Pop sebagai Bahasa Politik Baru

            Kita hidup di era di mana politik formal sering kehilangan daya tarik. Wacana kebangsaan terasa dingin dan kaku, sementara praktik politik sering kali terjebak dalam kepentingan elit. Di sisi lain, budaya pop menghadirkan bahasa yang lebih cair, inklusif, dan relatable bagi generasi muda. Ketika pemerintah gagal berkomunikasi dengan rakyat muda, fandom, meme, dan simbol visual menjadi bentuk politik baru yang lebih efektif. Fenomena ini memperlihatkan bahwa politik masa kini tidak selalu hadir di parlemen atau ruang debat akademik, tetapi juga di layar, komunitas daring, dan festival budaya. Dengan mengenakan topi jerami atau mengibarkan bendera hitam bergambar tengkorak, anak muda sesungguhnya sedang menyampaikan pesan politik dengan cara yang kreatif, menolak ketidakadilan, menuntut kebebasan, dan menegaskan identitas kolektif mereka sebagai warga yang sadar sosial.

            Bahkan, dalam banyak kasus, kekuatan budaya pop dapat menumbuhkan kesadaran politik yang lebih luas. Nilai-nilai persahabatan, keberanian, dan kebebasan yang diangkat One Piece menjadi pengantar bagi pembentukan empati sosial diluar batas. Hal ini sejalan dengan konsep emotional community dari Barbara Rosenwein, di mana emosi bersama dapat menciptakan solidaritas sosial yang melampaui struktur formal.

Imajinasi sebagai Tindakan Politik

            Kita mungkin tidak akan pernah menemukan “One Piece” yang sesungguhnya, tetapi kita bisa memahami makna di balik perjalanannya. Ketika generasi muda menjadikan topi jerami dan bendera bajak laut sebagai simbol keberanian, mereka tidak sedang mengancam negara. Mereka sedang mencari cara baru untuk mencintai negaranya yaitu dengan menolak ketidakadilan dan menuntut kebebasan berpikir.

            Mungkin inilah saatnya bagi negara berhenti takut pada imajinasi, dan mulai mengevaluasi. Sebab di era ketika politik kehilangan moral, hanya dunia fiksi yang masih mampu mengajarkan arti keberanian. Imajinasi tidak mengancam, bahkan tidak membungkam, tetapi menumbuhkan kesadaran baru tentang bagaimana dunia seharusnya berjalan. Dan mungkin, di antara riuhnya protes, mural, dan bendera bajak laut yang berkibar, kita sedang menyaksikan lahirnya bentuk politik baru, yang dimana, politik berangkat dari empati, dari solidaritas, dan dari harapan sederhana untuk hidup di dunia yang lebih adil.