Ancaman Kemajuan Teknologi Artificial Intelligence Bagi Dunia Internasional
Penulis : Muhammad Najmi Asyraf, Mahasiswa Hubungan Internasional
Pada masa kini, segala sesuatu berjalan serba cepat. Kemajuan teknologi telah mengubah cara manusia hidup, bekerja, dan berkomunikasi. Salah satu inovasi terbesar yang mendorong percepatan itu adalah Artificial Intelligence (AI) atau kecerdasan buatan. AI kini hadir di berbagai sektor—dari ekonomi, pendidikan, hingga pertahanan—dan memberikan kemudahan luar biasa dalam aktivitas manusia. Namun, di balik kehebatan dan efisiensinya, muncul pertanyaan besar: apakah perkembangan AI benar-benar membawa kemajuan yang aman, atau justru menjadi ancaman baru bagi keamanan nasional dan internasional?
Perkembangan kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) membawa dampak besar bagi keamanan nasional suatu negara. Meskipun AI menawarkan berbagai manfaat dalam bidang ekonomi, pertahanan, dan pelayanan publik, teknologi ini juga menghadirkan ancaman serius yang dapat mengguncang stabilitas nasional. Dalam konteks keamanan siber, AI dapat dimanfaatkan untuk melancarkan serangan digital secara otomatis dengan kemampuan belajar dan beradaptasi terhadap sistem pertahanan negara. Serangan siber berbasis AI mampu menembus jaringan penting seperti perbankan, infrastruktur energi, dan data pemerintah, menyebabkan kebocoran informasi strategis yang berpotensi melumpuhkan aktivitas nasional. Selain itu, AI menjadi alat utama dalam penyebaran disinformasi dan manipulasi opini publik melalui teknologi deepfake dan algoritma media sosial, yang mampu memproduksi ribuan konten palsu dalam waktu singkat. Fenomena ini dapat memecah belah masyarakat, menurunkan kepercayaan publik terhadap pemerintah, dan menciptakan ketegangan politik, terutama menjelang pemilihan umum.
AI juga menghadirkan ancaman terhadap privasi dan kebebasan individu melalui sistem pengawasan massal seperti facial recognition dan analisis big data yang digunakan tanpa pengawasan etis. Ketika teknologi ini disalahgunakan oleh pihak berwenang, risiko munculnya otoritarianisme digital menjadi nyata, di mana negara dapat memantau dan mengontrol perilaku warganya secara total.Di Indonesia, misalnya, sistem pengenalan wajah (facial recognition) telah mulai diterapkan dalam berbagai konteks, seperti tilang elektronik (ETLE) dan pengawasan ruang publik di beberapa kota besar. Meskipun tujuannya adalah meningkatkan keamanan dan ketertiban, sistem ini menimbulkan kekhawatiran terkait penyimpanan data biometrik warga, potensi penyalahgunaan oleh aparat, serta minimnya regulasi privasi yang ketat. Beberapa aktivis hak digital menilai bahwa tanpa transparansi dan mekanisme pengawasan independen, sistem tersebut dapat digunakan untuk melacak aktivitas masyarakat atau mengidentifikasi peserta aksi demonstrasi, sehingga mengancam hak kebebasan berekspresi dan berkumpul.
Dari sisi ekonomi, penerapan AI secara besar-besaran berpotensi menggantikan banyak pekerjaan manusia, memicu pengangguran, dan memperlebar ketimpangan sosial. Fenomena ini mengingatkan pada masa Revolusi Industri ketika mesin uap mulai menggantikan tenaga manusia dan mengubah tatanan ekonomi global. Pergeseran tersebut memang meningkatkan efisiensi, namun juga menimbulkan kesenjangan besar bagi pekerja yang tidak mampu beradaptasi. Kini, AI membawa tantangan yang lebih kompleks karena bukan hanya menggantikan tenaga fisik, tetapi juga kemampuan berpikir dan mengambil keputusan manusia. Ketimpangan penguasaan teknologi antara sektor publik dan swasta semakin memperburuk situasi ini, sebab perusahaan besar yang menguasai data dan algoritma AI dapat memiliki pengaruh ekonomi lebih besar daripada institusi negara.
Dalam bidang pertahanan, AI membuka peluang terciptanya sistem senjata otonom yang mampu membuat keputusan tanpa campur tangan manusia. Kesalahan algoritma atau manipulasi oleh pihak asing dapat menimbulkan konsekuensi fatal, seperti serangan tak sengaja terhadap sasaran sipil atau sabotase sistem pertahanan nasional. Ancaman ini terbukti nyata melalui kasus SolarWinds hack pada tahun 2020, ketika pemerintah Amerika Serikat melaporkan serangan siber besar yang memanfaatkan algoritma berbasis AI untuk menyusup ke sistem keamanan nasional dan mencuri data sensitif lembaga pemerintahan. Peristiwa tersebut menunjukkan bahwa AI dapat menjadi alat infiltrasi digital yang berbahaya dan sulit terdeteksi, sehingga pengembangannya di sektor pertahanan harus disertai pengawasan ketat agar tidak berbalik mengancam keamanan negara.
Peringatan keras mengenai bahaya ini pernah disampaikan oleh Elon Musk, yang menyatakan bahwa “AI is far more dangerous than nukes” — AI jauh lebih berbahaya daripada senjata nuklir. Pernyataan tersebut menekankan bahwa ancaman AI tidak terletak pada daya hancur fisik seperti bom nuklir, melainkan pada kemampuannya menciptakan kekacauan sistemik secara senyap dan meluas di berbagai aspek kehidupan manusia tanpa suara ledakan. Melalui algoritma yang kompleks dan otomatis, AI dapat mengganggu tatanan sosial, mengikis kepercayaan publik terhadap informasi, dan menggoyahkan stabilitas ekonomi global. Dalam konteks politik dan keamanan nasional, sistem berbasis AI juga berpotensi melemahkan kedaulatan negara ketika infrastruktur vital seperti pertahanan, keuangan, atau komunikasi dikuasai oleh sistem yang dikendalikan algoritma asing atau korporasi global.
Bahaya terbesar dari AI terletak pada sifatnya yang otonom, adaptif, dan sulit dikendalikan sepenuhnya. Ketika sistem kecerdasan buatan mulai mengambil keputusan berdasarkan data dan logika mesin tanpa mempertimbangkan nilai-nilai moral, etika, maupun kemanusiaan, maka manusia dapat kehilangan kontrol atas ciptaannya sendiri. Risiko ini diperparah oleh kurangnya regulasi internasional dan perlombaan antarnegara dalam pengembangan AI, yang sering kali lebih berfokus pada keunggulan teknologi daripada keselamatan manusia. Dalam skenario terburuk, AI yang tidak diawasi dengan baik dapat menjadi alat kekuasaan baru—bukan hanya mengancam kebebasan individu, tetapi juga menggeser peran manusia sebagai pengendali utama peradaban.
Ancaman AI di tingkat internasional kini semakin nyata seiring dengan meningkatnya pemanfaatan teknologi kecerdasan buatan dalam berbagai bidang, termasuk sektor pertahanan dan geopolitik global. Salah satu contohnya ialah peperangan antara Rusia dan Ukraina, yang menunjukkan bagaimana AI dapat digunakan tidak hanya sebagai alat bantu militer, tetapi juga sebagai senjata strategis dalam perang informasi dan psikologis. Rusia diketahui memanfaatkan teknologi AI untuk memperkuat kampanye disinformasi dan propaganda digital yang menargetkan kepemimpinan Ukraina, khususnya Presiden Volodymyr Zelensky. Pada tahun 2022, beredar sebuah video deepfake yang menampilkan Zelensky seolah-olah menyerukan pasukannya untuk menyerah—sebuah manipulasi berbasis AI yang kemudian terbukti palsu. Sejak saat itu, berbagai laporan internasional, termasuk dari Reuters dan The Washington Post, mengungkap bahwa Rusia terus menggunakan AI generatif dan bot otomatis untuk menyebarkan narasi palsu, merusak kredibilitas pemerintah Ukraina, serta menurunkan moral publik dan pasukan di medan perang.
Dalam konteks peperangan modern, drone tempur dan sistem penangkal rudal berbasis kecerdasan buatan (AI) menghadirkan dilema besar bagi keamanan global. Di satu sisi, teknologi ini diklaim mampu meningkatkan efisiensi, presisi, dan kecepatan pengambilan keputusan militer, namun di sisi lain justru menimbulkan risiko kemanusiaan dan etika yang serius.
Drone bersenjata yang dikendalikan oleh algoritma AI dapat melakukan serangan tanpa campur tangan manusia secara langsung (autonomous strike). Ketika sistem ini salah mengenali target—misalnya warga sipil atau fasilitas non-militer—maka konsekuensinya dapat sangat fatal. Kesalahan algoritma kecil saja bisa menyebabkan hilangnya nyawa secara massal, sementara pihak yang bertanggung jawab sulit ditentukan karena keputusan diambil oleh mesin, bukan manusia. Selain itu, drone berbasis AI juga memudahkan pihak-pihak non-negara (non-state actors) atau kelompok militan untuk melakukan serangan tanpa perlu infrastruktur militer besar, sehingga meningkatkan risiko konflik bersenjata asimetris di masa depan.
Sementara itu, sistem penangkal rudal berbasis AI seperti automated missile defense systems juga menyimpan bahaya tersendiri. Karena sistem ini harus bereaksi dalam hitungan detik, sering kali keputusan peluncuran atau pencegahan rudal diambil secara otomatis tanpa validasi manusia. Jika terjadi kesalahan identifikasi—misalnya radar salah membaca sinyal pesawat komersial atau rudal latihan sebagai ancaman nyata—maka dapat terjadi eskalasi konflik yang tidak disengaja (accidental escalation), bahkan memicu perang antarnegara. Dalam konteks geopolitik yang tegang, seperti di wilayah Eropa Timur atau Timur Tengah, kegagalan satu sistem AI pertahanan dapat berakibat pada bencana global.
Saran saya sebagai penulis, untuk meredam ancaman yang ditimbulkan oleh perkembangan kecerdasan buatan (AI), diperlukan langkah-langkah strategis yang menyeluruh di tingkat nasional maupun internasional. Di tingkat nasional, pemerintah perlu menyusun regulasi dan kebijakan etika AI yang ketat agar penerapan teknologi ini tetap berada dalam kendali manusia dan tidak disalahgunakan. Regulasi tersebut harus mencakup perlindungan data pribadi, transparansi algoritma, serta pembatasan penggunaan AI dalam sistem pertahanan yang berisiko tinggi. Selain itu, penguatan keamanan siber nasional menjadi hal yang mendesak, dengan meningkatkan kemampuan deteksi dini terhadap serangan berbasis AI dan memperkuat kolaborasi antara lembaga pemerintah dan sektor swasta dalam menjaga sistem digital negara.
Tidak kalah penting, peningkatan literasi digital dan kesadaran publik harus digalakkan agar masyarakat lebih waspada terhadap disinformasi, deepfake, dan manipulasi opini berbasis AI. Dunia pendidikan dan industri juga perlu mengintegrasikan pembelajaran tentang etika teknologi agar pengembangan AI tidak hanya berfokus pada efisiensi dan keuntungan, tetapi juga mempertimbangkan nilai kemanusiaan dan tanggung jawab sosial.
Sementara itu, di tingkat internasional, negara-negara perlu membangun kerja sama global untuk menyusun aturan dan standar penggunaan AI, khususnya dalam bidang militer. Kerja sama ini penting untuk mencegah perlombaan senjata berbasis AI yang dapat mengancam stabilitas dan perdamaian dunia. Dengan langkah-langkah tersebut, AI dapat dikendalikan agar tetap menjadi sarana kemajuan bagi umat manusia, bukan ancaman yang justru merusak keamanan nasional maupun tatanan internasional.
