Apakah AI Membahayakan Keamanan Nasional/Internasional?
Apakah AI Membahayakan Keamanan Nasional/Internasional?

Penulis : Khaila Meisya Permana ( Mahasiswa Hubungan Internasional FISIP UIN Jakarta)

 

Definisi AI dan Perkembangannya

Abad 21 merupakan masa emas bagi kemajuan teknologi manusia. Salah satu teknologi yang paling revolusioner sekaligus kontroversial adalah Artificial Intelligence (AI) atau kecerdasan buatan. Secara umum, AI merupakan sebuah teknologi yang dirancang untuk membuat sistem komputer mampu mensimulasikan kognitif manusia seperti belajar, memecahkan masalah, membuat keputusan, memahami bahasa, menganalisis data, membuat gambar, hingga menghasilkan konten dengan cepat.  AI bukanlah konsep baru, pada tahun 1956 melalui konferensi Dartmouth, John McCarthy AI berkembang melalui berbagai fase. Mulai dari symbolic AI pada 1960 an, hingga munculnya machine learning dan deep learning pada 2010an yang mendorong terobosan besar dalam kemampuan komputer modern. Pada abad 21 ini beberapa AI yang dikenal oleh masyarakat seperti ChatGPT, Perlexity, Deepseek, Gemini dan lain sebagainya. Tujuan awal dari AI adalah membantu manusia bekerja lebih efisien. Namun, dengan perkembangannya yang semakin kompleks hal ini memunculkan paradigma baru mengenai fungsi dan peran AI dalam mempengaruhi kehidupan masyarakat baik dalam level nasional maupun internasional.

Namun, di balik kecanggihannya muncul pendapat: apakah AI benar-benar aman? Atau justru bisa menjadi alat yang membahayakan keamanan negara dan dunia?

 Apakah AI sebagai Ancaman?       

Berdasarkan International Encyclopedia of the Social Sciences keamanan nasional adalah “kemampuan suatu bangsa untuk melindungi diri dari ancaman eksternal". Sementara, keamanan internasional tidak hanya keamanan suatu negara melainkan stabilitas global. Kemunculan AI memberikan dimensi baru dalam konteks keamanan. AI dalam fungsi represif dapat berperan sebagai senjata, namun hal ini menimbulkan dilema di level internasional. Berdasarkan artikel “Perlombaan Senjata Berbasis Kecerdasan Buatan: Ancaman atau Peluang bagi Stabilitas Global?” oleh Kementerian Pertahanan Republik Indonesia, teknologi senjata berbasis AI memiliki keunggulan dalam meningkatkan efisiensi dan kecepatan respons melalui analisis data secara real-time. Seperti contoh penggunaan drone dan sistem tempur tanpa awak dapat mengurangi risiko bagi prajurit dalam misi berbahaya. Proyek seperti X-47B (AS), Uran-9 (Rusia), dan Sky Hawk (Tiongkok) menjadi contoh nyata dari penerapan AI dalam pertahanan.

Meski demikian, penggunaan AI tidak lepas dari risiko malfungsi yang dapat menyebabkan kesalahan dalam menganalisis, sehingga berpotensi menimbulkan keputusan yang keliru dan berdampak fatal dan menjadi boomerang. Tak hanya itu, AI juga dapat mengancam keamanan non-tradisional seperti serangan siber, disinformasi, hingga propaganda digital. Melalui algoritma otomatis, AI mampu menciptakan deepfake, manipulasi opini publik, serta penyebaran berita palsu yang mengancam stabilitas politik dan demokrasi suatu negara. Dengan demikian, ancaman AI tidak hanya bersifat fisik (militer), tetapi juga bersifat ideologis dan sosial.

Selain itu, dalam konteks geopolitik global, muncul ketimpangan yang semakin tajam akibat perkembangan AI yang tidak merata antarnegara. Hal ini terjadi karena hanya negara-negara maju dalam teknologi yang dapat mengembangkan senjata berbasis AI, sementara negara berkembang dan miskin akan menjadi aktor yang rentan dan terdampak akibat dari hal tersebut. Dalam konteks keamanan internasional, kepemilikan AI oleh negara-negara maju dapat menciptakan ketergantungan struktural bagi negara-negara di bagian Selatan. Baik dalam bidang pertahanan, ekonomi digital, maupun sistem informasi. Ketergantungan ini berpotensi mengancam kedaulatan teknologi dan keamanan nasional negara-negara berkembang, sebab mereka harus mengandalkan infrastruktur digital buatan negara kuat yang dapat digunakan sebagai alat pengawasan atau pengaruh politik. Akibatnya, muncul kekhawatiran bahwa AI akan memperkuat hegemoni baru dalam tatanan global, di mana teknologi menjadi instrumen kekuasaan dalam bentuk yang lebih halus namun efektif. Dengan sistem internasional yang anarkis, di mana tidak ada otoritas tertinggi dan tidak ada yang bisa mengatur perilaku suatu negara, potensi munculnya persaingan dan konflik berbasis teknologi menjadi besar. Negara-negara yang tertinggal secara teknologi akan menghadapi risiko keamanan yang lebih tinggi, baik dalam bentuk serangan siber dan eksploitasi data, maupun campur tangan politik melalui manipulasi informasi berbasis AI. Oleh karena itu, ketimpangan penguasaan AI tidak hanya menjadi isu teknologi semata, tetapi juga persoalan politik, ekonomi, dan moral yang menentukan arah keadilan serta stabilitas global di masa depan.

Langkah Strategis untuk Menghadapi Kemajuan AI dalam Sektor Keamanan

Oleh karena itu, diperlukan langkah-langkah strategis setiap negara perlu membangun sistem keamanan dan tata kelola AI yang etis dan transparan. Lalu dalam level internasional negara-negara dapat melakukan kerjasama unilateral, bilateral, maupun multilateral. Kerjasama ini perlu dilengkapi dengan transparansi, pemantauan, hingga notifikasi untuk mengawasi terjadinya risiko konflik senjata berbasis AI. Saya akan mengambil contoh Indonesia dapat terlibat dalam perumusan norma global, khususnya terkait penggunaan dan pengembangan teknologi militer berbasis kecerdasan buatan (AI). Hal ini dapat diwujudkan melalui partisipasi aktif dalam forum internasional seperti Convention on Certain Conventional Weapons (CCW) untuk mendorong terciptanya regulasi global yang adil, transparan, dan inklusif. Selain itu, Indonesia dapat mengusulkan pembentukan perjanjian multilateral yang menegaskan pentingnya kendali manusia (human control) atas sistem senjata otonom agar penggunaannya tetap sejalan dengan prinsip kemanusiaan dan hukum humaniter internasional. Langkah lain yang dapat ditempuh adalah mendorong kolaborasi riset internasional antara lembaga penelitian, universitas, dan industri pertahanan guna memastikan adanya standar etika dan keamanan dalam pengembangan teknologi militer berbasis AI. Di tingkat nasional, Indonesia perlu memperkuat sistem keamanan siber serta menerapkan audit algoritmik secara berkala untuk mencegah potensi penyalahgunaan, kebocoran data, maupun malfungsi sistem yang dapat mengancam stabilitas keamanan nasional maupun global. Sebagai bentuk kehati-hatian, Indonesia juga dapat mendukung penerapan moratorium sementara terhadap penggunaan Lethal Autonomous Weapon Systems (LAWS) hingga terbentuk kerangka hukum internasional yang komprehensif untuk mengatur penggunaannya secara bertanggung jawab.

Opini Penulis Mengenai AI

Dapat dilihat bahwa AI bagaikan dua pisau,  di satu sisi membawa efisiensi dan kemajuan bagi umat manusia. Namun, di sisi lain menyimpan potensi ancaman yang besar terhadap keamanan nasional dan internasional. Dalam kerangka teori hubungan internasional, Realisme melihat AI sebagai alat memperkuat kekuasaan negara, sedangkan kaum liberal menekankan pentingnya kerja sama global dan regulasi etis untuk mencegah konflik.

Oleh karena itu, kunci utama bukanlah menolak AI, melainkan mengelola dan mengatur penggunaannya secara bertanggung jawab. AI akan menjadi ancaman hanya jika dibiarkan tanpa etika, pengawasan, dan transparansi. Sebaliknya, jika dikendalikan dengan nilai kemanusiaan dan kolaborasi antarnegara, AI justru dapat menjadi mitra strategis dalam menciptakan dunia yang lebih aman, cerdas, dan berkeadilan.Namun disisi lain,  AI juga berpotensi untuk memperkuat keamanan melalui deteksi ancaman dan analisis data yang lebih cepat. Jadi, disamping risiko negatif yang akan muncul dari AI juga dapat membantu manusia di era globalisasi.

Lebih jauh lagi, menurut saya AI dalam kehidupan masyarakat khususnya dalam konteks keamanan akan sangat bergantung pada sikap dari penggunaannya. Oleh karena itu, perkembangan AI harus diiringi dengan peningkatan kesadaran dan pembentukan moral serta norma agar dalam praktek dan penggunaannya dipenuhi dengan rasa kemanusiaan, empati, dan tanggung jawab. Dalam konteks ini, negara, lembaga internasional, dan masyarakat sipil memiliki tanggung jawab kolektif untuk memastikan bahwa setiap kemajuan teknologi termasuk AI tetap berpihak pada kebaikan manusia. Hanya dengan cara itu, peradaban digital yang sedang kita bangun dapat menjadi pilar bagi keamanan dan perdamaian dunia yang berkelanjutan.