Anies, Ganjar, Prabowo, dan Sketsa Politik Kita
Anies, Ganjar, Prabowo, dan Sketsa Politik Kita

A Bakir Ihsan : Dosen Ilmu Politik, FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Tiga nama di atas menjadi daya tarik dalam wacana kontestasi presiden 2024. Selain secara resmi sudah mendaftar ke Komisi Pemilihan Umum sebagai capres 2024, tiga nama tersebut merepresentasikan sketsa politik kontestasi di Indonesia. Urutan nama di judul artikel ini bukan semata urutan abjad, tetapi menukilkan tingkat intimasi relasi personal dalam bingkai sistem kepartaian.

Berdasarkan kalkulasi presidential threshold, Pilpres 2024 memungkinkan tampilnya empat kandidat. Namun, sembilan partai politik yang ada di Senayan hanya melahirkan tiga pasangan capres-cawapres. yaitu Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, Ganjar Pranowo-Mahfud MD, dan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.

Artikel ini tidak bermaksud mengutak-atik peluang pasangan calon atau sisi elektoral capres-cawapres yang akan terjadi dalam Pilpres 2024. Tulisan ini lebih memotret secara sintesis dialektika antara realitas kepartaian dan kerangka ideal demokrasi sebagai bangunan sistem kenegaraan. Hal ini penting diurai agar partai politik tidak terjebak dalam involusi seleksi calon pemimpin pada injury time setiap menjelang pemilu. Partai politik memiliki ruang luas untuk melakukan rekrutmen calon pemimpin melalui mekanisme dan kualifikasi yang dapat dibaca secara saksama oleh masyarakat sebagai pemilih.

Antara figur dan partai

Sejak pilpres secara langsung dijalankan pada 2004, presiden yang terpilih bukan ”orang partai”. Mereka adalah figur yang muncul karena dianggap punya ”nilai lebih” daripada faktor partai yang mengusungnya. Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), misalnya, adalah sosok yang baru berpartai karena peluang dan popularitasnya yang tinggi. Joko Widodo juga sosok ”orang biasa” dalam partainya. Bahkan, belakangan Jokowi bergerak sendiri di luar kuasa partainya.

Ini merupakan konsekuensi dari pemilihan secara langsung yang memberikan ruang masyarakat memilih pemimpinnya. Bahkan, partai politik ”dipaksa” untuk mengajukan nama yang dikehendaki oleh masyarakat walaupun dalam struktur kepartaiannya adalah anggota biasa atau bahkan bukan orang partai.

Berbeda dengan pemilihan melalui perwakilan. Hasil Pemilu 1999 yang memilih Abdurrahman Wahid sebagai presiden adalah ”orang penting” (Ketua Umum dan pendiri) PKB dan Megawati Soekarnoputri sebagai Ketua Umum PDI-P. Dalam pilpres melalui perwakilan, peluang ketua umum partai menjadi presiden lebih terbuka lebar karena dukungan partai diputuskan oleh institusi partai.

Saat pertama kali pilpres secara langsung dilaksanakan (2004), keberadaan ketua umum partai sebagai kontestan masih dominan. Tiga dari lima capres pada Pilpres 2004 adalah ketua umum partai politik; Megawati (PDI-P), Amien Rais (PAN), dan Hamzah Haz (PPP). Dua lainnya: Wiranto hasil konvensi Partai Golkar dan SBY hasil urunan partai kecil. Dan pemenangnya adalah SBY, ”orang biasa” dalam partai politik.

Begitu juga pada Pilpres 2014, sosok Jokowi adalah petugas partai yang bermula sebagai Wali Kota Solo, jadi Gubernur DKI, dan terpilih sebagai presiden. Ia bukan sosok yang punya posisi strategis selevel ketua umum, sekjen, atau bendahara umum partai, tetapi berhasil memenangkan pilpres bahkan mengalahkan kandidat yang berasal dari ketua umum partai politik, Prabowo Subianto.

Pada Pilpres 2014, selain faktor figur lebih dominan, jumlah kontestan semakin berkurang. Kalau pada Pilpres 2004 mempertandingkan lima kandidat, Pilpres 2009 ada tiga kandidat, maka pada 2014 hanya dua kandidat, yaitu Joko Widodo-Jusuf Kalla dan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. Pun pada Pilpres 2019, kandidat hanya dua kontestan dan hanya berganti pasangan wakil masing-masing.

Dalam konteks demokrasi yang memberi ruang kebebasan (liberty) dan kesetaraan (equality), dengan jumlah pemilih yang besar, sejatinya bisa melahirkan kontestan yang banyak sebagai representasi dari keragaman. Namun, dengan adanya ambang batas pilpres, Pemilu 2024 hanya melahirkan tiga pasangan dan itu pun masih diselingi oleh keinginan menganalisasi menjadi dua kandidat yang bertarung. Bangsa besar, tetapi calon pemimpinnya dibatasi.

Personifikasi politik

Sosok atau figur dalam politik adalah hal yang lumrah karena pada akhirnya kepemimpinan tidak bisa dilepaskan dari integritas personalnya. Namun, dalam sistem yang menutup ruang bagi munculnya calon perorangan yang sekaligus menunjukkan adanya hegemoni partai politik, maka menonjolnya figur menunjukkan ambiguitas partai politik.

Otoritas tunggal partai politik dalam menentukan calon presiden sejatinya menjadi jalan mudah untuk menghadirkan pemimpin yang berintegritas tanpa terjebak kepada popularitas an sich. Namun, faktanya sejak pilpres secara langsung diselenggarakan, partai politik lebih memerankan diri sebagai lapak yang menerima kontestan dari mana saja yang laku (populer) di pasar pemilih.

Modal popularitas dan integritas tidak mesti dipertentangkan. Keduanya bisa berkelindan melalui proses panjang pengaderan, bukan langkah instan menjelang pemilihan. Integritas mengacu pada proses internalisasi berbasis pada platform partai politik, sementara popularitas lebih bersifat simultan pada momentum tertentu.

Partai politik sebagai kawah kaderisasi kepemimpinan sejatinya menyediakan banyak kader untuk tampil memimpin negeri pada beragam ranahnya, baik nasional maupun lokal. Langkah ini belum sepenuhnya terjadi karena beragam faktor, di antaranya belum tersedianya mekanisme kaderisasi kepemimpinan yang efektif dan konsisten dijalankan. Beragamnya latar belakang politik tiga nama capres dari setiap parpol pendukung menunjukkan tiga model.

Model calon pemimpin

Relasi figur (individu) dengan partai (lembaga) melahirkan tiga model calon pemimpin. Pertama, model politisi nirpartai (perorangan). Kuatnya figur menyebabkan munculnya politisi tanpa partai seperti Anies Baswedan. Keterlibatannya dalam politik dimulai sejak ikut konvensi Partai Demokrat untuk calon presiden 2014 dan berlanjut menjadi juru bicara tim pemenangan capres-cawapres 2014, Joko Widodo-Jusuf Kalla.

Walaupun dalam pemilihan kepala daerah ada peluang bagi calon perorangan, Anies lebih memilih maju melalui partai politik di Pilkada DKI Jakarta 2017. Anies sosok yang merepresentasikan orang luar partai yang mendapatkan tempat atau kesempatan dari partai politik untuk berkontestasi.

Fakta ini menunjukkan bahwa adanya simbiosis mutualisme antara figur dan partai. Figur tetap memerlukan partai bukan sebagai legalitas semata, melainkan juga karena punya infrastruktur atau jejaring yang terukur dan mengalir sampai pelosok daerah. Namun, faktor sosok masih lebih dominan menggerakkan partai untuk mendapatkan insentif.

Kedua, model petugas partai. Sosok ini direpresentasikan oleh Ganjar Pranowo dan Joko Widodo. Keduanya bukan pengurus inti di partai politik, melainkan memiliki popularitas lebih dominan dibandingkan pengurus lainnya. Dibandingkan model pertama, model kedua ini relasi dengan partai lebih kuat karena memiliki ikatan resmi, tetapi ia tidak bisa mengeksekusi keputusan. Ia bergantung pada kebijakan partai atau ketua umumnya yang memiliki mandat prerogatif. Namun, faktor figur masih cukup kuat sehingga menjadi pertimbangan utama partai politik dalam mendukung calon dari kadernya sendiri.

Ketiga, model pemilik partai. Model ini menempatkan relasi figur dengan partai politik adalah tak terpisahkan karena posisinya sebagai penentu kebijakan partai, seperti ketua umum partai politik. Prabowo merepresentasikan ”pemilik” partai. Begitu juga ketua umum partai lainnya, seperti Muhaimin Iskandar dan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). Mereka memiliki posisi strategis di dalam partai sehingga bisa memengaruhi keputusan partai. Model ini paling kuat dalam menempatkan figur untuk pencalonan sebuah kontestasi.

Agenda partai politik

Ketiga model relasi figur dengan partai politik di atas melukiskan sketsa politik kita yang belum sepenuhnya ajeg dan terus mencari bentuk. Dalam kerangka demokrasi sebagai prosedur seleksi kepemimpinan baik pada level nasional maupun lokal, keberadaan partai tetap menjadi penentu karena itu diperlukan revitalisasi peran partai politik.

Revitalisasi peran partai politik ini penting agar partai sedari awal selalu siap dengan kader-kader terbaiknya untuk menjadi (calon) pemimpin. Hal ini bisa dimulai melalui mekanisme demokratis di internal partai politik. Pergantian kepemimpinan dalam tubuh partai harus didasarkan pada merit sistem yang dijalankan secara transparan, demokratis, dan bertahap. Dari mekanisme tersebut, maka ketua umum partai yang terpilih adalah kader terbaik partai yang dapat dikontestasikan dalam ranah kepemimpinan publik yang lebih luas.

Dengan demikian, sedari awal, setiap partai sudah punya kandidat yang bisa diajukan untuk kepemimpinan publik secara ajek, tanpa jalan zig-zag yang menunjukkan kerapuhannya. Dalam jangka panjang, mekanisme ini dapat menumbuhkan rasa percaya (trust) masyarakat terhadap partai politik sekaligus meningkatkan partisanship (partyID) yang menjadi modal besar bagi pelembagaan partai politik. Semoga●

 

Sumber : https://www.kompas.id/baca/opini/2023/11/01/anies-ganjar-prabowo-dan-sketsa-politik-kita