AKSI BRAVE PINK : APAKAH DAPAT DISEBUT SEBAGAI ANCAMAN NEGARA?
AKSI BRAVE PINK : APAKAH DAPAT DISEBUT SEBAGAI ANCAMAN NEGARA?

Penulis : Nazwa Salmaya Rahman (Mahasiswa Hubungan Internasional)

Kamis, 28 Agustus 2025, Indonesia diguncang oleh gelombang demonstrasi besar-besaran yang melibatkan ribuan masyarakat. Aksi ini terjadi karena ledakan kemarahan publik terhadap besarnya tunjangan dan fasilitas yang diterima para anggota DPR, terutama di tengah kondisi ekonomi yang sedang sulit dan ketimpangan sosial yang makin terasa. Tak sampai situ, Kemarahan juga terjadi karena Massa menilai bahwa DPR telah gagal menjalankan fungsi representatifnya sebagai wakil rakyat dan justru semakin jauh dari realitas kehidupan masyarakat. Di tengah barisan massa yang penuh teriakan dan kepulan gas air mata, muncul ibu-ibu mengenakan kerudung berwarna pink, berdiri berani sambil membawa tongkat bendera merah putih di hadapan aparat bersenjata lengkap yang menjaga gedung parlemen. Beliau bukan aktivis ataupun mahasiswa, melainkan seorang “perempuan” biasa yang selama ini diasosiasikan dengan kelembutan dan kesabaran memakai kerudung warna pink yang sering diartikan sebagai feminim, kasih sayang dan kedamaian. Namun pada hari itu, beliau menjadi simbol keteguhan moral di tengah panasnya konflik antara rakyat dan negara. Foto-foto beliau yang membentangkan tangan di depan polisi viral di media sosial dengan cepat, dan dijadikan cara untuk bersuara di media sosial oleh ribuan masyarakat Indonesia. Melahirkan istilah “Brave Pink” menjadi simbol bahwa masyarakat, terutama perempuan, mampu melawan dominasi negara tanpa harus meninggalkan nilai-nilai kemanusiaan yang mereka bawa. Aksi ini sekaligus menunjukkan bagaimana perlawanan simbolik dapat mengguncang “harga diri” pemerintahan yang selama ini bertumpu pada citra wibawa dan kekuatan. Lalu pertanyaannya, apakah aksi ini dapat disebut sebagai ancaman negara?...

            Kalau dipahami melalui teori legitimasi kekuasaan dari Max Weber. Dalam karyanya Economy and Society (1978), beliau menjelaskan bahwa legitimasi politik adalah dasar moral yang membuat masyarakat menerima dan mematuhi kekuasaan. Suatu pemerintahan dapat kehilangan legitimasi apabila kekuasaan dijalankan secara sewenang-wenang, atau ketika rakyat tidak lagi percaya bahwa tindakan pemerintah mewakili kepentingan mereka. Di titik inilah Brave Pink menjadi penting, aksi tersebut mencerminkan runtuhnya legitimasi moral pemerintah di mata rakyatnya. Aksi brave pink menggambarkan kesenjangan antara negara yang memegang kekuasaan dan rakyat yang merasa tidak lagi diwakili oleh institusi tersebut. Menurut Weber, kekuasaan yang kehilangan legitimasi tidak akan bertahan lama karena tidak lagi memiliki “pengakuan moral” dari masyarakat yang diperintahnya. Namun menurut saya tidak seperi itu juga, DPR harus tetap ada dan eksis dalam pemerintahan tetapi sangat dibutuhkannya penataan, dan pengelolaan ulang. Dalam konteks ini, Brave Pink dapat dilihat sebagai simbol bahwa rakyat telah menarik kembali pengakuan moral itu dari pemerintah.

Selain Weber, teori Habermas tentang legitimasi dan ruang publik dalam bukunya The Legitimation Crisis (1975) juga relevan untuk menjelaskan peristiwa ini. Habermas berpendapat bahwa krisis legitimasi terjadi ketika negara gagal mempertahankan komunikasi rasional dengan masyarakatnya. Ketika proses politik tidak lagi terbuka, partisipatif, dan reflektif terhadap kepentingan publik, maka muncul jarak antara penguasa dan warga negara. Aksi Brave Pink bisa dipahami sebagai bentuk komunikasi tandingan terhadap negara. Brave pink menggunakan symbol warna sebagai media komunikasi publik yang menolak kekerasan, namun sekaligus menolak diam. Dalam logika Habermas, ini adalah cara masyarakat merebut kembali ruang publik yang sebelumnya dikuasai oleh narasi kekuasaan. Brave Pink bukan sekadar gerakan simbolik, melainkan ekspresi komunikatif dari masyarakat yang menuntut agar negara kembali berdialog dengan rakyatnya, bukan sekadar memerintah dari atas.

Sementara itu, jika ditinjau melalui perspektif Antonio Gramsci, dalam Selections from the Prison Notebooks (1971), aksi Brave Pink dapat dikategorikan sebagai bentuk perlawanan terhadap hegemoni negara. Gramsci menjelaskan bahwa kekuasaan tidak hanya dijalankan melalui kekerasan fisik, tetapi juga melalui dominasi budaya dan ideologis yang membuat rakyat patuh secara sukarela. Dalam konteks ini, Brave Pink adalah tindakan simbolik yang meruntuhkan hegemoni itu. Dengan menghadirkan figur ibu dan warna pink di tengah medan politik yang maskulin dan represif, aksi ini mendekonstruksi citra kekuasaan sebagai sesuatu yang mutlak dan superior. Ia memaksa negara untuk melihat kembali dirinya sendiri bahwa di balik barikade aparat dan tembok parlemen, ada rakyat yang memiliki kekuatan moral untuk menegur.

Selanjutnya, kita juga harus tau apa itu definisi ancaman, Menurut Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara “Ancaman adalah setiap usaha dan kegiatan, baik dari dalam negeri maupun luar negeri, yang dinilai membahayakan kedaulatan negara, keutuhan wilayah negara, dan keselamatan segenap bangsa.” Dalam konteks ini, ancaman dibedakan menjadi dua bentuk besar yaitu ancaman militer dan ancaman non-militer. Ancaman militer mencakup tindakan agresi, invasi, terorisme, atau pemberontakan bersenjata yang secara langsung mengganggu kedaulatan negara. Sementara itu, ancaman non-militer bersifat lebih halus dan tidak menggunakan kekuatan senjata, seperti penyebaran ideologi ekstrem, konflik sosial, disinformasi, atau gangguan ekonomi yang berpotensi merusak stabilitas nasional. Kedua jenis ancaman ini memiliki satu kesamaan utama, yaitu adanya potensi membahayakan keselamatan negara dan bangsa secara menyeluruh, baik dari segi politik, sosial, maupun teritorial.

Jika kerangka hukum ini dijadikan dasar untuk menilai aksi Brave Pink, maka dapat disimpulkan bahwa aksi tersebut tidak termasuk dalam kategori ancaman terhadap negara. Brave Pink tidak mengandung unsur kekerasan, tidak mengajak pemberontakan, tidak bertujuan menggulingkan pemerintahan yang sah, dan tidak mengganggu keutuhan wilayah Indonesia. Aksi tersebut dilakukan secara damai, tanpa senjata, dan berlandaskan pada hak konstitusional warga negara untuk menyampaikan pendapat di muka umum sebagaimana dijamin oleh Pasal 28E ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945, yang menyatakan bahwa “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.” Dengan demikian, secara hukum, Brave Pink adalah bagian dari praktik demokrasi, bukan ancaman bagi pertahanan nasional.

Namun demikian, apabila dilihat dari sudut pandang politik dan pemerintahan, “Brave Pink” memang dapat menimbulkan tekanan moral dan simbolik terhadap harga diri serta legitimasi kekuasaan negara. Aksi tersebut memperlihatkan bahwa rakyat, terutama kelompok perempuan, berani berdiri di garis depan untuk menyuarakan kritik terhadap kebijakan yang dianggap tidak mewakili kepentingan publik. Ini bisa disebut sebagai “ancaman simbolik” bukan karena membahayakan negara, melainkan karena mengguncang citra moral pemerintah di hadapan rakyatnya sendiri. Tetapi secara hukum, ancaman simbolik semacam ini tidak termasuk dalam definisi ancaman pertahanan negara menurut UU No. 3 Tahun 2002, sebab tidak ada bahaya yang mengancam kedaulatan, keutuhan wilayah, atau keselamatan nasional secara langsung. Dengan demikian, jika menggunakan dasar hukum yang berlaku, dapat ditegaskan bahwa aksi Brave Pink bukan merupakan ancaman terhadap negara, melainkan ekspresi politik dan moral warga yang masih berada dalam koridor demokrasi.

Negara yang kuat bukanlah negara yang takut terhadap kritik, melainkan negara yang mampu menampung aspirasi warganya dengan cara yang terbuka. Dalam kerangka pertahanan nasional, ancaman sejati justru muncul ketika pemerintah menutup ruang dialog dan mematikan suara rakyat karena dari sanalah krisis legitimasi dapat berkembang menjadi instabilitas sosial yang lebih berbahaya bagi negara.

Mengingat juga ketiga perspektif sebelumnya Max Weber, Habermas dan Antonio Gramsci, terlihat bahwa Brave Pink bukan ancaman terhadap keamanan negara, melainkan tantangan terhadap harga diri moral pemerintahan. Negara yang idealnya melindungi rakyat kini tampak sebagai pihak yang harus dilindungi dari amarah rakyat sendiri. Dalam perspektif Weber, pemerintah kehilangan legitimasi rasionalnya, dalam pandangan Habermas, negara mengalami krisis komunikasi public, dan menurut Gramsci, hegemoni moralnya mulai runtuh. Ketiga hal ini bertemu dalam satu simbol sederhana, yaitu warna pink. Warna yang selama ini dianggap lembut dan apolitis justru menjadi perwujudan kritik sosial yang tajam terhadap kekuasaan. Di titik inilah Brave Pink menjadi lebih dari sekadar gerakan tetapi cermin bagi negara yang mulai kehilangan rasa malu, ketika rakyat kecil justru menunjukkan makna sejati dari keberanian dan martabat.

Aksi Brave Pink menjadi bukti nyata bahwa kekuatan moral masyarakat tidak pernah bisa diremehkan, bahkan di tengah dominasi struktur kekuasaan yang kokoh. Apa yang dimulai sebagai tindakan spontan seorang perempuan di depan barikade aparat justru berubah menjadi simbol perlawanan kolektif yang menyuarakan keresahan publik terhadap jarak antara rakyat dan wakilnya di parlemen. Negara yang kuat bukanlah negara yang takut terhadap kritik rakyatnya, melainkan yang mampu mendengarkan dengan lapang dada dan menjadikannya bahan refleksi untuk memperbaiki diri. Brave Pink mengingatkan kita bahwa legitimasi pemerintahan tidak hanya bersandar pada kekuatan hukum, melainkan juga pada kepercayaan moral yang diberikan oleh masyarakat. Ketika rakyat mulai berani menyuarakan keberanian melalui simbol-simbol kemanusiaan seperti ini, maka negara seharusnya tidak melihatnya sebagai ancaman, tetapi sebagai pengingat bahwa demokrasi sejati hidup dari dialog, bukan dominasi. Dalam konteks itulah, Brave Pink tidak menghancurkan harga diri negara justru mengujinya, agar tetap berpihak pada nurani rakyat yang menjadi sumber kedaulatannya.