Apakah Bendera One Piece Mengancam Keamanan Nasional Indonesia?
Penulis : Ananda Alifia Putri (Mahasiswa Semester 5 Ilmu Hubungan Internasional FISIP UIN Jakarta).
Pendahuluan
One Piece adalah salah satu karya fiksi paling berpengaruh dalam budaya populer modern. Diciptakan oleh Eiichiro Oda pada 1997, serial ini menjadi fenomena global yang melampaui batas hiburan. Ceritanya mengikuti petualangan Monkey D. Luffy dan kelompok bajak lautnya, Straw Hat Pirates, dalam mencari harta karun legendaris bernama One Piece. Namun di balik kisah petualangan itu, Oda menyelipkan kritik sosial dan politik yang kuat tentang kebebasan, keadilan, dan perlawanan terhadap sistem otoriter bernama World Government.
Di Indonesia, popularitas One Piece juga besar. Dari anak muda hingga orang dewasa, serial ini menjadi bagian dari budaya sehari-hari. Merchandise-nya mudah ditemukan, dan bendera bajak laut Jolly Roger sering dikibarkan dalam acara komunitas. Namun, menjelang peringatan HUT ke-80 RI, muncul kontroversi setelah bendera Jolly Roger dikibarkan dalam kegiatan publik. Pemerintah menilai tindakan itu tidak pantas dan bisa mencederai kehormatan bendera Merah Putih.
Sebaliknya, banyak penggemar menganggap pengibaran bendera itu bukan tindakan melecehkan, melainkan bentuk solidaritas terhadap nilai-nilai yang diperjuangkan oleh Luffy dan kelompoknya, yaitu kebebasan, kejujuran, dan keberanian melawan kekuasaan yang korup. Dalam dunia One Piece, Jolly Roger adalah lambang penolakan terhadap sistem yang menindas. Maka ketika simbol itu dikibarkan di dunia nyata, ia berubah menjadi pernyataan simbolik tentang ketidakpercayaan terhadap otoritas.
Narasi One Piece: Dari Fiksi ke Dunia Nyata
Untuk memahami mengapa Jolly Roger bisa dianggap bermuatan politik, kita perlu menengok isi ceritanya. Sejak awal, One Piece tidak hanya kisah petualangan mencari harta karun, melainkan tentang perlawanan terhadap otoritas global. World Government digambarkan sebagai kekuasaan yang menutupi kebenaran sejarah, menindas kebebasan, dan memelihara ketimpangan. Di titik ini, Jolly Roger memperoleh makna baru, bukan sekadar tanda kelompok bajak laut, tetapi simbol pembangkangan terhadap sistem.
Arc Enies Lobby menjadi salah satu contoh paling jelas. Ketika Robin diculik karena mengetahui rahasia sejarah, Luffy memerintahkan Usopp membakar bendera World Government sebagai tanda penolakan terhadap kekuasaan yang dianggap tidak adil. Dalam logika politik, tindakan itu adalah bentuk simbolik dari penolakan terhadap otoritas yang kehilangan moralitas. Tidak heran bila di dunia nyata, sebagian masyarakat memaknai pengibaran Jolly Roger sebagai simbol kritik terhadap pemerintah yang dianggap abai terhadap suara rakyat.
Arc lain memperkuat makna ini. Alabasta menggambarkan manipulasi informasi oleh penguasa, Dressrosa menampilkan negara boneka yang dikendalikan aktor kriminal, Skypiea mengkritik tirani agama, sementara Wano menggambarkan perjuangan rakyat melawan sistem feodal yang menindas. Semua arc tersebut menegaskan pesan yang sama, bahwa Jolly Roger adalah simbol kebebasan, keberanian, dan perlawanan terhadap ketidakadilan.
Ketika Simbol Fiksi Dianggap Ancaman: Pandangan Negara atas Bendera One Piece
Bagi negara, bendera bukan sekadar kain yang berkibar, melainkan simbol kehormatan dan kedaulatan nasional. Hal ini ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, yang melarang penggunaan bendera lain sejajar dengan Merah Putih, terutama dalam acara resmi. Karena itu, pengibaran Jolly Roger dianggap berpotensi menodai kesakralan simbol negara.
Namun, logika hukum ini tidak berdiri di ruang kosong. Ia beroperasi di tengah konteks sosial di mana budaya populer memiliki kekuatan simbolik yang semakin besar. Dalam perspektif pemerintah, kekuatan inilah yang membuat bendera One Piece menjadi “berbahaya”. Jolly Roger bukan sekadar gambar tengkorak dengan topi jerami, tetapi simbol perlawanan terhadap kekuasaan yang korup, sebuah pesan yang sangat jelas dalam narasi One Piece itu sendiri. Negara khawatir makna tersebut dapat dibaca ulang oleh publik sebagai kritik terhadap kekuasaan. Dengan kata lain, bendera ini menyinggung aspek yang paling sensitif bagi negara, yaitu legitimasi dan otoritas.
Negara memang memiliki hak untuk melindungi simbol nasionalnya, tetapi langkah hukum terhadap simbol non-negara harus mempertimbangkan konteks dan niat pelaku. Jika pengibaran Jolly Roger tidak bermaksud menggantikan simbol negara, maka tindakan itu semestinya dilihat sebagai ekspresi budaya, bukan bentuk pelecehan. Namun dalam praktiknya, logika keamanan sering kali mengalahkan logika kebebasan. Negara lebih memilih bersikap reaktif untuk menjaga kehormatan simboliknya, meski dengan risiko memunculkan kesan represif.
Proses ini dapat dijelaskan melalui konsep securitization. Pemerintah melihat bendera One Piece sebagai “ancaman terhadap moral nasional”, dan media memperkuat narasi itu dengan label “tidak pantas”. Padahal bagi penggemar, tindakan itu hanyalah bentuk apresiasi terhadap nilai-nilai yang mereka pelajari dari Luffy dan kru Topi Jerami. Generasi muda kini mengekspresikan nasionalisme dan kritik sosial lewat budaya populer karena ruang politik formal semakin sempit.
Fenomena ini bisa disebut sebagai bentuk “politik ketakutan simbolik”, ketika negara berusaha mempertahankan kendali atas makna-makna simbolik di ruang publik. Ironisnya, semakin keras negara menolak atau melarang suatu simbol, semakin besar daya politik simbol itu di mata masyarakat. Reaksi keras justru memperkuat citra Jolly Roger sebagai lambang perlawanan terhadap kekuasaan yang dianggap terlalu sensitif terhadap kritik.
Dengan demikian, sikap negara terhadap bendera One Piece mencerminkan paradoks dalam keamanan modern. Di satu sisi, negara ingin melindungi kesakralan simbol nasional, di sisi lain, reaksi berlebihan terhadap simbol fiksi justru memperlihatkan ketakutan akan hilangnya kendali atas makna di ruang publik. Bendera Jolly Roger sebenarnya bukan ancaman yang bisa membahayakan negara secara langsung. Ia tidak mengancam keamanan dalam arti fisik seperti perang atau kekerasan. Tapi yang membuatnya penting adalah karena bendera itu menantang negara dalam hal makna dan kepercayaan. Di era digital seperti sekarang, pertarungan tentang makna dan simbol bisa jauh lebih berpengaruh daripada konflik bersenjata, karena yang diperebutkan bukan wilayah, tapi cara orang melihat dan mempercayai sesuatu.
