Apakah One Piece akan mengancam pemerintahan Indonesia?
Apakah One Piece akan mengancam pemerintahan Indonesia?

Penulis : Muhammad Fakhrel Ibad Rifqi (Mahasiswa Hubungan Internasional FISIP UIN Jakarta)

One Piece merupakan serial animasi asal Jepang yang telah menjadi fenomena global sejak akhir 1990-an. Ceritanya berpusat pada petualangan Monkey D. Luffy dan kru bajak lautnya, Straw Hat Pirates, dalam mencari kebebasan sejati di dunia yang penuh dengan ketidakadilan dan tirani kekuasaan. Lambang tengkorak dengan topi jerami yang mereka gunakan bukan sekadar identitas, tetapi simbol dari perlawanan terhadap otoritas yang menindas. Di Indonesia, simbol ini mendadak menjadi viral setelah banyak digunakan oleh para demonstran dalam berbagai aksi sosial dan politik dalam beberapa waktu terakhir. Fenomena tersebut menimbulkan kekhawatiran di kalangan pemerintah, karena dianggap membawa pesan perlawanan yang bisa menggoyahkan stabilitas nasional.

Kemunculan simbol One Piece dalam konteks aksi demokrasi tidak terjadi tanpa alasan. Masyarakat, khususnya Gen Z, merasa bahwa pesan moral yang dibawakan oleh serial One Piece ini selaras dengan situasi sosial yang mereka alami: ketidakadilan, ketimpangan ekonomi, dan menurunnya kepercayaan terhadap elit politik. Karakter Luffy digambarkan sebagai sosok yang menolak tunduk pada kekuasaan yang korup, sehingga mudah diidentifikasi sebagai lambang perjuangan rakyat melawan penindasan. Akibatnya, simbol tengkorak topi jerami berubah dari sekadar ikon fiksi menjadi alat untuk menunjukkan ekspresi politik yang kuat. Bagi sebagian pihak, ini menunjukkan kebangkitan kesadaran kritis masyarakat, namun bagi pemerintah, hal ini dapat menjadi indikasi awal munculnya gerakan antiotoritas.

Menurut perspektif saya, fenomena semacam ini patut diperhatikan secara serius. Keamanan nasional tidak hanya terancam oleh kekuatan militer asing saja, tetapi juga oleh perubahan pola pikir masyarakat yang dapat mengguncang legitimasi negara. Ketika sebuah simbol fiksi menjadi kendaraan bagi ekspresi politik rakyat, maka negara perlu membaca tanda-tanda sosial di baliknya, bukan sekadar menilai dari permukaannya. Semangat kebebasan yang diusung One Piece bisa menjadi energi positif bila diarahkan dengan baik, namun bisa pula menjadi kekuatan destruktif jika dibiarkan berkembang tanpa kendali. Apalagi, dalam era media digital, penyebaran simbol dan makna politik dapat terjadi dengan sangat cepat dan masif.

Pemerintah perlu memahami bahwa fenomena One Piece ini merupakan sebuah cerminan dari krisis kepercayaan yang mulai tumbuh di tengah masyarakat. Rakyat menggunakan simbol tersebut bukan karena ingin menggulingkan kekuasaan, melainkan karena mereka mencari representasi moral atas rasa frustrasi terhadap ketimpangan dan kurangnya ruang dialog. Dalam konteks ini, penggunaan simbol bajak laut justru menggambarkan aspirasi yang tidak tersalurkan melalui saluran politik formal. Jika pemerintah meresponsnya dengan tindakan represif atau pembatasan, maka hal itu justru memperkuat persepsi bahwa negara tidak berpihak pada rakyat. Situasi seperti ini dapat menimbulkan gelombang ketidakpuasan yang lebih besar dan mengancam keamanan sosial.

Pesan utama dalam One Piece yang menekankan mengenai betapa pentingnya kebebasan tanpa batas perlu disikapi dengan hati-hati. Dalam konteks sistem demokrasi Pancasila, kebebasan memiliki batas yang diatur oleh hukum dan tanggung jawab sosial. Jika masyarakat menafsirkan kebebasan ala Luffy secara absolut tanpa menghormati struktur negara dan hukum maka hal itu dapat memicu perilaku anarkis. Rakyat bisa merasa bahwa melawan negara adalah tindakan moral yang benar, sebagaimana Luffy melawan pemerintah dunia dalam cerita. Ketika ide seperti ini melebur dengan kekecewaan terhadap sistem politik, ia bisa menumbuhkan gerakan sosial yang sulit dikendalikan dan berpotensi mengancam stabilitas nasional.

Karena itu, menurut saya pemerintah tidak boleh menganggap hal ini sebagai hanya sekadar tren hiburan atau reaksi emosional sesaat. Ia harus dipahami sebagai gejala politik yang memiliki dimensi keamanan jangka panjang. Negara perlu membuka ruang dialog yang lebih luas agar nilai kebebasan yang diusung masyarakat tidak berkembang menjadi bentuk perlawanan destruktif. Dialog ini penting bukan hanya untuk meredakan tensi sosial, tetapi juga untuk memulihkan kepercayaan rakyat terhadap legitimasi negara. Pemerintah harus mampu menunjukkan bahwa kebebasan tidak harus dicapai melalui perlawanan, tetapi bisa diwujudkan melalui kolaborasi dan reformasi kebijakan yang nyata.

Selain itu, lembaga pendidikan dan media memiliki peran yang sangat penting dalam membangun sebuah pemikirian kritis bagi masyarakat terhadap simbol-simbol seperti One Piece. Pendidikan politik yang sehat harus mampu menjelaskan bahwa perjuangan untuk kebebasan tidak berarti menolak keberadaan negara, tetapi mendorongnya menjadi lebih adil dan transparan. Jika ruang edukasi ini diabaikan, maka masyarakat akan mencari interpretasi sendiri yang belum tentu sesuai dengan nilai-nilai nasional. Di sinilah letak ancaman nyata terhadap keamanan nasional bukan dari simbol bajak laut itu sendiri, tetapi dari kegagalan negara dalam mengelola narasi yang berkembang di masyarakat. Ketika narasi perlawanan lebih dipercaya daripada narasi resmi pemerintah, maka legitimasi negara menjadi lemah.

Dengan demikian, ancaman One Piece terhadap keamanan nasional Indonesia bukanlah sebuah ancaman langsung, melainkan ancaman potensial yang muncul akibat ketidakhadiran negara dalam mengelola makna publik. Pemerintah perlu memperkuat komunikasi politik, merespons keresahan rakyat, dan mengakomodasi nilai kebebasan dalam batas yang konstruktif. Ketika simbol perlawanan muncul, itu bukan sekadar masalah citra, tetapi tanda bahwa ada sesuatu yang belum terselesaikan di tubuh sosial bangsa. Negara yang responsif tidak akan memusuhi simbol tersebut, melainkan menjadikannya refleksi untuk memperbaiki diri. Jika hal ini diabaikan, maka One Piece dapat berubah dari sekadar karya fiksi menjadi simbol perlawanan nyata terhadap pemerintah yang kehilangan empati.

Jadi menurut opini pribadi saya, One Piece bukan sebuah ancaman dalam arti konspiratif atau ideologis, tetapi bisa menjadi pemicu instabilitas jika dibiarkan berkembang tanpa pengelolaan yang bijak. Arti kebebasan yang diusung serial ini bisa menginspirasi perjuangan moral, namun juga dapat dimanfaatkan sebagai legitimasi perlawanan terhadap otoritas negara. Pemerintah harus memandang fenomena ini sebagai peringatan dini akan pentingnya memperkuat hubungan dengan rakyat melalui komunikasi, kebijakan yang adil, dan keterbukaan terhadap kritik. Keamanan nasional di era modern tidak hanya dijaga dengan kekuatan fisik, tetapi juga dengan kepercayaan publik. Jika pemerintah gagal membaca makna di balik simbol One Piece, maka ancaman terbesar bukan datang dari luar negeri, melainkan dari rakyatnya sendiri yang kehilangan rasa percaya terhadap negaranya.

Pada akhirnya, maraknya penggunaan simbol One Piece ini menjadi sebuah ujian bagi kedewasaan politik Indonesia dalam menghadapi dinamika sosial yang terus berkembang. Negara yang kuat bukanlah negara yang menekan ekspresi rakyatnya, tetapi yang mampu menyalurkan semangat kebebasan menjadi kekuatan untuk membangun. Apabila pemerintah mampu mengubah gelombang simbol perlawanan ini menjadi energi demokrasi yang positif, maka keamanan nasional justru akan semakin kokoh. Namun, jika simbol ini terus diabaikan dan ditanggapi dengan ketakutan, maka ia bisa menjadi bumerang yang mengikis legitimasi negara. Karena itu, masa depan keamanan Indonesia sangat bergantung pada sejauh mana pemerintah mampu memahami bahwa suara rakyat, bahkan lewat simbol fiksi, tetaplah bagian dari realitas politik yang tak bisa diabaikan.

Lebih dari sekadar isu budaya yang populer, fenomena One Piece menyingkap realitas bahwa masyarakat modern tidak lagi tunduk pada narasi tunggal negara. Mereka mencari identitas, simbol, dan nilai baru yang lebih dekat dengan pengalaman hidup mereka. Dalam konteks ini, tugas negara bukan menghapus simbol-simbol tersebut, melainkan merangkulnya sebagai bagian dari wacana publik yang sehat. Jika negara mampu berdialog dengan budaya dan bukan menentangnya, maka kebebasan dan keamanan dapat berjalan beriringan. Sebab, dalam dunia yang semakin terhubung, menjaga keamanan nasional berarti juga menjaga kepercayaan dan kebersamaan di antara rakyatnya sendiri.

Seharusnya hal seperti ini menjadi sebuah momentum refleksi bagi para pemerintah untuk memperkuat komunikasi politik dan memperbaiki kebijakan publik. Rakyat yang memilih menggunakan simbol One Piece sebenarnya sedang mengirim pesan tentang keinginan mereka untuk mendapatkan keadilan, transparansi, dan kebebasan berpendapat. Pemerintah perlu menanggapi pesan ini bukan dengan kecurigaan, tetapi dengan keterbukaan. Ketika negara mau mendengarkan dan menyalurkan aspirasi rakyat secara demokratis, maka potensi ancaman dapat diubah menjadi kekuatan sosial yang konstruktif. Dalam konteks ini, keamanan nasional bukan sekadar persoalan mengamankan negara dari ancaman, tetapi juga menjaga hubungan timbal balik antara negara dan rakyat.

Simbol One Piece ini dapat menjadi sebuah cerminan dari kebutuhan rakyat terhadap simbol harapan baru. Ketika simbol negara dianggap jauh dari rakyat, maka rakyat akan menciptakan simbol tandingan yang mewakili aspirasi mereka sendiri. Inilah bentuk pergeseran kekuasaan simbolik dalam masyarakat modern: rakyat tidak lagi hanya menjadi penerima narasi, tetapi juga pencipta narasi baru. Jika pemerintah gagal menyadari hal ini, maka legitimasi politik bisa terkikis dari dalam, bukan oleh ancaman militer, tetapi oleh kehilangan makna di mata rakyatnya sendiri. Oleh karena itu, memahami One Piece sebagai fenomena politik adalah langkah penting untuk membaca denyut sosial bangsa hari ini.

Maraknya  simbol One Piece ini juga memberi pelajaran tentang bagaimana keamanan nasional kini harus dipahami secara multidimensional. Ancaman tidak hanya datang dari luar negeri, melainkan juga dari dalam negeri melalui ekspresi sosial, ideologis, dan simbolik. Ketika rakyat merasa terpinggirkan dan kehilangan saluran aspirasi, simbol seperti One Piece bisa menjadi bendera alternatif untuk menyalurkan frustrasi kolektif. Pemerintah yang bijak akan mengelola ekspresi tersebut dengan pendekatan humanis dan komunikatif, bukan represif. Sebab, keamanan sejati hanya dapat tercipta ketika negara hadir bukan sebagai pengawas, tetapi sebagai pelindung dan pendengar rakyatnya.

Pada akhirnya, makna dari fenomena ini bukan tentang One Piece semata, tetapi tentang sejauh mana negara dapat memahami perubahan zaman. Generasi muda kini terutama Gen Z tidak lagi bisa dikontrol dengan propaganda klasik atau pembatasan simbol. Mereka mencari narasi yang autentik, jujur, dan memberi ruang bagi kebebasan berpikir. Jika pemerintah mampu membaca semangat ini sebagai peluang, bukan ancaman, maka lahirlah model keamanan nasional baru yang berbasis kepercayaan sosial. Sebaliknya, jika simbol ini terus dianggap sebagai musuh, maka Indonesia berisiko melahirkan jarak emosional antara negara dan generasi penerusnya sendiri.

Maka dari itu, One Piece bukan hanya karya animasi tentang pencarian harta karun, melainkan refleksi tentang pencarian makna kebebasan di tengah sistem yang tidak sempurna. Indonesia perlu belajar bahwa menjaga keamanan tidak selalu berarti membungkam, tetapi mendengar dan memahami. Ketika pemerintah mampu mengubah gelombang simbol perlawanan menjadi dialog kebangsaan, maka keamanan nasional tidak hanya terjaga tetapi juga diperkuat oleh cinta dan kepercayaan rakyatnya. Karena sejatinya, ancaman terbesar bagi negara bukanlah kebebasan rakyat, melainkan ketika negara gagal memahami makna kebebasan itu sendiri.

Pada akhirnya, fenomena maraknya penggunaan simbol One Piece ini telah mengajarkan bahwa kebebasan sejati bukan sekadar tentang melawan kekuasaan, melainkan tentang memperjuangkan nilai keadilan dan solidaritas tanpa kehilangan arah moral. Begitu pula dengan Indonesia, kebebasan yang diperjuangkan rakyatnya harus diiringi oleh negara yang mau mendengar dan menghargai aspirasi warganya. Pemerintah tidak perlu takut pada simbol-simbol rakyat selama mampu memaknai pesan di baliknya dengan bijak. Sebab keamanan nasional sejati tidak diukur dari seberapa kuat negara menekan suara perlawanan, tetapi dari seberapa mampu negara menjadikan perbedaan pandangan sebagai kekuatan untuk memperkuat persatuan. Jika hal ini bisa diwujudkan, maka One Piece bukan ancaman bagi Indonesia melainkan pengingat bahwa kebebasan dan keadilan adalah harta karun sejati yang seharusnya dijaga bersama.