Apakah One Piece Mengancam Keamanan Nasional Indonesia?
Penulis : Muhammad Afdhilan Nadlindyaz (Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional)
Peristiwa 25 Agustus 2025 mencatat babak baru dalam kronologi aksi protes masyarakat Indonesia. Massa yang terdiri dari mahasiswa dan warga sipil memadati jalanan untuk menyuarakan penolakan terhadap keputusan pemerintah yang mengundang kontroversi, yakni menambah besaran remunerasi legislatif DPR yang dianggap tak berbanding lurus dengan kondisi perekonomian rakyat yang tengah tertekan. Aspek yang mencuri sorotan dari aksi tersebut bukan terletak pada besarnya jumlah demonstran, namun pada pemilihan simbol yang mereka usung: sebuah panji berwarna kelam dengan ilustrasi tengkorak mengenakan topi dari Jerami ikon dari kelompok Bajak Laut Topi Jerami dalam serial animasi asal Negeri Sakura, One Piece. Komik strip ciptaan Eiichiro Oda yang terbit mulai 1999 ini menceritakan perjalanan Monkey D. Luffy beserta awak kapalnya menjelajahi samudra untuk meraih pusaka legendaris seraya memberantas praktik kezaliman. Karya ini telah mencatatkan rekor penjualan menembus angka setengah miliar kopi secara global dan memiliki basis pendukung yang sangat antusias di tanah air, menjadikan One Piece sebagai gejala kultural yang melampaui dimensi entertainment semata. Hadirnya panji tersebut di tengah gelombang demonstrasi memicu diskursus: apakah adopsi lambang dari industri hiburan asing dalam konteks pergerakan politik mengindikasikan degradasi jati diri bangsa? Lebih lanjut, dapatkah fenomena kepopuleran One Piece yang begitu luas ini dikategorikan sebagai bahaya terhadap keamanan nasional Republik Indonesia?
Pertanyaan tersebut memiliki basis yang cukup substansial untuk ditelisik lebih dalam. Pemahaman tentang keamanan nasional kontemporer telah mengalami perluasan melampaui batasan konvensional yang semata-mata menitikberatkan pada aspek pertahanan bersenjata. Barry Buzan melalui kerangka pemikiran Copenhagen School of Security Studies memaparkan bahwa keamanan nasional mengintegrasikan lima dimensi: militer, politik, ekonomi, sosial, dan identitas kultural. Manakala angkatan muda memilih menggunakan lambang dari bacaan komik Jepang alih-alih menggunakan simbol-simbol heroisme nasional seperti Bambu Runcing atau lambang Garuda Pancasila, fenomena ini dapat dimaknai sebagai potensi bahaya terhadap dimensi identitas kultural. Kondisi semakin rumit dengan adanya indikasi ucapan provokatif dari sejumlah wakil rakyat yang terkesan merendahkan masyarakat, memperkeruh kemarahan massa dan mempertajam konflik politik. Dalam suasana demikian, tak mengejutkan bila One Piece dijadikan pihak yang bertanggung jawab atas "pengikisan karakter kebangsaan."
Akan tetapi, esai ini mengajukan proposisi bahwa One Piece beserta pemanfaatan simbolnya tidak layak diidentifikasi sebagai ancaman bagi keamanan nasional Indonesia. Gejala ini justru memperlihatkan dinamika dalam kultur politik generasi muda yang membutuhkan pemahaman yang menyeluruh alih-alih kekhawatiran yang tidak proporsional. Untuk sampai pada konklusi tersebut, penulis akan mengkaji berbagai sudut pandang: dari kegelisahan mengenai hegemoni budaya luar negeri hingga prinsip-prinsip universal One Piece yang ternyata harmonis dengan spirit perjuangan Indonesia, serta mengomparasikannya dengan ancaman keamanan nasional yang lebih substansial dan urgen untuk ditangani.
One Piece mulai dikenal di Indonesia pada permulaan dekade 2000-an dan popularitasnya terusmengalami peningkatan eksponensial. Saat ini bukan lagi sekadar sajian hiburan untuk kalangan anak-anak, melainkan telah berubah menjadi fenomena kultural yang melintasi batasan usia. Berdasarkan informasi dari Asosiasi Anime Indonesia (2024), Indonesia memiliki kurang lebih 15 juta penikmat anime yang aktif, dengan One Piece masuk dalam tiga besar anime paling populer. Komunitas penikmat One Piece sangat kompak, menyebar di berbagai platform digital, kelompok jejaring sosial, dan acara konvensi yang berhasil menarik ribuan partisipan. Produk-produk dagangan One Piece mulai dari miniatur karakter hingga busana—memenuhi pasar dengan estimasi nilai jual mencapai ratusan miliar rupiah setiap tahunnya. Prinsip-prinsip dalam One Piece seperti ikatan persahabatan, supremasi keadilan, dan resistensi terhadap tirani berhasil menyentuh kalbu generasi muda Indonesia. Karakter protagonis Monkey D. Luffy yang memiliki ambisi menjadi Raja Bajak Laut divisualisasikan sebagai figur yang memiliki keberanian melawan tatanan yang korup, memihak kepada yang termarjinalkan, dan tidak mudah menyerah tema yang bersifat universal dan selaras dengan riwayat perjuangan Indonesia menghadapi kolonialisme.
Kepopuleran One Piece merupakan fragmen dari dominasi soft power Jepang di Indonesia. Joseph Nye mendefinisikan soft power sebagai kapabilitas suatu negara untuk mempengaruhi negara lain lewat daya pikat budaya, nilai-nilai politik, dan orientasi kebijakan luar negerinya. Informasi dari Japan Foundation (2023) memperlihatkan Indonesia sebagai pangsa pasar terbesar untuk budaya pop Jepang di kawasan Asia Tenggara. Anime, manga, musik J-pop, dan berbagai produk kebudayaan Jepang lainnya mengalami perkembangan signifikan dalam dua dasawarsa terakhir. Generasi muda Indonesia dibesarkan dengan Naruto, Dragon Ball, dan Attack on Titan. Bahasa Jepang menjadi bahasa internasional yang paling diminati setelah bahasa Inggris. Dalam perspektif keamanan nasional yang mencakup aspek budaya, dominasi produk budaya populer dari luar negeri termasuk One Piece berpotensi mengancam identitas nasional, khususnya apabila generasi penerus lebih akrab dengan simbol-simbol budaya asing dibandingkan dengan budaya lokal.
Kekhawatiran terhadap infiltrasi budaya asing bukanlah diskursus yang baru muncul. Sejak era Orde Baru, pemerintah Indonesia telah menunjukkan kewaspadaan terhadap penetrasi budaya Barat dan kemudian budaya Asia Timur yang dipandang berpotensi menggerus nilai-nilai tradisional. Dalam konteks One Piece, terdapat sejumlah argumentasi yang menyokong pandangan bahwa gejala ini berpotensi membahayakan keamanan nasional. Pertama, pemanfaatan panji Topi Jerami dalam aksi protes mengindikasikan terjadinya krisis simbolisme kebangsaan. Indonesia sesungguhnya memiliki kekayaan simbol perjuangan dan kepahlawanan yang telah teruji Garuda Pancasila, Bambu Runcing, tokoh seperti Soekarno dan Hatta. Ketika generasi muda lebih memilih simbol dari manga Jepang untuk mengekspresikan aspirasi politik mereka, hal ini mengindikasikan memudarnya kesadaran historis. Survei Litbang Kompas (2024) memperlihatkan hanya 42% dari generasi Z yang mengenal pahlawan nasional di luar Soekarno-Hatta, sebuah kondisi yang mengkhawatirkan bagi kelangsungan cita-cita bangsa.
Kedua, popularitas One Piece mencerminkan dependensi kultural terhadap produk impor. Industri kreatif Indonesia, terutama di bidang animasi dan komik, masih jauh tertinggal. Anak-anak muda Indonesia mengkonsumsi konten budaya asing sementara produk dalam negeri sering dipandang kurang menarik. Dalam jangka panjang, generasi muda berisiko kehilangan akar budaya mereka dan menjadi konsumen pasif. Implikasi ekonominya cukup signifikan miliaran rupiah mengalir keluar negeri untuk membeli merchandise dan lisensi One Piece. Ketiga, konsep "bajak laut" sebagai lambang kebebasan menimbulkan ambiguitas moral. Indonesia menghadapi permasalahan serius terkait pembajakan di perairan Malaka. Mengadopsi simbol bajak laut dapat meromantisasi tindakan kriminal dan melemahkan otoritas negara. Keempat, fenomena ini memperkuat persepsi bahwa generasi muda Indonesia lebih terpengaruh budaya asing ketimbang nilai-nilai Pancasila. Ketika kohesi sosial dan identitas nasional menjadi penting menghadapi radikalisme dan disinformasi, ketergantungan pada simbol asing dapat melemahkan ketahanan nasional.
Meskipun argumentasi di atas memiliki basis tertentu, terdapat argumentasi kuat yang menolak pandangan bahwa One Piece mengancam keamanan nasional. Pertama, prinsip-prinsip yang diusung One Piece sejatinya bersifat universal dan selaras dengan spirit perjuangan Indonesia. Tema melawan ketidakadilan, membela yang lemah, dan solidaritas adalah nilai-nilai dalam sejarah kemerdekaan Indonesia. Soekarno berbicara tentang perlawanan terhadap imperialisme, tidak berbeda jauh dengan narasi Luffy melawan Pemerintah Dunia yang korup. Penggunaan panji Topi Jerami bukan bentuk pengkhianatan identitas, melainkan cara generasi muda mengekspresikan nilai perjuangan dengan bahasa yang mereka pahami. Riset Universitas Indonesia (2024) tentang gerakan sosial generasi Z memperlihatkan 78% responden menyatakan simbol pop culture membantu mengkomunikasikan aspirasi politik lebih efektif kepada sesama generasi muda.
Kedua, fenomena One Piece memperlihatkan bahwa generasi muda Indonesia memiliki literasi budaya yang tinggi dan kapabilitas mengadaptasi simbol global untuk konteks lokal. Pemanfaatan panji Topi Jerami adalah contoh apropriasi budaya yang kreatif simbol asing untuk tujuan politik lokal yang spesifik. Generasi muda bukan konsumen pasif, tetapi mampu memaknai ulang budaya sebagai instrumen untuk menyuarakan kritik. Kemampuan bernavigasi di antara berbagai budaya dan menggunakannya secara strategis adalah aset penting di era globalisasi. Perbandingan dengan gerakan #MilkTeaAlliance di Asia Tenggara memperlihatkan pola serupa generasi muda menggunakan simbol pop culture untuk solidaritas politik lintas negara, menciptakan identitas transnasional yang kuat tanpa menghilangkan identitas lokal mereka.
Ketiga, dari perspektif soft power, popularitas One Piece mencerminkan relasi bilateral yang sehat antara Indonesia dan Jepang. Jepang adalah mitra dagang terbesar dan investor penting dalam pembangunan infrastruktur Indonesia. Hubungan people-to-people melalui budaya populer memperkuat ikatan diplomatik dan ekonomi. Industri One Piece membuka peluang ekonomi bagi pelaku usaha lokal distributor resmi, penyelenggara acara, dan pengrajin merchandise. Komunitas penggemar sering mengadakan kegiatan sosial seperti donor darah dan penggalangan dana untuk bencana, memperlihatkan bahwa budaya populer dapat menjadi medium untuk aksi sosial positif.
Keempat, jika membandingkan dengan ancaman keamanan nasional yang sesungguhnya, klaim One Piece mengancam keamanan nasional menjadi tidak proporsional. Indonesia menghadapi ancaman nyata: terorisme yang masih aktif (BNPT mencatat 38 insiden terkait terorisme pada 2024), radikalisme agama mengancam toleransi, korupsi sistemik menggerogoti institusi (Indonesia berada di peringkat 110 dari 180 negara dalam Corruption Perception Index 2024), kejahatan siber meningkat 67% (data Kemenkominfo 2024), disinformasi merusak demokrasi, kerusakan lingkungan, dan ketimpangan ekonomi.
Penting untuk dicatat bahwa identitas nasional bukanlah sesuatu yang statis. Indonesia sendiri merupakan produk dari hibriditas budaya: pengaruh Hindu-Buddha dari India, Islam dari Timur Tengah, kolonialisme Belanda. Identitas yang kuat adalah identitas yang mampu berdialog dengan budaya lain, mengadopsi elemen positif, dan mempertahankan nilai fundamental. Generasi muda yang menggunakan simbol One Piece untuk kritik politik justru memperlihatkan kemampuan mentranslasi budaya global untuk kepentingan local bentuk agensi budaya, bukan kelemahan. Studi komparatif dengan Korea Selatan yang sukses membangun industri kreatif kuat (Korean Wave) sambil mempertahankan identitas nasional menunjukkan bahwa konsumsi budaya asing dan produksi budaya lokal bisa berjalan beriringan dengan kebijakan yang tepat.
Dari perspektif kebijakan publik, respons yang tepat bukanlah represi melainkan penguatan industri kreatif lokal dan literasi media. Solusinya adalah menciptakan produk budaya lokal yang berkualitas dan relevan bagi generasi muda. Indonesia memiliki kekayaan cerita dan legenda yang bisa diadaptasi menjadi konten menarik. Pemerintah dan swasta perlu berinvestasi dalam industri animasi, komik, film, dan game lokal yang berkualitas tinggi. Pendidikan literasi media yang mengajarkan generasi muda untuk kritis terhadap konten, memahami konteks budaya, dan mengapresiasi keragaman budaya sangat penting. Kesuksesan Thailand dengan animasi Khan Kluay dan Malaysia dengan Ejen Ali menunjukkan bahwa dengan investasi dan kebijakan tepat, produk budaya lokal bisa bersaing dengan produk internasional.
Kesimpulannya, klaim bahwa One Piece mengancam keamanan nasional adalah berlebihan dan tidak didukung bukti yang kuat. Fenomena pemanfaatan panji Topi Jerami perlu dipahami dalam konteks luas tentang bagaimana generasi muda mengekspresikan aspirasi politik dengan bahasa mereka. Nilai-nilai One Piece selaras dengan nilai perjuangan Indonesia, dan kemampuan generasi muda mengadaptasi simbol global memperlihatkan literasi budaya yang tinggi, bukan krisis identitas. Dibandingkan ancaman sesungguhnya seperti terorisme, korupsi, dan disinformasi, isu One Piece sangat minor. Yang lebih penting adalah merespons isu substantif yang diangkat demonstran: ketidakpuasan terhadap kenaikan gaji DPR dan dugaan pernyataan provokatif anggota DPR masalah governance dan akuntabilitas politik yang lebih relevan dengan keamanan nasional. Respons konstruktif adalah memperkuat industri kreatif lokal, meningkatkan literasi media, dan memfasilitasi dialog antargenerasi. Identitas nasional yang kuat bukanlah identitas yang menutup diri dari pengaruh luar, melainkan yang mampu berdialog dengan budaya global sambil mempertahankan nilai fundamental bangsa. Dalam konteks ini, One Piece dapat menjadi jembatan untuk membangun generasi muda Indonesia yang berwawasan global, kritis, dan tetap berakar pada nilai kebangsaan.
